Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN tiga lantai bercat kuning gading itu berdiri megah di Jalan Kotaraja, Bandar Lampung. Sebanyak 305 kios memenuhi lantai satu dan dua, dan satu hall di lantai dasar. Lantai tiga dijadikan area pusat jajanan, arena futsal, dan ruang pertemuan buat 1.000 orang.
Lokasi pasar ini strategis, cuma 50-an meter dari Stasiun Kereta Api Tanjung Karang dan Terminal Kota Bandar Lampung. Semua trayek kendaraan umum melewati pasar ini. Tak jauh dari situ juga ada Bandar Lampung Plaza dan Pasar Bawah. Oleh sang pemilik, pasar itu diberi nama keren: Bambu Kuning Square.
Siapa pemiliknya? Inilah uniknya, pasar ini ternyata dimiliki oleh para pedagang kaki lima yang kerap menjadi korban penggusuran. ”Mereka membiayai, mendesain, dan membangun sendiri,” kata Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Lampung, Herman Malano, kepada Tempo pekan lalu.
Menurut Herman, setiap awal bulan atau pekan, 300-an pedagang menyetorkan uang dengan nilai berbeda-beda, mulai Rp 100 ribu sampai Rp 2 juta. Mereka sudah urunan (patungan) dana sejak tiga tahun lalu. ”Sepeser pun tak ada utang bank atau bantuan pemerintah,” ujarnya. Kini pembangunan pasar yang kelar 90 persen itu sudah menelan biaya Rp 18,5 miliar.
Saat Tempo mengunjungi pasar itu, dua perempuan renta, Rosmelia dan Rosdiana, yang telah belasan tahun berdagang pakaian di emperan, datang ke kantor PT Istana Karya Mandiripengelola pasar ituuntuk menyetorkan uang pembangunan pasar. Rosmelia menyetorkan Rp 500 ribu dan Rosdiana Rp 200 ribu. Setelah menyetor, mereka menengok kios yang bakal ditempatinya. ”Kami ini sudah berulang kali digusur,” kata Rosdiana, 61 tahun.
Lantaran dimodali sendiri, menurut Herman, harga kios di Bambu Kuning Square hanya seperempat dari harga di pasar lain, yakni Rp 8-18 juta per meter persegi, lengkap dengan fasilitas penyejuk udara, listrik, dan hak guna bangunan 20 tahun. ”Di lokasi lain, bisa Rp 30-45 juta per meter persegi,” tuturnya.
Ide membangun pasar swadaya ini bermula dari penggusuran besar-besaran 670 pedagang kaki lima di pelataran parkir Pasar Bambu Kuning pada 27 Oktober 2007 oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Herman dan sejumlah pedagang pasar dan kaki lima lantas bersepakat, para pedagang harus segera membangun pasar sendiri. Dipilihlah lahan 6.874 meter persegi milik PT Kereta Api karena lokasinya strategis.
Akhir Januari 2008, Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Lampung dan Himpunan Pedagang Kaki Lima Bambu Kuning membentuk PT Istana Karya Mandiri sebagai pengembang sekaligus yang meneken kontrak bisnis dengan PT Kereta Api pada akhir 2008. ”Perjanjian dengan PT Kereta Api itu business to business, semua harus untung,” kata Sekretaris Dewan Pengurus sekaligus Wakil Direktur Istana Karya Mandiri Dasril Chaniago.
Para pedagang pun menguasakan uangnya Rp 387 juta kepada Istana Karya untuk disetorkan ke PT Kereta Api. Uang itu sebagai sewa lahan selama setahun. Setoran dana itu juga sebagai perjanjian awal, sebelum para pedagang dan perusahaan sepur milik negara ini meneken kontrak kerja sama operasi selama 20 tahun. Akhir 2008, pembangunan pasar dimulai. Hanya, menurut Dasril, telah tiga tahun PT Kereta Api belum menyelesaikan perhitungan biaya kerja sama operasi.
Juru bicara PT Kereta Api Sub-Divisi Regional Tanjung Karang, Zakaria, belum bisa menjelaskan kerja sama operasi karena masalah itu kewenangan kantor pusat. ”Kami di sini hanya memfasilitasi antara pedagang dan pusat,” ujarnya.
Menurut juru bicara PT Kereta Api, Sugeng Prijono, kerja sama operasi itu masih dalam proses pembahasan. ”Sedang menunggu izin dari Kementerian Perhubungan,” katanya di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Deputi IV Pengembangan Usaha Kementerian Koordinator Perekonomian Eddy Putra Irawady mengatakan konsep pembangunan pasar ala pedagang kaki lima sangat inovatif. ”Ini konsep baru di Indonesia. Bisa dijadikan contoh di daerah lain,” katanya. Bambu Kuning Square, kata Eddy, juga punya nilai strategis karena bisa menjadi bagian dari proyek pembangunan rel kereta api dari Bakauheni hingga Aceh yang digagas pemerintah.
Anne L. Handayani, Nurochman Arrazie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo