Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM juga panen, Ahyar sudah membayangkan kerugian jutaan rupiah yang bakal dihadapinya. Bukannya berbunga, pada masa tanam ke-60 hari ini, tanaman padi hasil garapannya justru banyak meranggas. Walhasil, lahan seluas satu hektare yang disewanya dari PT Sang Hyang Seri itu diperkirakan cuma mampu memproduksi 3 ton gabah.
Sebagai penyewa lahan sekaligus mitra, Ahyar memiliki kewajiban menyetorkan 1,5 ton gabah ke perusahaan negara produsen benih itu. Sisanya baru bisa dibawa pulang dan dijual dengan harga Rp 4.000 per kilogram.
Artinya, uang yang bisa dibawa pulang ke rumah hanya sekitar Rp 1,2 juta untuk tiap hektare lahan yang disewa. "Sementara ongkosnya per hektare sampai Rp 5 juta," kata Ahyar kepada Tempo saat ditemui di lahan garapannya di Desa Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Kamis dua pekan lalu.
Sudah merugi, pembayaran oleh Sang Hyang sering terlambat satu-dua musim panen. Ahyar, yang sudah menjadi mitra sejak 1999, pun masih punya tagihan sebesar Rp 700 ribu kepada perusahaan untuk masa panen tahun lalu. "Celaka dua belas kalau begini."
Kunjungan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan pada akhir Juni lalu tampaknya tak akan banyak mengubah nasib Ahyar dan kawan-kawan. Menteri Dahlan sesungguhnya sudah melakukan banyak hal untuk membantu Sang Hyang Seri. Dia sudah mengganti Direktur Utama Sang Hyang. Dahlan juga sudah mencangkokkan perusahaan ini ke PT Pupuk Indonesia.
Namun persoalan yang membelit perusahaan ini sudah kelewat berat. Ketua Gabungan Kelompok Tani Mitra Tani Manaf Hadi menambahkan, utang Sang Hyang kepada ratusan petani penyewa sudah mencapai miliaran rupiah. Perusahaan itu juga berutang ke para penangkar benih di pantai utara Jawa yang selama ini menjadi mitranya. "Jumlahnya sekitar Rp 2 miliar," ujar Manaf. "Masih belum jelas kapan akan dibayar."
Kewajiban kepada petani ternyata hanya bagian kecil dari tumpukan utang perusahaan itu. Direktur Utama Sang Hyang Seri Istochri Utomo memaparkan setidaknya saat ini perusahaan memiliki kewajiban utang sejumlah Rp 120 miliar kepada para penangkar benih dan Rp 600 miliar kepada BRI selaku kreditor. "Kondisinya memang sulit. Kami sedang berjuang merestrukturisasi utang dan efisien," katanya.
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami PT Pertani, perusahaan negara di bidang pangan dan pertanian. Menurut Direktur Utama Pertani Ilham Setiabudi, saat ini perseroan memiliki utang Rp 400 miliar kepada BRI dengan beban bunga Rp 6 miliar tiap bulan. "Tahun ini memang berat bagi kami, tapi kami optimistis dengan skema bisnis dan aset yang ada masih bisa pulih tahun berikutnya," ucapnya.
Ilham dan Istochri adalah orang-orang baru yang dicomot dari PT Petrokimia Gresik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk membenahi kedua perusahaan tersebut. Ilham menggantikan direktur utama sebelumnya yang tersangkut kasus korupsi pada September 2013, sementara Istochri baru memangku jabatannya Maret lalu.
Menempatkan kedua orang itu merupakan salah satu langkah Dahlan untuk membenahi dua perusahaan tersebut. Selain soal kinerja, Sang Hyang dan Pertani terseret perkara korupsi. Eddy Budiono, yang pernah memimpin dua perusahaan itu, menjadi tersangka proyek subsidi benih sepanjang 2008-2011 senilai Rp 112,4 miliar. Kaharuddin, mantan bos Sang Hyang, juga tersangkut kasus serupa.
Beragam persoalan mendorong Dahlan merestrukturisasi dua perusahaan itu. Menurut dia, kondisi Sang Hyang dan Pertani telah mencoreng "muka" Kementerian BUMN. "Malu kita sebagai negara agraris tapi dua BUMN-nya begitu rapuh dan lemah," katanya.
Belakangan, langkah pembenahan dengan mengganti direksi dinilai tidak cukup. Sampai akhirnya Dahlan mengajukan proposal penyatuan kedua perusahaan itu dalam PT Pupuk Indonesia. "Rencananya inbreng, tapi masih dibahas dan perlu persetujuan Menteri Koordinator Perekonomian."
Beda dengan akuisisi yang membutuhkan dana besar, inbreng bisa melebur dua perusahaan itu ke Pupuk Indonesia dengan mekanisme penyertaan modal dalam bentuk saham. Nantinya Pertani dan Sang Hyang menjadi anak usaha yang bergerak di perbenihan. Dengan begitu, kedua perusahaan benih itu bakal mendapat lokomotif yang cukup kuat untuk menggerakkan bisnis mereka kembali.
Sayangnya, jalan untuk meloloskan kebijakan radikal tersebut tidak berlangsung mulus. Inbreng bukan perkara mudah, apalagi untuk dua BUMN yang sudah masuk tahap sakit berat. Proses administrasinya juga berliku, setidaknya perlu diterbitkan peraturan pemerintah sebagai payung hukum atas aksi tersebut.
Untuk sementara, Dahlan meminta kedua perusahaan terus melakukan revitalisasi. Dahlan meminta PT Pupuk Indonesia membantu dan mengawasi kedua perusahaan benih tersebut dalam menjalankan bisnisnya. "Kalau menunggu lama bisa kolaps," ujarnya. "Sambil menunggu proses restrukturisasi, kami sehatkan dengan cara gendong ke Pupuk."
Kendati sudah mendapat surat kuasa, proses penyelamatan Sang Hyang dan Pertani oleh PT Pupuk Indonesia belum sepenuhnya lancar. Sebagai induk baru, Pupuk Indonesia baru membantu Pertani dalam bisnis distribusi pupuk. Namun, untuk membangkitkan kedua perusahaan, PT Pupuk masih belum bisa memberikan jaminan buat pencairan modal kerja bagi perusahaan benih yang berdiri pada 1959 itu.
Pertani setidaknya membutuhkan modal kerja sebanyak Rp 400 miliar untuk tahun ini, dan sudah diajukan sebesar Rp 280 miliar kepada Bank BRI. Namun dana tersebut tak kunjung cair karena pihak bank meminta jaminan dalam jumlah yang cukup besar sekaligus menagih kewajiban perusahaan yang masih tersisa.
Kondisi ini, menurut Ilham Setiabudi, sangat memberatkan. Dia terpaksa putar otak mencari sumber pendanaan lain dengan menyiapkan sejumlah skema bisnis baru. Di antaranya meminta keringanan beban bunga dan penagihan piutang ke pihak lain. "Terakhir melakukan pemberdayaan aset Pertani," katanya. "Kalau disetujui, bisa cepat kami jalankan."
Berbeda dengan Pertani, kondisi lebih baik diterima Sang Hyang Seri, yang mendapat proyek pengadaan benih 2014 oleh Kementerian Pertanian awal 2014. Sang Hyang diminta memenuhi kebutuhan benih nasional sebanyak 121.857 ton. Modal yang diberikan oleh pemerintah melalui BRI sebesar Rp 223 miliar. "Tapi baru cair Rp 147 miliar. BRI meminta jaminan untuk sisanya," ucap Istochri.
Setidaknya perusahaan membutuhkan modal sekitar Rp 400 miliar. Dengan dana Rp 223 miliar dari BRI yang dijanjikan, Sang Hyang berharap adanya tambahan dana senilai Rp 200 miliar dari PT Pupuk Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. "Ini yang kami tunggu," kata Istochri.
Namun jaminan yang diharapkan rupanya tidak begitu saja diberikan Pupuk Indonesia. Seorang pejabat pemerintah yang enggan ditulis namanya mengatakan perusahaan induk pupuk itu tidak bisa memberikan jaminan karena yang diminta sangat besar. "Jika diberikan bisa mengganggu banyak alokasi anggaran Pupuk Indonesia," ujarnya.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Arifin Tasrif menjelaskan, pihaknya bukannya tidak mau memberi jaminan. Dia juga menegaskan tidak keberatan jika Pertani dan Sang Hyang dijadikan satu dalam tubuh mereka, sehingga akan terwujud BUMN skala besar yang mengurusi masalah pangan dari hulu hingga hilir.
Namun, kata Arifin, belum adanya kepastian hukum atas hubungan perseroan dengan dua BUMN membuat pemberian jaminan mesti dikaji secara matang. Sebab, jangan sampai langkah itu justru membawa risiko baru bagi tiap perusahaan. "Biarkan mereka melakukan penyehatan sendiri dulu, kami bantu apa yang bisa dikerjakan lebih dulu," tuturnya.
Meskipun terlihat berat, Arifin percaya kedua perusahaan bisa diselamatkan. "Yang penting ada pendanaan dari perbankan," katanya. Jika dana sudah tak jadi soal, kedua perusahaan bisa menjalankan business plan-nya.
Gustidha Budiartie (Jakarta), Nanang Sutisna (Subang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo