Keluarga Soeryadjaya berniat kembali ke Astra, lalu apa? Bagi pemegang saham Astra International, berita ini mungkin berarti rezeki. Kabar comeback-nya pendiri Astra langsung membangkitkan harga saham perusahaan mobil itu dari Rp 2.400 menjadi Rp 2.950, dalam tempo sepekan. Tapi, bagi orang awam seperti Anda, apa perlunya?
Masuknya Edwin Soeryadjaya, anak William Soeryadjaya, ke Astra--jika benar-benar terjadi—tetap saja punya arti khusus, juga bagi Anda. Pada masa ketika sejumlah pengusaha melarikan duit ke luar negeri, eh, Edwin malah memasukkan uang dari luar ke dalam negeri. Dan sewaktu negeri ini mengalami paceklik modal seperti sekarang, investasi langsung yang dilakukan Edwin akan membantu menambal kelangkaan kapital.
Apalagi, yang diincar Edwin adalah saham milik para bankir yang kini dikelola pemerintah. Artinya, dana Edwin akan masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan dipakai untuk membantu program penyuntikan modal bank. Setelah pencairan pinjaman luar negeri terhenti gara-gara skandal Bank Bali, sukses-tidaknya rekapitalisasi bank tergantung kemampuan BPPN menjual asetnya. Kalau mau diurut lebih jauh, masuknya Edwin ke Astra sedikitnya bisa membantu pemulihan sektor produksi.
Sebenarnya, langkah "pulang" Edwin kali ini merupakan upaya kedua keluarga Soeryadjaya kembali ke Astra International. Tiga tahun lalu, dengan dukungan pinjaman lunak (yaitu masa bebas pembayaran utang pokok selama lima tahun) dari Peregrine Investment Holdings (Hong Kong), Om Willem sudah mendapat kesempatan untuk menguasai Astra.
Sayang, upaya Om Willem merebut kembali "permata yang hilang" diganjal pemerintah. "Pemerintah bilang Om belum boleh kembali ke Astra," kata Om Willem dalam sebuah wawancara dengan TEMPO. Pemerintah tak memberi alasan jelas mengapa si Om dilarang pulang. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad waktu itu hanya mengatakan, "Si Om masih bernostalgia." Entah apa maksudnya.
Kini, dengan iklim usaha yang makin terbuka, tampaknya tak ada hambatan bagi Edwin untuk menguasai Astra. Kalaupun ada batasan, itu adalah kemampuan finansial Edwin. Tapi kali ini Edwin tak datang sendirian. "Tak punya duit," katanya. Ia mengajak dua raksasa keuangan dari Amerika Serikat, yaitu Newbridge Capital dan Gilbert Global Equity Capital.
Newbridge bukan pemain baru di Asia. Sejak tahun lalu, lembaga investasi yang dibeking Grup Texas Pacific ini telah mengincar aset di negara-negara yang terlanda krisis seperti Indonesia, Korea, dan Thailand. Dengan total dana kelolaan sekitar US$ 10 miliar, Newbridge bergerak begitu cepat. Dalam setahun terakhir, lembaga investasi raksasa ini telah mencaplok Astra Microtonics Technology (senilai US$ 90 juta), kemudian perusahaan properti Hongkong Kerry Properties, dan melahap mayoritas saham Korea First Bank senilai US$ 451 juta.
Selain Astra, Newbridge kini juga sedang mengincar salah satu perusahaan teknologi terkemuka di Thailand. Singkat kata, dengan beking lembaga investasi sebesar itu, agaknya tak perlu mempertanyakan sumber keuangan bagi Edwin.
Pada tahap awal, Newbridge dan Gilbert hanya akan menawar 19,9 persen saham Astra. Jika menggunakan patokan harga akhir pekan lalu (Rp 2.950), dana yang harus mereka siapkan sedikitnya Rp 1,4 triliun atau US$ 180 juta. Tapi, menurut sumber-sumber di pasar keuangan, mereka akan menambah porsi sahamnya 20 persen lagi menjadi 40 persen. Jika rencana ini tak berbelok di tengah jalan, Edwin bersama Newbridge dan Gilbert akan menjadi mayoritas pemegang saham Astra, meninggalkan Sampoerna Astra Corp., milik pengusaha Putera Sampoerna, yang memiliki 14,4 persen saham.
Lalu apa manfaat masuknya Edwin dan kawan-kawan bagi Astra? Yang pertama tentu: adanya beking modal yang tangguh. Dengan mayoritas saham di tangan pemerintah (lebih dari 40 persen saham) seperti sekarang, Astra tak akan lincah dalam menambah modal.
Padahal, untuk meringankan beban keuangan, Astra harus menambah kapital. Krisis ekonomi telah membawa Astra ke dua mata pisau kematian: nilai utangnya membengkak, sedangkan penjualannya terus merosot. Dengan total utang US$ 1,8 miliar pinjaman valuta asing plus Rp 2 triliun pinjaman rupiah, beban keuangan Astra sungguh superberat. Seorang analis menaksir, dengan beban utang seberat itu, Astra harus membayar utang US$ 570 juta tahun ini.
Memang betul, dalam persetujuan dengan para pemberi utangnya Juni lalu, Astra berhasil merestrukturisasi sebagian besar utang dolarnya. Melalui pelbagai skenario pelunasan seperti membeli kembali surat utang yang belum jatuh tempo (pada harga murah), memperpanjang masa pembayaran, dan menyerahkan aset dan saham anak perusahaan kepada para kreditur, Astra untuk sementara berhasil menyingkirkan beban berat itu. Dalam perhitungan para analis, nilai utang yang dibangun ulang mencapai US$ 1 miliar.
Namun, tanpa diskon yang berarti, pinjaman Astra tetap saja akan memberatkan kinerja perusahaan di masa datang. Menurut para analis, selain menggelar restrukturisasi utang, Astra masih harus menambah dana. Caranya, bisa dengan menjual aset lebih banyak atau injeksi modal. Manajemen Astra sebenarnya sudah sampai pada pilihan untuk menambah kapital. Rencananya, begitu situasi politik lebih mapan, presiden baru sudah terpilih dengan damai, aksi tambah modal ini akan segera digelar.
Nah, untuk kepentingan beking kapital inilah, masuknya Edwin dan Newbridge serta Gilbert akan membawa kemudahan bagi masa depan Astra. Tapi, entah mengapa, menurut sejumlah analis, manajemen kurang begitu gembira dengan penawaran ini. Mereka ingin agar BPPN melelang penjualan saham Astra ke pihak lain yang selama ini sudah menunjukkan minat, misalnya perusahaan Cycle & Carriage dari Singapura dan San Miguel dari Filipina.
Bagaimana hasil tarik-ulur ini, belum ada yang tahu pasti. Bagi BPPN sendiri, siapa pun yang masuk dan menguasai Astra tidak terlalu menjadi soal. Yang peting, "Mereka menawarkan harga paling tinggi."
M. Taufiqurohman dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini