Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pemberian lahan tambang kepada perguruan tinggi, sebagaimana yang telah diterapkan untuk organisasi masyarakat (ormas) berbasis keagamaan, menuai pro dan kontra. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan bahwa perguruan tinggi yang ingin mengelola tambang harus memiliki badan usaha, sebagaimana aturan yang berlaku untuk ormas keagamaan.
“Ya, tentu (punya badan usaha), makanya sekarang sedang kami bahas,” ujar Doli di sela-sela rapat Panja Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Senin 20 Januari 2025.
Dalam pembahasan revisi ini, mekanisme pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk perguruan tinggi dan ormas keagamaan akan disamakan. Doli juga menyebutkan bahwa pihak mana yang akan diprioritaskan dalam pengelolaan tambang, baik perguruan tinggi maupun ormas keagamaan, masih menjadi diskusi.
Revisi UU Minerba diajukan untuk mengakomodasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Joko Widodo. PP tersebut mengatur alokasi WIUPK kepada ormas keagamaan.
Anggota Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi kebijakan tersebut. “Ini salah satu solusi agar PP di era Pak Jokowi bisa ada di dalam Undang-Undang. Bahkan pemerintah sekarang ingin mengembangkan tidak hanya ormas keagamaan, tapi juga universitas,” ujar Bambang.
Namun, pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi memunculkan kekhawatiran baru. Anggota Baleg DPR RI, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menilai hal ini berpotensi menimbulkan masalah karena jumlah universitas yang sangat banyak di Indonesia. “Ini menimbulkan masalah baru. Bagaimana pemerintah bisa memilih memberikan kewenangan kepada ribuan universitas di Indonesia?” kata Umbu.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengusulkan agar perguruan tinggi mengelola tambang sebagai solusi pembiayaan kampus. “Hasil tambang bisa digunakan untuk operasional kampus, gaji dosen, dan uang kuliah mahasiswa,” ujarnya.
Namun, beberapa akademisi justru menolak usulan ini. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, menegaskan bahwa pengelolaan tambang bukan wilayah perguruan tinggi. “Perguruan tinggi harus fokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” kata dia kepada Tempo.co.
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Ridho Kresna Wattimena, menyatakan bahwa pengelolaan tambang membutuhkan proses panjang dan biaya besar. “Jika diberikan lahan greenfield, proses eksplorasi dan desain tambang bisa memakan waktu 5 hingga 10 tahun sebelum menghasilkan keuntungan,” ujarnya.
Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kebijakan ini sebagai ancaman terhadap independensi kampus. Kepala Divisi Kampanye Industri Ekstraktif Walhi, Hadi Jatmiko, menyebut pemberian konsesi tambang sebagai upaya membungkam suara kritis kampus terhadap kebijakan pemerintah.
Direktur Center for Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai wacana ini berpotensi merugikan perguruan tinggi secara finansial. “Pengelolaan tambang membutuhkan investasi besar dan tidak menjamin keuntungan. Bahkan, pengusaha tambang berpengalaman pun bisa merugi,” ungkap Bhima. Ia juga khawatir beban kerugian akan berdampak pada kenaikan uang kuliah mahasiswa.
Selain itu, industri pertambangan yang bersifat ekstraktif menimbulkan tantangan lingkungan. Menurut Wakil Rektor IV Universitas Hasanuddin, Adi Maulana, konsep green mining harus diterapkan untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan tambang. “Ini penting agar dampak lingkungan dapat diminimalkan,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, secara tegas menolak kebijakan ini. Ia menilai bahwa perguruan tinggi dan ormas keagamaan bukan entitas bisnis yang cocok untuk mengelola tambang. “Kebijakan ini mencederai muruah akademik dan berpotensi memperkuat kepentingan oligarki,” kata Herlambang.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Melky Nahar, menambahkan bahwa kampus yang menerima konsesi tambang seharusnya mendapatkan sanksi sosial. “Masyarakat sipil dapat menolak bekerja sama dengan mereka,” ujarnya.
Sukma Kanthi Nurani, Hendrik Yaputra, Ellya Syafriani, dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Rektor UII Tegas Tolak Perguruan Tinggi Kelola Lahan Tambang: Integritas Akademik Jadi Taruhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini