Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengebut mega proyek lumbung pangan atau food estate demi mencapai swasembada pangan pada 2027. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan ada empat wilayah yang awalnya rawa-rawa ingin disulap menjadi lahan pertanian, yaitu di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Amran mencoret Sulawesi Selatan karena luas rawanya dinilai kecil. “Fokus empat itu, ada 500 ribu hektare itu kita garap,” ujarnya di Hotel The Westin Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amran meyakini kunci keberhasilan ekstensifikasi itu adalah transformasi pertanian tradisional menuju modern. Standar modern ala Amran yakni penerapan mekanisasi dengan menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan) berteknologi canggih, Pada 10 Januari 2025, Amran menganggarkan dana hingga Rp10 triliun untuk bantuan alsintan yang akan disalurkan ke petani pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia optimistis produksi pertanian bisa meningkat 100 persen dan biaya produksi turun hingga separuhnya. Teranyar, ia memamerkan hasil kerja program food estate di Merauke, Papua Selatan. “Sudah panen padi 40 ribu ton. Itu adalah yang lahan dulu tidur, kita optimalkan kembali. Kalau tidak salah, Kalimantan Tengah sudah 2.000-an ton,” ucap Amran mengklaim.
Food estate di Kabupaten Merauke dan Kalimantan Tengah termasuk bagian dari proyek strategis nasional di era Presiden Joko Widodo yang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Berbagai kalangan memperhitungkan kerugian ekologi dan ekonomi dari food estate. Sejumlah korporasi besar juga disebut-sebut terafiliasi dengan pemerintah dalam proyek ini. Lalu apa saja polemik dari food estate tersebut?
Kegagalan Food Estate di Kalimantan Tengah
Organisasi Pantau Gambut memetakan bukti-bukti kegagalan food estate di Kalimantan Tengah yang awalnya diprakarsai oleh Presiden Soeharto di akhir masa pemerintahannya. Kala itu Soeharto ingin mencapai swasembada beras dengan membuka lahan seluas 1 juta hektare lewat proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Dari target itu hanya sekitar 110 ribu hektare lahan yang terealisasi dan justru menimbulkan kebakaran hutan seluas 730 ribu pada tahun 1997-1998.
Pantau Gambut tak habis pikir kala Jokowi meresmikan food estate di area bekas PLG pada 2020. Setahun setelahnya data Kementerian Pertanian menunjukkan hasil intensifikasi sawah tak produktif yang menghasilkan 3,5 ton gabah kering per hektare dari yang seharusnya minimal 4 ton. Pada tahun 2020-2023 Pantau Gambur mengobservasi 30 titik lokasi eks PLG di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang juga menjadi lokasi food estate.
“Dengan total luas 243.216 hektare yang dianalisis oleh Pantau Gambut, hanya 1 persen luasan yang benar-benar sesuai sebagai lahan pertanian,” ujar Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas pada Tempo, Jumat, 31 Januari 2025. Selain masalah ketidaksesuaian lahan, Pantau Gambut juga menemukan penelantaran area dan kebakaran hutan dilaporkan terus terjadi sejak 1997 yang berakibat pada pelepasan ratusan ribu ton karbon dioksida ke udara.
Pantau Gambut mencatat lahan-lahan food estate yang terbengkalai dari PLG telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit milik sembilan korporasi besar. Melalui analisis spasial, Pantau Gambut mengungkap sebanyak 274 hektare lahan sawah telah berubah jadi perkebunan sawit di Desa Tajepan Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. PT Wira Usahatama Lestari (PT WUL) adalah perusahaan yang telah membuka lahan sawit tepat di samping petak sawah milik Kelompok Tani Aneka Tarea yang sempat mengelola lahan program food estate.
Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana menceritakan pendirian PT WUL tidak hanya untuk membuka kebun sawit di area food estate Desa Tajepan. Perusahaan tersebut memiliki wilayah konsesi seluas 14.615 hektare dan beberapa di antaranya membentang di Desa Palingkau Jaya, Palingkau Asri, dan Tajepan. "Perusahaan membuat petak-petak yang ditanami sawit dan kami temukan sawit sudah mencapai jengkal," kata Wahyu kepada Tempo.
Menurut Pantau Gambut, alih fungsi area yang sebelumnya dicadangkan sebagai lumbung pangan nasional menjadi perkebunan sawit mengindikasikan dugaan pelanggaran. Iola Abas juga menekankan, bila pemerintahan Prabowo memaksakan food estate di Kalimantan Tengah, akan ada tumpang tindih regulasi dan pelemahan lingkungan. Terutama, kata Iola, dengan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi keleluasaan pada food estate yang statusnya sebagai PSN. Pasalnya, food estate mendapat banyak pengecualian pada standar-standar perlindungan lingkungan seperti melonggarnya standar perlindungan ekosistem gambut yang diatur dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Program food estate berupa perkebunan singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah juga gagal total. Pasalnya, singkong tidak bisa tumbuh di sana. Padahal ratusan hektare hutan sudah kadung dibabat. Program yang dikerjakan Prabowo saat menjadi Menteri Pertahanan itu hanya menyisakan kerusakan hutan dan memicu banjir.
Segudang Masalah Food Estate di Merauke
Tak jauh berbeda dengan Kalimantan Tengah, proyek lumbung pangan yang dibangun di atas 2,29 juta hektare lahan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, juga menambah catatan panjang polemik food estate. Program yang terdiri dari mega proyek cetak sawah pertanian dan perkebunan gula serta pabrik bioetanol itu terbagi dalam lima kluster alokasi lahan.
Dokumen paparan Sucofindo bertajuk “Studi Kelayakan: Kawasan Sentra Produksi Pangan di Kabupaten Merauke” mencatat total luas lahan yang dibidik proyek cetak sawah mencapai 1,18 juta hektare. Lokasinya tersebar di 15 distrik di Merauke yang terbagi dalam lima kluster pengembangan. Rincian luasnya yakni kluster 1 sebesar 372 ribu hektare, kluster 2 seluas 283 ribu hektare, kluster 3 seluas 634 ribu hektare, kluster 4 seluas 353 ribu hektare, dan kluster 5 seluas 654 ribu hektare.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante menjelaskan bagaimana proyek itu merugikan masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan yang dibabat demi food estate. Franky mengatakan sejak dimulai Jokowi hingga dilanjutkan Prabowo, pemerintah tidak pernah mengajak masyarakat adat bermusyawarah saat mengambil alih lahan hutan, sabana, hingga rawa.
“Tanpa ada izin, tanpa ada kompensasi yang tentunya berdampak sosial dan ekonomi karena itu sumber mata pencaharian mereka ada di situ. Juga sumber-sumber budaya, adat, ritual mereka ada di situ,” ujar Franky kepada Tempo, Jumat, 31 Januari 2025. Franky memperkirakan setidaknya ada 50 ribu penghuni jiwa yang mendiami distrik yang terdampak dari pembukaan lahan untuk food estate. Ia mengestimasi 80 persen di antaranya adalah orang asli Papua.
Di sisi lain, Franky telah memetakan sejumlah korporasi yang diduga menerima manfaat dari proyek food estate di Merauke. Pasalnya, Yayasan Pusaka Bentala mencatat pemerintah menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) dan surat rekomendasi pelepasan hutan (SRPH) kepada 10 perusahan perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol pada periode 2023-2024.
Melalui Ketua Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke Bahlil Lahadalia, pemerintahan Jokowi menggandeng 10 perusahaan yang kebagian menggarap proyek dengan rincian sebagai berikut:
- PT Global Papua Abadi, mengelola konsesi seluas 30.777 hektare untuk kebun tebu, pabrik gula dan bioetanol.
- PT Andalan Manis Nusantara dengan luas konsesi 60.786 hektare diperuntukan bagi kebun tebu, pabrik gula dan bioetanol.
- PT Semesta Gula Nusantara, luas konsesi 66.056 hektare untuk kebun tebu, pabrik gula dan bioetanol.
- PT Dutamas Resources International, luas konsesi 60.879 hektare untuk kebun tebu, pabrik gula dan bioetanol.
- PT Borneo Citra Persada, luas konsesi 50.772 hektare untuk kebun tebu.
- PT Global Papua Makmur, luas konsesi 60.364 hektare untuk kebun tebu dan pabrik dan bioetanol.
- PT Murni Nusantara Mandiri, luas konsesi 52.395 hektare untuk kebun tebu dan pabrik gula.
- PT Berkat Tebu Sejahtera, luas konsesi 60.342 hektare untuk kebun tebu.
- PT Agrindo Gula Nusantara, luas konsesi 60.679 hektare untuk kebun tebu.
- PT Sejahtera Gula Nusantara, luas konsesi 60.606 hektare untuk kebun tebu.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa berpendapat bahwa food estate di Papua yang dijalankan pemerintahan Prabowo akan mengulang kegagalan presiden sebelumnya. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010 silam juga gagal. “Kenyataannya kan gagal semua?,” ujarnya saat dihubungi pada Selasa, 28 Januari 2025.
Dalam laporan Tempo bertajuk “Food Estate Merauke Bisa Kembali Gagal. Mengapa?” Andreas menyebutkan kesamaan utama semua program swasembada pangan, yakni pembukaan lahan pertanian skala besar. Dia mengatakan salah satu kendala terbesarnya adalah kebutuhan dana. Pembukaan lahan, pembenahan lahan agar siap tanam, hingga pembangunan sarana dan prasarana pendukung pertanian butuh dana besar. Belum lagi, kata Andreas, modal untuk mekanisasi hingga tenaga kerja.
Kesamaan lain yang disoroti Andreas adalah keputusan pemerintah melibatkan pengusaha untuk mengolah lahan pertanian skala besar. Buat para pemilik modal, tak mudah menggelontorkan investasi besar tanpa kepastian keuntungan. Pasalnya, dari rentetan program food estate, kata Andreas, produktivitas lahannya rendah. Belum lagi ongkos distribusi pangan ke luar Merauke. Buktinya, hanya segelintir perusahaan yang bertahan di lahan-lahan food estate untuk mengurusi pangan dan berhasil berproduksi.
Faktor lain yang membuat Andreas yakin proyek ini bakal gagal adalah masalah tenaga kerja. Andreas mempertanyakan kesiapan pemerintah menyiapkan petani yang mampu menggarap lahan food estate. “Petani yang berpengalaman dan dibantu mekanisasi di Jawa bisa mengerjakan 1 hektare sendiri saja itu sudah super-luar biasa,” ujarnya. Jika satu orang menggarap 1 hektare, setidaknya 2 juta orang perlu didatangkan dari luar Merauke untuk mengerjakan lahan seluas 2 juta hektare. Andreas mengingatkan risiko konflik sosial karena kedatangan gelombang pekerja ini.
Oleh sebab itu Andreas mengusulkan pengembangan lahan pertanian skala kecil lebih memungkinkan untuk menambah produksi pangan nasional. Lewat program transmigrasi, pemerintah bisa memberi satu keluarga lahan 10 hektare untuk diolah. Untuk skala besar, lahan bekas gambut peninggalan Presiden Soeharto bisa menjadi opsi sebagai lahan sawah baru ketimbang dibiarkan dan jadi pemicu kebakaran hutan saat El Niño tiba.
Masalah tenaga kerja juga menjadi sorotan dalam jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi yang disusun oleh Maria Maghdalena Diana Widiastuti, Yusman Syaukat, A. Faroby Falatehan, dan Dedi Budiman Hakim. Melalui kajian berjudul “Tinjauan Implementasi Program Food Estate dan Prospeknya di Merauke Papua” yang terbit pada 12 April 2023, para peneliti dari sejumlah kampus ini menyatakan pemerintah perlu mendatangkan tenaga kerja dari luar Merauke untuk memenuhi kebutuhan di lahan food estate, selain memanfaatkan mekanisasi pertanian. “Namun hal ini perlu juga mempertimbangkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dan pencari kerja di Kabupaten Merauke.”
Laporan tersebut juga mengulas ancaman lain terhadap food estate di Merauke, berkaca pada pengalaman MIFEE. Para penulis mengacu pada laporan uji coba tanam Medco Group yang masuk daftar 36 investor MIFEE saat itu. Perusahaan menyimpulkan komoditas jagung, sorgum, dan kedelai tak cocok ditanam di Merauke lantaran produktivitasnya lebih rendah dari hasil uji coba pemerintah. Penyebabnya antara lain ketidaksesuaian lahan dan kualitas tanah yang tidak mumpuni untuk jenis komoditas tersebut.
Keterlibatan investor dalam pertanian skala luas ini juga berkontribusi menghambat implementasinya. “Dalam perjalanannya, praktik model pertanian tersebut tidak berjalan lancar karena terkait dengan masalah kepemilikan lahan.” Isu akuisisi lahan menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah, investor, dan masyarakat.
Irsyan Hasyim, Avit Hidayat, Vindri Florentin berkontribusi dalam penulisan berita ini.
Pilihan Editor: 100 Hari Kabinet Prabowo: Besar Angan Brigade Pangan