PENCURI mayat meningkatkan kegiatannya di Sulawesi Selatan tatkala harganya memang lagi baik. Salah sanl sasaran, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Polmas, 250 kilometer dari Ujungpandang. "Tiga belas mayat dan benda berharga lain, seperti keris cmas bernilai jutaan rupiah, telah digondol pencuri," kata Kepala Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Abdul Muttalib. Itu terjadi cuma Februari dan Maret lalu. Dalam tahun-tahun belakangan ini, di daerah itu saja tercatat ada 22 mayat yang diangkut maling. Hilangnya mayat, kata penduduk Mamasa, bisa dikatakan sebagai bencana besar. Mayat yang dicuri memang punya leluhur mereka yang disimpan secara tradisional di dalam kotak-kotak kayu yang berukir halus. Tapi ada juga mayat yang dikubur di tanah digali maling. Lazimnya, mayat itu tak rusak karena sewaktu dikuburkan liangnya diperciki air kembang bermantera. Yang lebih mengesalkan, pencurian itu diatur oleh suatu komplotan. Tujuannya semata-mata untuk memperoleh duit. Harga mayat yang sesuai dengan permintaan penadah bisa mencapai jutaan rupiah. Menghadapi kenyataan memprihatinkan ini, Koordinator Panitia Pelestarian Makam Tedong-Tedong Minanga mulai menelusuri mata rantai tata niaga mayat. Demmaroa, si koordinator, mengirim laporan ke Kapolres dan Kapolda setempat mengenai gawatnya serbuan pencuri mayat. Operasi yang dipimpin Kapten Pol. Daniel itu - dengan bantuan 7 polisi Sektor Mamasa - bisa menyingkap komplotan pencuri mayat tersebut. Titik terang berawal dari ditemukannya sebuah harmonika di lokasi kuburan yang dicuri. Dari situ dilacak siapa yang membawa alat musik tiup itu ke daerah kuburan. Dengan cepat polisi menangkap Toding Gayong S. Petani berusia 35 tahun itu tanpa berbelit mengaku dan menunjuk anggota komplotan sebanyak 9 orang. Mereka ditangkap akhir April lalu. Kemudian polisi menangkap lagi 8 orang yang diduga terlibat. Sampai akhirnya 13 Juni, dari tempat itu polisi berhasil menahan 26 orang. Operasi selanjutnya adalah menggulung penadah. Mayat hasil curian itu, katanya, dikirim ke rumah Haedar - keturunan India dari Bombay - di Ujungpandang. Ketika polisi mendobrak rumahnya, Haedar sudah kabur ke Bali. Untuk pengamanan, masyarakat sendiri juga membentuk kelompok-kelompok yang bertugas menjaga mayat di kuburan. Cara ini juga dimaksudkan untuk mencegah agar masyarakat tidak mengadili sendiri pencuri mayat yang tertangkap. Ada kekhawatiran terulangnya peristiwa pertengahan Mei lalu. Massa yang beringas menghajar sampai mati warga desa Balla, Bernadus, 30 tahun, yang ketahuan berada di kuburan pada tengah malam. Hukuman semacam itu, menurut hukum adat yang sudah ditinggalkan, masih tergolong kurang sadistis. "Dulu, sebelum ada KUHAP, siapa saja yang tertangkap mencuri mayat akan dihukum secara adat. Tubuhnya ditelanjangi, diikat dengan ijuk, lalu dibakar di depan umum," kata Sekretaris Panitia Pelestarian Makam Tedong-Tedong, A. Lentho. Cara lain pencuri itu diikat dan dilemparkan ke jurang hidup-hidup. Menurut Kadispen Polda Sulselra, Mayor Kahayani, komplotan yang terorganisasi itu telah berhasil mengangkut puluhan mayat. Harga tiap mayat, konon, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tentu saja tergantung jenisnya. Harga paling top, kabarnya, untuk mayat yang berumur puluhan atau ratusan tahun dan panjangnya 40-50 sentimeter. Kecuali kedua syarat itu, mayat yang diincar harus dalam keadaan utuh. Untuk mencuri satu mayat yang "sakti", pemesan berani membayar uang muka Rp 300.000. Mayat itu, konon, dibawa ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri untuk diramu dijadikan obat. Bagaimanapun, tidak gampang memberantas pencurian mayat. Mungkin, mereka tidak jera karena hukuman bagi pencuri mayat kurang berat. Contohnya pencuri mayat di Kabupaten Gowa. Mereka, sebanyak 40 orang, cuma diganjar hukumar masing-masing delapan bulan penjara (TEMPO, 15 Maret 1980). W.Y. & Erwin Patandjengi (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini