PERKEBUNAN teh rakyat ternyata belum hendak dibabat lewat perkebunan besar pemerintah (PTP) dan perkebunan besar swasta. Sebuah pabrik pengolah teh rakyat telah didirikan Departemen Pertanian di Sukabumi dan hendak dioperasikan mulai Oktober ini. Dalam waktu dekat, tiga pabrik lagi akan segera menyusul. Pabrik-pabrik tersebut, menurut pejabat Departemen Pertanian, akan dikelola perusahaan swasta yang berpengalaman. Petani tinggal menyerahkan daun tehnya untuk diolah sebagai teh hitam, dan mendapatkan harga penjualan yang disetujui pemerintah. Hal ini untuk membantu pendapatan petani teh yang selama ini hanya menghasilkan teh hijau yang kurang bermutu. Harga teh hijaupun seperti dikendalikan sindikat: tak pernah naik dari Rp 800 per kg. Padahal, harga teh di pasaran dunia dewasa ini sekitar Rp 1.700 per kg (teh hitam), bahkan mencapai sekitar Rp 2.200 per kg tahun silam. Teh merupakan sumber devisa terbesar setelah karet, kopi, dan kopra. Menurut laporan Bank Indonesia, devisa US$ 226,6 juta tahun silam diterima dari ekspor teh sebanyak 95.000 ton. Produksi nasional, 1984, mencapai 119.000 ton, tapi paling besar dihasilkan PTP (62%) sedangkan teh rakyat hanya 21%, selebihnya produk perkebunan besar swasta. Padahal, di tahun 1968, andil produksi teh rakyat masih 45% dari produksi nasional, sedangkan produksi PTP hanya sekitar 38% (28.000 ton). Pembinaan untuk petani teh, yang kebanyakan tinggal di daerah pegunungan Jawa Barat, sepertinya kurang sekali. Banyak lahan perkebunan teh rakyat sudah terbengkalai, bahkan ada yang sudah sejak Zaman Jepang. Di daerah Puspahiang di Tasikmalaya, misalnya, banyak perkebunan teh sudah telantar. "Soalnya, tak ada bimbingan dari Dinas Perkebunan," tutur Sukarna, seorang petani teh di daerah itu. Diakuinya, ada proyek manajemen unit (PMU) untuk petani teh di situ. Tapi, rupanya, gagal. "Proyek itu tak terpadu," katanya. Pada 1978, Sukarna dan petani teh lain pernah menerima fasilitas kredit PMU, berbentuk bibit, pupuk, dan obat antihama. Pemberian fasilitas itu dilakukan bertahap tapi tak teratur. Misalnya, bibit telah tumbuh. Kemudian datang hama, tapi obat terlambat turun. Begitu pula pemberian pupuk tidak disertai penyuluhan tentang teknik pemakaiannya. Akibatnya, pohon teh mati. Selanjutnya, petani jadi malas mengurus kebunnya. Sukarna hanya bisa mengembalikan Rp 60.000, padahal kredit PMU yang diterimanya Rp 477.000. Bahkan untuk biaya keluarganya, ia terpaksa menjual sebagian lahannya. Kini, kebunnya tinggal 0,5 ha, sebulan panen tiga kali menghasilkan 4,5 kuintal. Agaknya, daun teh yang dipetiknya sampai beberapa lembar di bawah pucuk berikut batangnya, sehingga hanya laku Rp 100 per kg. Penerimaannya Rp 45.000 sebulan harus dipotong biaya pupuk, pemeliharaan, dan buruh pemetik, sehingga pendapatan bersih tinggal Rp 19.500. Tjandra, pemilik pabrik pengolahan yang menampung teh rakyat di daerah itu, menyatakan bahwa hasil teh rakyat di Puspahiang itu kurang baik. "Untuk membuat teh hijau pun tidak cukup baik," katanya. Ia terpaksa mencari stok dari daerah lain. Setelah diolah, bisa jadi teh bubuk berharga Rp 400 per kg, teh kasar Rp 575 per kg, dan teh utama yang laku Rp 1.200 per kg. Kemunduran teh rakyat di Jawa Barat, menurut kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Bandung, Sulaeman Pinatabrata, sudah dimulai sejak Zaman Jepang, dan berlanjut sampai 1970. Baru sejak 1972, Dinas Perkebunan merintis kembali peremajaan dan pembangunan kembali teh rakyat. Proyek-proyek Dinas Perkebunan untuk petani teh tak semuanya gagal seperti di daerah Tasikmalaya. Di daerah Pengalengan di Kabupaten Bandung, misalnya, perkebunan teh swasta dan rakyat berjalan dengan baik. Petani yang berhasil, contohnya, Usman, 52. Ia mulai menekuni usaha kebun teh dua hektar sejak 1978. Dengan bantuan kredit PMU Rp 700.000, yang diterimanya 1978, usahanya mulai berbuah seJak tahun sllam. Setiap bulan kebun tehnya dipetik 2,4 ton pucuk basah. Pabrik pengolahan milik PTP membeli tehnya dengan harga Rp 170 per kg. "Setelah dipotong upah pemetik dan angsuran kredit, untung bersih Rp 200.000," tutur Usman, pensiunan letnan TNI AD. Tingkat kegagalan pembangunan kembali perkebunan teh rakyat, menurut Pinatabrata, hanya sekitar 2%. Proyek yang dibiayai dengan dana Bank Dunia itu telah berhasil merehabilitasikan 1.600-an ha dan meremajakan kembali sekitar 5.500 ha kebun teh rakyat. Namun, proyek bantuan yang telah dinikmati sekitar 8.000 petani teh itu sudah habis. Sedangkan, menurut kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Bandung itu, masih sekitar 36.000 ha kebun teh di seluruh Jawa Barat yang perlu direhabilitasi. Untuk itu, diperlukan biaya sekitar Rp 90 milyar, dan sekitar Rp 75 milyar lagi untuk pembangunan 30 pabrik pengolahan teh rakyat. Belum lama berselang, pemerintah daerah Jawa Barat mengusulkan kepada Departemen Pertanian untuk ikut turun tangan. Menurut pejabat yang berwenang untuk itu kepada TEMPO, anggaran untuk pembinaan teh rakyat terbatas, sekitar Rp 12 milyar per tahun. Namun, katanya, atas instruksi Presiden, dana yayasan-yayasan sosial seperti Dharmais yang tersimpan di bank dapat dipinjam. Max Wangkar Laporan Musthafa Helmy (Jakarta) & biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini