BANYAK perusahaan, yang telah membayar pajaknya berlebih untuk tahun pembukuan 1984, seakan-akan hendak memecahkan celengan. Kelebihan pajak mereka dijanjikan Dirjen Pajak Salamun A.T., Sabtu dua pekan lalu, akan dikembalikan sebagai restitusi pada Oktober ini. "Jumlah mereka sekitar seribu, ada yang restitusinya sampai Rp 3 milyar," tutur Salamun. Jumlah restitusi itu secara persis tak diungkapkan. Menurut Salamun, nilainya di atas Rp 100 milyar. Sedangkan pajak penghasilan (PPh) badan usaha yang diterima pemerintah selama tahun anggaran 1984-1985 - menurut lampiran pidato Presiden, 16 Agustus lalu - berjumlah Rp 2.121 milyar atau Rp 300 milyar lebih di bawah sasaran. Kendati jumlah restitusi tersebut cukup besar, Salamun mengatakan bahwa pembayaran restitusi itu akan dipercepat. Mulai Oktober ini, begitu diminta, restitusi itu akan dibayarkan - urusan pengusutan oleh petugas pajak, belakangan. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menanggapi keluhan para pengusaha bahwa mereka memerlukan modal kerja, padahal suku bunga pinjaman di bank belum turun. Menurut ketentuan sistem perpajakan yang berlaku, restitusi itu baru akan dibayarkan setelah diteliti petugas pajak, bisa sampai 12 bulan. Kenyataan di lapangan ada restitusi dari tahun 1969, diakui Salamun, yang sampai sekarang belum dibayarkan. Ada beberapa faktor yang jadi penghambat. "Terus terang, sejak Menteri Keuangan Ali Wardhana, ada kecurigaan pemerintah terhadap pengusaha yang suka bermain kayu," katanya kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO. Lagi pula, sampai Juni lalu, pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk meminta pengampunan pajak atas penyelewengan pajaknya di tahun-tahun silam. Toh, ada juga perusahaan yang merasa selama ini gampang mengurus restitusi. PT National Gobel, misalnya, menurut wakil Dirut Jamien A. Tahir, sudah lama merasakan kemudahan itu. "Kuncinya terletak pada keterbukaan manajemen," katanya. Buktinya, setelah neraca perusahaan National Gobel terbit, biasanya setiap April, restitusi sudah diperoleh dua atau tiga bulan kemudian. Restitusi yang diterima ada yang mencapai Rp 1 milyar. Ada perusahaan yang telah memasyarakatkan diri di pasar modal, dan setiap enam bulan mengumumkan neracanya, tapi masih juga mengalami kelambatan pengurusan restitusi. PT Delta Djakarta, misalnya, menurut Dirut Soedjono Respati, untuk tahun 1984 masih berhak atas restitusi ratusan juta. "Soalnya, pajak yang kami bayarkan setiap bulan berdasarkan perhitungan laba tahun sebelumnya," kata Respati. Ternyata, laba perusahaan bir itu tahun silam hanya Rp 800 juta, merosot dibandingkan tahun sebelumnya yang Rp 4,3 milyar. "Kelambatan itu mungkin karena kemampuan aparat pajak terbatas, jadi hanya soal waktu. Tapi 'kan sayang, uang itu tersimpan tanpa bunga, sedangkan untuk modal kerja, kami harus meminjam dengan bunga tinggi," tutur Respati. Namun, Dirjen Pajak telah menjanjikan bahwa restitusi itu akan segera dibayar, untuk membantu permodalan badan usaha. Sebaliknya, bila setelah pengusutan terbukti bahwa perusahaan menerima restitusinya lebih besar dari yang sebenarnya, katanya, pemerintah akan menagih kembali kelebihan restitusi itu berikut denda bunga 2% per bulan. Sejauh ini, ternyata, menurut Dirjen Pajak, masih ada perusahaan yang lucu. Dalam tahun yang sama, wajib pajak itu melaporkan pembukuan seolah-olah kelebihan membayar pajak, ternyata kemudian ia juga minta pengampunan pajak. Tapi, ada pula yang, tidak mengerti apakah ia perlu membayar pajak atau tidak, ternyata mencari jalan selamat dengan membayar begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini