Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH waktu satu tahun bagi Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia merancang dan membangun wahana digital untuk transaksi produk jasa wisata. Padahal, dalam dua tahun terakhir, gurihnya bisnis pariwisata online sudah dinikmati banyak perusahaan rintisan.
Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies atau Asita bukannya enggan menunda peluncuran marketplace bernama AsitaGO itu. "Banyak yang harus disiapkan, infrastrukturnya, sistemnya, dan mengkoordinasi anggota yang jumlahnya 7.000-an," ujar Ketua Umum Asita, Asnawi Bahar, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Aplikasi yang dirancang dengan investasi hingga Rp 5 miliar itu akhirnya meluncur pada pertengahan Desember lalu, berbarengan dengan perhelatan Rapat Koordinasi Nasional Pariwisata IV yang dihelat Kementerian Pariwisata. Pada Juli lalu, aplikasi itu sudah diperkenalkan ke kalangan internal asosiasi.
AsitaGO tidak dibuat untuk menahan gempuran aplikasi pemesanan tiket transportasi dan kamar hotel secara digital. Konsep yang ditawarkan AsitaGO adalah jual-beli paket wisata business to business. Dalam aplikasi ini, penjualan dilakukan dalam sistem paket. "Penjualnya biro perjalanan anggota Asita, pembelinya agen yang kemudian memasarkan secara eceran."
Pilihan untuk tidak masuk ke pasar retail didasari bentuk bisnis yang dijalankan biro wisata. Anggota Asita, menurut Asnawi, bermain di segmen full service. Artinya, mereka menjual paket wisata, dari pemesanan tiket transportasi, perencanaan perjalanan, akomodasi, hingga destinasi wisata. Pembeli paket ini biasanya wisatawan berkelompok ataupun turis-turis berduit tebal.
Hal ini berbeda dengan format bisnis agen wisata online versi perusahaan rintisan. Situs dan aplikasi semacam Traveloka, Agoda, dan Booking.com hanya menyediakan layanan berupa pemesanan tiket atau akomodasi. Konsumen mereka kebanyakan wisatawan perseorangan atau turis berbujet rendah (backpacker).
Perbedaan segmen itu membuat Asita tak merasa terancam oleh keberadaan aneka perusahaan rintisan. Format bisnis wisata full service ini diproyeksikan akan semakin berkembang mengikuti tingginya tingkat kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Pasar terbesar anggota Asosiasi adalah wisatawan Cina dan Eropa. "Sebanyak 90 persen wisatawan Cina yang datang ke Indonesia menggunakan jasa kami," ujar Asnawi.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pada Januari-September 2017, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia mencapai 10,46 juta, naik 25,05 persen dibanding pada periode sama tahun lalu, yang mencapai 8,36 juta kunjungan. Kenaikan ini di atas rata-rata negara lain di wilayah Asia Tenggara dan dunia, yang hanya 6 persen. Wisatawan yang masuk Indonesia paling banyak berasal dari Cina sebesar 15,83 persen, diikuti Australia (8,06 persen), Singapura (8,75 persen), Malaysia (8,71 persen), dan Jepang (4,90 persen).
Peningkatan jumlah wisatawan itu diperkirakan diikuti dengan penambahan devisa dari sektor pariwisata. Kementerian Pariwisata memprediksi ada pertumbuhan devisa sebesar 25 persen dari devisa pariwisata pada 2016, yang mencapai US$ 13,5 juta. Hal ini membuat sektor pariwisata menempati urutan kedua dalam daftar penyumbang devisa terbesar, kalah dibanding minyak sawit mentah, yang mencapai US$ 15,9 juta. Pada 2015, kontribusi devisa pariwisata masih berada di peringkat keempat.
Membesarnya porsi pariwisata disumbang oleh naiknya konsumsi masyarakat. Pada triwulan ketiga 2017, data BPS menunjukkan ada pertumbuhan konsumsi informasi dan wisata sebesar 10,8 persen. Jumlah ini jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan konsumsi pakaian dan barang, yang hanya 2 persen. Pergeseran tren serupa tampak pada rekapitulasi hasil Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada 11-13 Desember lalu.
Lembaga riset Nielsen Indonesia melaporkan belanja keperluan akomodasi dan pariwisata terkatrol ke posisi kedua (29 persen dari seluruh transaksi) dalam daftar pembelian terpopuler selama Harbolnas. Produk pariwisata menggeser pembelian peranti telekomunikasi (24 persen) yang melorot ke posisi keenam. Adapun produk busana (74 persen) masih merajai minat konsumen. Harbolnas tahun ini mampu mencatatkan nilai transaksi hingga Rp 4,7 triliun.
Mengikuti jejak Asita, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperkenalkan situs Internet dan aplikasi marketplace yang diberi nama BookingINA. Ketua PHRI Haryadi Sukamdani mengatakan keberadaan wahana digital ini diharapkan bakal membantu para anggota perhimpunan kian masif memasarkan produk-produknya.
Keberadaan agen wisata online semacam Traveloka, Agoda, dan Booking.com sebetulnya cukup membantu para pengusaha menggenjot penjualan. Di Grup Sahid yang dimiliki keluarga Sukamdani, misalnya, terjadi peningkatan pemesanan kamar hotel hingga 55 persen. "Bahkan ada anggota PHRI yang penjualannya naik sampai 90 persen," ujar Haryadi. Jika dirata-ratakan, peningkatan penjualan melalui agen wisata online selama tahun lalu mencapai 15 persen. "Mereka sangat membantu pemasaran."
Masalahnya, menurut Haryadi, sejumlah startup reservasi tiket dan akomodasi itu menerapkan komisi yang lumayan tinggi kepada para pengusaha. Walhasil, penjualan yang melonjak drastis tak membuat pendapatan para pengusaha perhotelan naik. Rata-rata para agen wisata online ini meminta komisi sebesar 17 persen. "Paling kecil ada yang 12,5 persen, terbesarnya sampai 35 persen." Di BookingINA, para pengusaha hanya dimintai komisi 12 persen.
Haryadi optimistis BookingINA bakal bisa menyaingi aplikasi agen wisata online yang lebih dulu populer. Pasalnya, jaminan ketersediaan kamar di aplikasi ini akan lebih banyak dan jelas karena yang mengelola adalah pemilik hotel langsung. Di aplikasi lain, ketersediaan kamar dibatasi kuota sehingga pada musim puncak liburan reservasi kamar hotel cepat habis.
Saat ini BookingINA belum bisa diakses konsumen. PHRI baru akan mengoperasikan situs dan aplikasi tersebut pada awal 2018. Haryadi mengklaim baru 200 hotel yang memastikan bergabung dengan BookingINA. "Ke depan pasti bertambah karena anggota kami mencapai 2.300 hotel berbintang dan 16 ribu hotel nonbintang."
Kedua wahana jual-beli buatan asosiasi pengusaha ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Keduanya bisa diakses melalui situs travel yang dikelola Kementerian Pariwisata. "Cara ini bakal membuka akses lebih luas ke pasar internasional," ujar Haryadi. Menteri Pariwisata Arief Yahya meminta PHRI dan Asita mendukung target 17 juta kunjungan wisatawan pada tahun ini.
Pemerintah sebetulnya sudah memiliki marketplace khusus pariwisata. September lalu, Kementerian meluncurkan Indonesia Tourism Exchange (ITX),yang konsepnya mirip dengan AsitaGO. Sewaktu memperkenalkan situs ITX.co.id, Arief Yahya mengatakan wahana ini dirancang untuk menjadi ekosistem yang akan mempertemukan penjual paket wisata dan para agen pembelinya. "Penggunaan teknologi digital sudah menjadi keniscayaan, tren wisata digital juga akan terus berkembang dan menjadi kebutuhan baru," ujarnya, September lalu. Kementerian menggandeng Telkom Indonesia untuk membangun situs dan aplikasi ITX.
Potensi pasar yang besar dan jumlah pemain bisnis wisata yang terus bertambah membuat persaingan lebih ketat. Ketatnya persaingan antar-agen wisata online tampak pada hasil riset Nielsen dan Adstensity. Kedua lembaga itu mengatakan, sepanjang 2017, terjadi peningkatan belanja iklan secara signifikan oleh perusahaan agen wisata online.
Sepanjang semester I 2017, Nielsen mencatatkan pertumbuhan belanja iklan layanan online mencapai 31 persen atau senilai Rp 3,2 triliun. Executive Director dan Head of Media Business Nielsen Indonesia, Hellen Katharina, menyebutkan dua perusahaan agen wisata online, yakni Traveloka dan Agoda, jadi pengiklan terbesar di berbagai media massa selama periode itu. Gaya hidup digital mempengaruhi ketatnya kompetisi para penyedia jasa telekomunikasi dan layanan online. "Pengiklan semakin gencar beraktivitas di berbagai media," tuturnya.
Adapun Adstensity mencatat, selama periode Januari-Desember 2017 nilai total belanja iklan khusus sektor wisata online di media televisi sudah mencapai Rp 1,17 triliun, naik 30,1 persen dari belanja tahun lalu. Dalam keterangan tertulisnya, Adstentity melaporkan Traveloka mencatatkan posisi pertama untuk belanja iklan televisi dengan nilai Rp 794,05 miliar. Agoda berada di posisi kedua denganbelanja iklansenilai Rp 155 miliar. Diikuti Misteraladin.com (Rp 105,17 miliar), Tiket.com (Rp 39,34 miliar), dan Pegipegi.com (Rp 39,14 miliar).
Besarnya belanja iklan yang dikeluarkan Traveloka mendatangkan pengaruh positif terhadap pertumbuhan pengguna. Tanpa menyebut tingkat penjualan, Public Relation Manager Traveloka Busyra Oryza mengatakan, sepanjang tahun lalu, Traveloka mencatatkan pertumbuhan pengguna hingga tiga kali lipat. "Per Desember 2017, aplikasi kami telah diunduh oleh lebih dari 30 juta pengguna," ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Traveloka menyiapkan strategi untuk merengkuh pasar lebih besar pada 2018. Salah satunya, menurut Busyra, menambah layanan bagi konsumen. "Sementara dulu kami hanya menyediakan layanan pemesanan tiket transportasi dan akomodasi, sekarang kami juga menjual tiket untuk tempat hiburan." Bukan hanya tempat hiburan dalam negeri, Traveloka juga sudah menyediakan reservasi untuk tiket taman bermain internasional, seperti Disneyland Hong Kong dan Universal Studio Singapura. "Sehingga konsumen bisa mendapatkan layanan lengkap dan mudah merancang perjalanannya menggunakan Traveloka."
Tak cukup di Indonesia, Traveloka sudah berekspansi ke enam negara lain di Asia Tenggara. Busyra mengatakan, selain membantu pertumbuhan bisnis perusahaan, Traveloka ingin membantu pemerintah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan asing ke dalam negeri. "Kami digandeng Kementerian Pariwisata mempromosikan destinasi wisata Tanah Air."
Praga Utama, Khairul Anam
Bisnis Jalan-jalan Berlari Kencang
KEHADIRAN agen travel online kian mempermudah konsumen mengakses akomodasi. Dampaknya, tamu hotel makin banyak. Tapi di sisi lain, dengan kemajuan teknologi, muncul pula bentuk e-travel lain, yang justru menggerus bisnis perhotelan konvensional. Mereka adalah marketplace yang menghubungkan pemilik hunian pribadi dan penyewa harian. Pesatnya pertumbuhan pelancong dalam dan luar negeri membuat pertarungan bisnis di sektor ini kian sengit. l Khairul Anam
Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan Mancanegara (juta jiwa)
- 2014: 9,435
- 2015: 10,406
- 2016: 11,519
- 2017: (proyeksi 13,5) 11,617 (sampai Oktober)
Belanja Leisure (Hotel dan Restoran)
Terus Tumbuh (year on year)
Kuartal III 2016: 5,01%
Kuartal III 2017: 5,52%
Proyeksi Pendapatan Aneka E-Travel (2017)
E-Travel (2017)
Pendapatan: US$ 7,819 miliar
Proyeksi Laju Pertumbuhan Tahunan 2017-2022: 16,1%
Volume Pasar 2022: US$ 16,520 miliar
Pasar Terbesar: Layanan mobilitas
Hotel
Pendapatan: US$ 1,818 miliar
Proyeksi Laju Pertumbuhan Tahunan 2017-2022: 15,8%
Volume Pasar 2022: US$ 3,792 miliar
Penyewaan
Pendapatan: US$ 77 juta
Proyeksi Laju Pertumbuhan Tahunan 2017-2022: 14,4%
Volume Pasar 2022: US$ 151 juta
Paket liburan
Pendapatan: US$ 522 juta
Proyeksi Laju Pertumbuhan Tahunan 2017-2022: 14,2%
Volume Pasar 2022: US$ 1,013 miliar
Mobilitas
Pendapatan: US$ 5,402 miliar
Proyeksi Laju Pertumbuhan Tahunan 2017-2022: 16,4%
Volume Pasar 2022: US$ 11,564 miliar
Penjualan E-Travel (miliar dolar Amerika Serikat)
- 2014: 4,26
- 2015: 5
- 2016: 5,97
- 2017: 7,03
- 2018: 8,17
- 2019: 9,33
- 2020: 10,49
Sumber: Statita
Bookingina Vs Airbnb
Bookingina.com
- Hotel berbintang: 2.300 hotel dengan 290 ribu kamar
- Hotel nonbintang: 16 ribu hotel dengan 285 ribu kamar
Airbnb(Sampai November 2017)
- Jumlah tamu: 881 ribu
- Jumlah akomodasi: 43.700
- Penyedia tempat di seluruh dunia: 3 juta
- Sumber: PHRI dan Airbnb
Pertumbuhan Devisa Turisme (triliun rupiah, kurs Rp 13.500)
- 2013: 136,191
- 2014: 150,571
- 2015: 165,593
- 2016: 183,820
Sumber: Kementerian Pariwisata dan Badan Pusat Statistik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo