Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Importir Buah

Berita Tempo Plus

Karena Lokal Masih Lunglai

Pangsa pasar buah impor terus membesar di Indonesia. Produktivitas buah lokal justru rendah.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Karena Lokal Masih Lunglai
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI Ibu Sri bisa tersenyum lebar. Pedagang grosir dan eceran buah-buahan di Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang, Banten, itu seperti menikmati masa panen tak kunjung putus. Rabu pekan lalu, misalnya, 80 peti buah ukuran 16 kg habis dibeli para pelanggan yang kebanyakan pedagang buah kelas kaki lima. Padahal, ketika merintis di pasar yang baru dibuka pada 2001 itu, satu hari paling hanya laku empat peti.

Sepekan sebelumnya, pemilik delapan lapak ini berhasil menjual 200 peti. ”Omzet saya tak dihitung, tapi sehari saya bisa belanja Rp 20 juta,” kata Sri, 50 tahun, yang berdagang buah sejak 1971. Tak hanya bermain buah lokal, Sri juga menjual buah impor. Untungnya lumayan. Dari satu peti, ia biasanya untung Rp 5.000.

Sejak pemerintah membebaskan kegiatan impor buah pada 1991, buah impor mengalir deras ke pasar Indonesia. Konsumen terus melirik komoditas asing berupa jeruk, apel, dan anggur. Sejak 1999 hingga 2003, volume buah impor meningkat di atas 100 persen. Sampai Juli 2004 saja, volume buah impor hampir 200 juta kg (lihat tabel).

Keadaan seperti ini terus berkembang karena pemerintah tak mensyaratkan secara khusus kegiatan impor buah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 135/1991, siapa pun bisa mengimpor asal mempunyai angka pengenal impor (API) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Istilahnya ”importir umum”.

Berdasarkan penelusuran Tempo, meski bebas, yang bermain tetap importir lama. Untuk pasar Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, pasokan berasal dari importir umum yang kebanyakan menyewa gudang di wilayah yang tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kapasitas gudang bisa menampung puluhan kontainer berukuran 20 ton.

Para bandar buah impor ini tersebar di kawasan gudang Wirontono dan Wiga Perkasa di Ancol, Jakarta Utara. Di sini bandar besarnya bernama Darto dan Anwar. Di pangkalan lain, di kawasan Sunter, bandar besarnya Apung, Akiek, dan Bunsi. Di kawasan Pasar Glodok, ada bandar beken bernama Kemin. Masih ada beberapa kawasan tempat mangkal para bandar buah impor, meski tidak besar, seperti Kapuk di Jakarta Barat dan Sunda Kelapa di Jakarta Utara.

Para pembeli sebagian besar pedagang buah partai besar alias grosir, seperti dari Pasar Kramat Jati di Jakarta Timur, Pasar Anyar dan Tanah Tinggi di Tangerang. Tapi ada juga importir yang bersedia melayani pedagang eceran. Tak sedikit pula buah impor itu dipasok ke pasar luar Jawa, seperti Sumatera. Hipermarket seperti Giant dan Carrefour juga mendapat pasokan dari sini. Begitu juga toko buah seperti Al Fresh, meski untuk jenis buah khusus mereka mengimpor sendiri.

Seorang importir buah yang tak mau dikutip namanya mengatakan kegiatan impor buah sekarang sangat mudah. Mutunya juga sangat terjaga, menggunakan kemasan khusus. Berbeda dengan buah lokal. Harga buah impor juga lebih murah. Satu dus jeruk mandarin ukuran 10 kg bisa dijual Rp 70 ribu-90 ribu. Bandingkan dengan jeruk lokal, yang bisa di atas Rp 100 ribu.

Dominasi inilah yang dicemaskan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Menurut dia, buah impor praktis tak mendapat hambatan berarti selain bea masuk yang sudah dinaikkan dari 20 persen menjadi 25 persen pada Desember tahun lalu. Sedangkan negara lain, seperti Australia dan Jepang, justru mengenakan perlakuan ketat atas ekspor buah Indonesia.

Jepang, misalnya, mewajibkan buah impor menggunakan teknologi flavor heat treatment (FHT) agar bebas penyakit. Australia sangat ketat dengan persyaratan kesehatannya, selain persyaratan kemasan kayunya harus bebas hama dengan karantina. ”Di sini buah impor itu ringan-ringan saja. Kami minta perlakuan adil,” katanya.

Sejak Januari tahun ini, ekspor mangga, manggis, dan nanas ke Uni Eropa dan Taiwan praktis terhenti. Kedua negara itu menilai buah-buahan Indonesia tidak memenuhi standar Euro Good Agricultural Practices dan tercemar lalat buah. Akibatnya, buah-buahan Thailand merebut pasar Indonesia. Padahal Indonesia adalah eksportir manggis nomor satu di dunia dan nomor tiga untuk nanas.

Saat ini Departemen Pertanian sedang menyiapkan standardisasi buah impor. Prinsipnya, pemerintah menyiapkan sejumlah persyaratan teknis ketat seperti negara lain memperlakukan produk Indonesia. Misalnya, buah impor harus bebas residu pestisida dan lalat buah. Masa panen buah impor tidak boleh lebih dari tiga bulan. Ada juga rencana mengatur perdagangan buah impor hanya untuk pedagang eceran yang mempunyai mesin pendingin.

Buah impor kebanyakan berasal dari negara subtropis dan tak tahan udara tropis seperti di Indonesia. ”Kalau tak disimpan di mesin pendingin, mutunya anjlok,” kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Departemen Pertanian, Nyoman Oka T. ”Akhirnya kita hanya mengkonsumsi tepung, bukan vitamin yang dibutuhkan tubuh.”

Namun, masalah ini masih dikaji lebih intensif di tingkat departemen sebelum diluncurkan ke kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Departemen ingin memancing reaksi para negara eksportir buah dengan cara segera mengirim surat pemberitahuan atau notifikasi ke WTO soal rencana pembatasan buah. ”Isinya, Indonesia akan melakukan pelarangan buah dari negara tertentu yang disinyalir terinfeksi lalat buah,” kata Nyoman.

Saat ini Departemen Pertanian berhasil mengumpulkan 33 negara yang jenis lalat buahnya tidak ada di Indonesia. Terdapatlah, antara lain, Cina, beberapa negara di Amerika Selatan, Pakistan, Amerika Serikat, dan Australia. Yenny Tania, pemilik butik buah Al Fresh, mempertanyakan kemangkusan rencana pembatasan itu. Sebab, buah impor dilirik konsumen lantaran buah lokal tak mampu memenuhi permintaan pasar.

Seperti jeruk, ia mencontohkan, dari skala sederhana 10, pasokan jeruk lokal hanya mampu 4. Sisanya terpaksa jeruk impor. ”Pemerintah sebaiknya membantu petani lokal, seperti bagaimana meningkatkan produktivitas dan pemasaran pascapanen. Tanpa itu, pembatasan percuma karena pasar tetap menerima,” kata Yenny, yang mendapat pasokan buah dari Pasar Minggu, Kramat Jati, dan dari petani langsung.

Catatan Perhimpunan Perbuahan Indonesia juga menyebutkan kekurangan pasokan itu. Menurut perhimpunan ini, buah impor terus mencecar pasar lokal lantaran ada selisih angka produksi dan konsumsi sekitar 5 kg per kapita per tahun. Kalau diperhitungkan, ada kekurangan pasokan sekitar 900 ribu ton per tahun. Ceruk inilah yang terus diambil buah impor.

Hipermarket seperti Carrefour dan Giant, yang banyak menjual buah impor, juga tak khawatir atas pembatasan tersebut. Faktanya, meski bea masuk dinaikkan per Desember lalu, penjualan buah impor tetap tinggi. Di kedua hipermarket itu, penjualan buah impor justru lebih tinggi 30-40 persen ketimbang buah lokal. ”Buah impor tetap dicari karena pasokan dalam negeri masih kurang,” kata Kepala Departemen Buah dan Sayuran Giant, Esti, kepada Maria Ulfah dari Tempo. ”Apalagi harga tidak masalah.” Di Giant, penjualan buah bisa mencapai Rp 400 juta per bulan.

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus