Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana investasi JETP tak mengikat.
Jokowi rajin menagih janji pendanaan JETP.
Sekretariat JETP perlu berada langsung di bawah Presiden.
BANJARNEGARA – Komitmen pendanaan transisi energi dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) tak bersifat mengikat. Indonesia bolak-balik menagih janji para donor.
Sekretariat JETP memastikan deretan rencana investasi dalam Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP) tidak bersifat wajib diimplementasikan. "Semuanya conditional. Kalau ada dana, ya, diimplementasikan," kata Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butarbutar kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana ini, antara lain, berasal dari sejumlah negara yang tergabung dalam International Partners Group senilai US$ 11,5 miliar. Bentuknya berupa utang, hibah, hingga ekuitas untuk membantu Indonesia mempercepat transisi energi ke energi terbarukan. Merujuk pada dokumen CIPP yang dirilis pada 1 November lalu, mayoritas dana tersebut, atau lebih dari US$ 8 miliar, berupa utang. Bentuk pendanaan lainnya minim. Hibah, misalnya, hanya US$ 292 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Indonesia menerima komitmen pendanaan sebesar US$ 10 miliar dari sejumlah lembaga keuangan yang dikoordinasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero. Anggotanya adalah Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
International Partners Group—gabungan negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Irlandia Utara—berjanji memberikan pendanaan transisi energi untuk indonesia lewat program Just Energy Transition Partnership. Total dananya sebesar US$ 10 miliar, tapi mayoritas berupa pinjaman lunak. Porsi hibah yang dinanti justru minim. Selain dari negara-negara tersebut, Indonesia mendapat komitmen pendanaan dari sejumlah lembaga keuangan senilai US$ 10 miliar dalam program yang sama.
Indonesia menawarkan proyek untuk didanai para donor lewat CIPP. Fokusnya adalah pengembangan jaringan transmisi dan distribusi listrik, pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batu bara, serta akselerasi energi terbarukan. Dalam dokumen CIPP, porsi pembiayaan untuk menghentikan operasi PLTU lebih dini sangat minim. Hanya ada dua rencana penutupan PLTU berkapasitas 1.692 megawatt dengan nilai sekitar US$ 1,2 miliar.
Presiden Joko Widodo kerap kali menagih komitmen para donor JETP. Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada 13 November lalu, Jokowi menyinggung soal komitmen JETP. Dia meminta negara tersebut bisa mendukung percepatan transisi energi lewat program pensiun dini PLTU, pengembangan jaringan transmisi, serta distribusi kelistrikan.
Sebelumnya, Jokowi bertemu dengan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan menyinggung ihwal komitmen JETP. "Saya harap komitmen segera diimplementasikan karena dukungan mobilisasi pendanaan adalah elemen penting transisi energi," katanya pada 10 September lalu.
Pada awal tahun, Jokowi mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Isu JETP turut jadi pembahasan keduanya yang bertemu di sela Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Hiroshima, Jepang. Dalam forum tersebut, dia menyatakan dorongan percepatan realisasi komitmen Jepang untuk menghentikan operasi PLTU serta investasi teknologi rendah karbon.
Di hadapan mahasiswa di Stanford University pada 15 November lalu, Jokowi menyinggung tentang komitmen negara-negara dalam transisi energi yang tak ada bedanya dengan skema pendanaan komersial. Sebab, mereka memberikan porsi utang yang jauh lebih tinggi ketimbang hibah. "Padahal seharusnya lebih konstruktif, bukan dalam bentuk utang yang hanya akan menambah beban negara-negara miskin ataupun negara-negara berkembang."
Operasi turbin mini geotermal dengan daya sampai 400 watt di area sumur Kamojang 51, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Amston Probel
Butuh Payung Hukum JETP
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan JETP butuh dibuatkan payung hukum untuk memastikan realisasi pendanaan. Sarannya adalah membentuk undang-undang khusus untuk JETP. Menurut dia, perlu ada ketentuan yang lebih tinggi untuk memastikan kerja sama pendanaan JETP yang mencakup berbagai sektor berjalan mulus.
Bhima berharap undang-undang mengenai JETP bersifat omnibus untuk mengakomodasi aturan baru ataupun perubahan aturan ihwal transisi energi. "Bahkan, ketika rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan macet di parlemen, penyelesaian cepatnya bisa lewat RUU JETP," ujarnya.
Selain itu, kehadiran undang-undang bisa memperkuat tim penyusun transisi energi, dalam hal ini Sekretariat JETP. Bhima menuturkan landasan hukum yang kuat juga penting untuk memberi kepastian bahwa program tersebut tetap berlanjut meski terjadi pergantian kepala negara pada 2024.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bachtiar sepakat bahwa perlu ada penguatan peran Sekretariat JETP demi merealisasi komitmen para donor JETP. Indonesia butuh tim yang kuat, terdiri atas lintas sektor pemerintahan dan berdiri di bawah Presiden langsung. Tugasnya adalah mengkoordinasi potensi di dalam negeri dan melobi pihak internasional. "Jangan suruh-suruh untuk transisi energi, tapi duitnya tidak ada," tuturnya.
Namun Bisman menilai belum ada urgensi untuk menyusun undang-undang khusus JETP. Ketentuan soal transisi energi bisa disisipkan di rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Undang-Undang Energi. Adapun aturan ihwal JETP yang lebih mendetail bisa disusun dalam bentuk aturan turunan lain. "Karena sangat conditional, tergantung situasi," ujarnya.
Paul Butarbutar menuturkan belum ada rencana merancang undang-undang khusus JETP sejauh ini. Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Direktur Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin, tapi tak ada respons hingga berita ini ditulis. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menolak berkomentar saat dimintai konfirmasi ihwal payung hukum ini.
VINDRY FLORENTIN | FAJAR PEBRIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo