Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Indonesia untuk meningkatkan penggunaan biodiesel berbahan bakar sawit menyebabkan harga minyak sawit meroket. Padahal, pertumbuhan produksi produsen sawit terbesar di dunia saat ini sedang lesu yang disebabkan oleh udara kering selama musim kemarau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga minyak sawit di Malaysia naik hampir seperlima sejak awal tahun hingga 2.513 ringgit atau USD 608 per ton. Kenaikan tersebut merupakan lonjakan hampir 30 persen dari level terendah tahun ini pada Juli 2019.
Sawit merupakan bahan penting pada makanan dan kosmetik, seperti es krim, coklat, pasta gigi, dan lipstik. Kegunaannya sebagai biodiesel untuk bahan bakar kendaraan, serta untuk pemanasan dan listrik belum terlalu dikenal.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia saat ini sedang mendorong kebijakan untuk meningkatkan konten sawit pada biodiesel di tengah meningkatnya kekhawatiran Barat akan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh komoditas tersebut.
Tahun lalu, Pemda Jakarta misalnya sudah mewajibkan kenaikan penggunaan biodiesel sawit dari 20 persen menjadi 30 persen. Tahun ini, Presiden Jokowi mengindikasikan penggunaan bahan bakar minyak B30 (BBM dengan kandungan 30 persen biodiesel) bisa dimulai pada Januari 2020, dan penggunaan B50 akan dimulai pada akhir 2020.
Pemerintah Kaji Integrasi Lahan Sawit dan Peternakan Sapi
Analis dan direktur perusahaan kimia India Godrej Industry, Dorab Mistry, mengatakan bahwa sentimen pasar sawit sangat populer.
“Penggunaan biodiesel telah menjadi pemicu dimulainya kompetisi,” katanya di hadapan konferensi industri. "Apalagi dukungan Jokowi terhadap B30 merupakan kebijakan yang menentukan," tambahnya.
Indonesia menyumbang lebih dari setengah produksi minyak sawit dunia, dan Malaysia merupakan produsen terbesar kedua. Keduanya berkontribusi sekitar 84 persen dari produksi dunia, berdasarkan data Departemen Pertanian AS.
Edward Hugo, analis VSA Capital, mengatakan bahwa penggunaan biodiesel berbahan dasar sawit meningkatkan permintaan komoditas sawit Indonesia sekaligus mengurangi biaya bahan bakar impor. “Ini merupakan cita-cita yang ambisius dan akan berdampak signifikan terhadap harga (sawit) dunia apabila diberlakukan.”
Tingginya permintaan dari produsen biodiesel sejalan dengan ekspektasi produksi pertumbuhan produksi sawit Indonesia dan Malaysia yang rendah di tahun 2019 dan 2020. Rendahnya produksi disebabkan oleh udara kering atau absennya penggunaan pupuk karena harga yang melemah.
Jokowi Soroti Diskriminasi Produk Sawit
Perusahaan dan pemerintah Barat semakin berhati-hati soal penggunaan sawit mengingat dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Dengan tingkat deforestasi yang semakin tinggi yang disebabkan oleh budidaya sawit, Uni Eropa menetapkan bahwa minyak sawit tidak termasuk sumber energi berkelanjutan, meskipun penghapusan ini baru akan dimulai tahun 2023 dan pelarangannya mulai berlaku tahun 2030. Kebijakan tersebut memicu bentrokan antara UE dengan negara-negara penghasil sawit.
Tahun ini, PM Malaysia Mahathir Mohamad mengajukan perjanjian dagang dengan Inggris pasca-Brexit dengan syarat Inggris melonggarkan pelarangan impor sawit yang diberlakukan oleh Uni Eropa.
Para aktivis lingkungan khawatir tingginya permintaan terhadap biodiesel berbahan dasar minyak sawit dapat menyebabkan deforestasi yang lebih parah. Ditambah lagi dengan kewajiban penggunaan 100 persen bahan bakar biodiesel yang digaungkan oleh Presiden Jokowi.
Lembaga riset Amerika World Resources Institute yakin bahwa kebijakan tersebut akan memicu pembukaan lahan baru seluas 7,2 juta hektar - hampir seluas negara Republik Ceko - apabila perkebunan tidak meningkatkan produksi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo