Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAGAM produk dengan label lokal berjajar di tiga rak terdepan sebuah minimarket di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada growol-makanan tradisional berbahan singkong-yang bersanding dengan keripik pisang, rempeyek, dan lanting, yang bungkusnya bertulisan "Koperasi Hargomulyo Janten Karangwaluh Palihan Manunggal". Ada juga beras produksi Gabungan Kelompok Tani Ngesti Raharja Wates.
Bergeser sedikit ke rak di belakangnya, tertata produk minuman berupa Kopi Menoreh khas Samigaluh dan air mineral kemasan dengan merek Airku--akronim dari Air Kulon Progo. Menurut Emanuel Soekarno, pemilik toko dengan dominasi warna merah dan biru ini, produk lokal memang mengisi hampir separuh minimarket bernama Toko Milik Rakyat atau kerap disebut Tomira itu. "Tomira wajib menjual produk olahan lokal titipan perajin UKMK (usaha kecil, menengah, dan koperasi) di Kulon Progo," kata Emanuel saat ditemui pada Rabu akhir September lalu.
Tomira merupakan kerja sama koperasi Kulon Progo dengan pelaku usaha minimarket, seperti Alfamart dan Indomaret. Meski berada di daerah dan digarap oleh koperasi, tampilan toko ini tak sekadar warung kecil berpenerangan seadanya. Bangunan Tomira rata-rata berukuran 30 x 9 meter dengan banyak rak layaknya minimarket modern. Terasnya memiliki tempat parkir luas. Bedanya: barang jualan Tomira mayoritas adalah produk lokal.
Digagas oleh Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, gerai pertama Tomira berdiri pada Agustus 2016. Ketimbang membiarkan waralaba modern menjamur sendiri, Hasto memilih model kerja sama ini untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Tomira sekaligus mengkampanyekan aksi "bela beli Kulon Progo", yakni gerakan untuk membeli produk-produk yang dihasilkan masyarakat di sana.
Hasto adalah salah satu contoh kepala daerah yang galak terhadap pendirian minimarket waralaba modern. Sejak 2011, Kulon Progo memiliki Peraturan Daerah Nomor 11 yang melindungi pasar tradisional. Perda ini sekaligus mengatur penataan toko modern. Bukan itu saja. Demi menghadang ekspansi minimarket modern, saat ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tengah menyusun draf rancangan peraturan yang melarang pendirian waralaba modern. "Larangan berlaku mulai 2018," ujar Hasto, Rabu dua pekan lalu.
Menurut Hasto, pada dasarnya masyarakat Kulon Progo tidak alergi dengan waralaba modern. Hanya, ia prihatin karena masyarakat memilih produk dari luar kabupaten padahal memiliki sumber daya dan kemampuan untuk menghasilkan produk sendiri buat kebutuhan sehari-hari. "Tomira itu semacam perang ideologi, bertujuan membuat rakyat mandiri," kata Hasto.
Bukan hanya untuk masyarakat, bagi pengusaha lokal seperti Emanuel, keberadaan Tomira sebetulnya membawa keuntungan tersendiri. Sebab, menurut pelaku usaha sekaligus Ketua Koperasi Unit Desa Harapan ini, sulit bagi koperasi bersaing dengan pemodal besar. Salah satu contohnya, menurut Emanuel, jasa pembayaran listrik yang sempat menjadi sumber pemasukan koperasi kini melayang lantaran bisa dilayani oleh minimarket modern. "Sejak bergabung dengan Tomira, KUD Harapan menjadi pilihan masyarakat," ujar Emanuel.
Dengan ikut berbisnis retail, Koperasi Harapan kini bisa mendapat pemasukan 10 persen dari produk yang dititipkan lewat Tomira. Untuk beras, misalnya, koperasi boleh mengutip keuntungan Rp 500 per kilogram. Dengan 30 usaha mikro, kecil, dan menengah lokal telah menitipkan produknya lewat Tomira, Emanuel menghitung pendapatan yang masuk ke kantong koperasi rata-rata mencapai Rp 2 juta per bulan.
Saat ini ada 14 gerai Tomira dari target 26 unit di Kulon Progo. Tak hanya di Kecamatan Temon, gerai Tomira tersebar di wilayah lain, seperti Kecamatan Wates. Di wilayah tersebut, salah satu Tomira merupakan hasil kerja sama antara Koperasi Pegawai Negeri Sumber Rezeki dan Alfamart. Ketua Koperasi Sumber Rezeki Wahyu Pujianto mengaku tak ragu ketika mendirikan Tomira. Alasannya, kepemilikan Tomira 100 persen dikuasai koperasi sehingga hasil penjualan secara bersih bisa masuk ke kas koperasi.
Ikhtiar menghadang serbuan retail modern nyatanya tak hanya dilakukan oleh Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo. Kebijakan serupa diterapkan juga oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Akhir Mei lalu, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno meluncurkan program 1.000 Minang Mart, yakni toko modern yang bisa dikelola oleh masyarakat.
Menurut Irwan, Minang Mart adalah program yang bisa menghidupkan ekonomi kerakyatan. Caranya, dengan menunjuk badan usaha milik daerah untuk membeli hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kerajinan masyarakat dengan harga yang murah. Sejumlah produk tersebut dipasok ke mitra pelaku usaha, lalu dijual ke konsumen dengan harga yang terjangkau.
Konsep toko kelontong lokal ini bukan mendirikan bangunan baru, melainkan menggandeng pedagang yang sudah memiliki toko. Kedai-kedai itulah yang kemudian menggunakan nama Minang Mart. Selama ini Sumatera Barat termasuk daerah yang sangat melarang pendirian waralaba modern.
Untuk tahap awal, pemerintah menargetkan pembukaan 46 gerai Minang Mart di wilayah Sumatera Barat. "Sekarang sudah mencapai 29 gerai," kata Syaiful Bahri, Direktur Utama PT Retail Modern Minang, Senin pekan lalu. PT Retail Modern Minang adalah perusahaan patungan bentukan PT Sentra Distribusi Nusantara dan PT Grafika Jay yang ditunjuk pemerintah untuk mengembangkan retail lokal ini.
Menurut Syaiful, Minang Mart bukan bisnis waralaba, melainkan usaha kemitraan dengan masyarakat pemilik toko. "Saham 100 persen milik mitra," ujarnya. Apalagi target usaha ini adalah produk UMKM yang diproyeksikan berkontribusi 30 persen dari keseluruhan produk yang dijual.
Belakangan, bukan hanya pemerintah daerah yang bersiasat membuat toko retail lokal. Setahun terakhir ini organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama juga menggodok rencana mendirikan bisnis toko kelontong modern. Menurut Ketua Pengembangan Usaha dan Bisnis Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Choirul Saleh Rasyid, bisnis retail modern menjadi solusi untuk mengkonsolidasikan ekonomi umat. "Dari berbagai usul nama, yang paling pas adalah Nusantara Mart, yang disingkat NusaMart. Supaya ada keterikatan dengan nahdliyin," kata Choirul saat ditemui pada Rabu dua pekan lalu.
NusaMart, menurut Choirul, dibuat bukan untuk menyaingi gerai-gerai modern yang sudah eksis. Justru retail yang semula menggunakan nama Mikromart ini ingin menjadi alternatif bagi warga nahdliyin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan produk yang terjamin halal dan harga terjangkau. "Visinya merajut persaudaraan membangun ekonomi umat," ujarnya.
Menjelang kuartal keempat tahun ini, empat gerai percontohan NusaMart akan diluncurkan di wilayah Jawa Barat. "Di Cikarang Baru satu gerai, di Karawang dua gerai, dan satu di Bintaro," kata Ali S. Rahman, Direktur Utama PT Hikmah Prasadha Nusantara, badan usaha HPN yang mengurusi kegiatan bisnis retail ini.
Bisnis retail ini tak membatasi mitra dari kelompok tertentu saja. Menurut Ali, siapa saja bisa bergabung dengan modal sekitar Rp 150 juta untuk tipe A dengan 13 rak hingga Rp 250 juta untuk tipe C dengan 36 rak. Ali mengklaim kini sudah ada ratusan pelaku usaha yang tergabung dalam keluarga besar NU di seluruh wilayah Indonesia yang berminat membangun NusaMart. "Tapi harus kami wujudkan dulu gerai percontohan ini. Paling lambat akhir Oktober sebagai bukti," ujarnya.
Ayu Primasandi (jakarta), Shinta Maharani (yogyakarta), Andri El Faruqi (padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo