PUKULAN Uni Soviet, yang menghantam harga-harga minyak yang lagi goyah, tak sampai mengganggu ekspor minyak dari Indonesia, rupanya. Para pembeli minyak Indonesia di Tokyo, demikian koresponden TEMPO, Seiichi Okawa, melaporkan dari sana, melihat penurunan harga minyak Soviet jenis Ural dengan US$ 1,50 per barel itu sebagai tindakan untuk mengimbangi pasaran spot minyak Inggris jenis Brent. Laporan yang masuk Senin malam lalu dari Tokyo itu juga belum mendengar suara bahwa para pembeli di Jepang mengajukan permintaan penurunan harga atau pengurangan volume pembelian dari Pertamina. Tahun lalu minyak Indonesia yang dibeli Jepang mewakili 14,21% dariseluruhimpor minyak negeri itu. Sedangkan tahun ini, mulai Januari sampai dengan akhir Juni, porsi minyak Indonesia sudah mencapai 13,84% dari seluruh impor minyak di Jepang. Sedangkan minyak RRC, saingan utama minyak Indonesia di Jepang, menurut catatan MITI (Departemen Perindustrian dan Perdagangan Internasional Jepang), hanya mewakili 5,22% dan 5,83% dalam periode yang sama. Minyak Indonesia, seperti halnya minyak RRC, kebanyakan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik di Jepang. Mudah dimengerti mengapa Inggris yang merasa pahng saklt dengan tmdakan Soviet itu. Minyak Jenis Ural, yang kurang lebih sekualitas jenis Brent, dan mempunyai langganan yang sama pula di Inggris, semula masih bertahan pada harga kontrak US$ 29 per barel. Sedangkan jenis Brent, yang harga resminya US$ 30 per barel, di pasaran spot bisa dibeli di bawah harga minyak Soviet. British National Oil Coy., Pertamina-nya Inggris, terpaksa menurunkan harga minyak mereka dengan sekitar US$ 0,50 sen per barel, sekalipun ada satu transaksi sPot dl London yang menurut rencana akan dikirim bulan Agustus ini, dengan harga US$ 26,5Q per barel. Pendek kata, terjadi selisih harga selebar US$ 3,50, antara harga resmi dan harga spot jenis Brent. Keadaannya memang belum sedramatis bulan Maret tahun lalu, seusai pertemuan darurat para menteri minyak OPEC di London, yang menyeret turun harga patokan minyak OPEC dengan US$ 5 per barel. Tapi jurang harga sampai sebesar US$ 3,50 itu, yang mendorong turun harga Brent dengan US$ 1,50 per barel lagi, dipandang yang paling serius sejak peristiwa Maret tahun lalu. Harga resmi minyak Ural yang baru, US$ 27,50 per barel, yang mulai berlaku sejak 1 Agustus lalu, tak urung menimbulkan spekulasi yang luar biasa di kalangan pengamat dan pengusaha minyak. Beberapa di antara mereka kembali meramalkan runtuhnya persatuan organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) yang beranggota 13 negara itu, kalau saja mereka tetap berkeras mempertahankan harga patokan US$ 29 per barel. Atau, paling tidak, OPEC harus menurunkan lagi kuota minyaknya, yang sekarang masih bertahan pada 17,5 juta barel sehari. Para peramal itu juga memperkirakan, OPEC akan melangsungkan suatu sidang darurat lagi, paling lambat dalam waktu kurang dari sebulan sejak tindakan penurunan harga minyak Soviet. Banyak yang melirikkan matanya ke Nigeria, pemilik minyak ringan jenis Bonny, yang sekualitas Brent, yang sama-sama punya pasaran terbesar di Amerika. Akankah Bonny turun sendirian dari panggung harga OPEC, seperti terjadi tahun lalu ? Profesor Tam David-West, menteri energi Nigeria, tak menjawab langsung. Tapi dalam suatu konperensi pers baru-baru ini, ia membantah desas-desus bahwa Nigeria dan Iran berniat keluar dari OPEC. "Persatuan OPEC akan tetap kuat," katanya. Di pasaran spot, si Bonny memang bisa dibeli sekitar dua dolar lebih rendah dari harga resminya, US$ 30 per barel. Para pembelinya di Amerika, terutama maskapai minyak Gulf, merasa sulit menampung lebih banyak minyak dari Nigeria, mengingat persediaan mereka masih banyak. Banyak pengusaha merasa sulit menampung minyak kontrak, mengingat minyak spot semakin seru bersaing memotong harga. Kalau terus-terusan begini, mudah diduga Nlgeria terpaksa akan membanting lagi harga di pasaran spot, dan tindakan begitu akan kembali membuat kecut "musuh"-nya: si Brent dari Laut Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini