Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sejarah yang Tertunda

Pertama kali dalam sejarah, seorang penunggak pajak dikenai sanksi penyanderaan. Telah diumumkan besar-besaran, si pengemplang sudah keburu kabur.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, masuk ruangan sambil tak henti menebar tawa. Kamis siang pekan lalu, di ruang serbaguna Kantor Pusat Pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, puluhan juru warta, berikut alat perekam suara dan gambar yang berderet-deret, tak sabar menanti suaranya. Para pemimpin redaksi dan pemilik media massa nasional pun tak ketinggalan ikut hadir berkumpul. "Baru kali ini saya dikerubuti wartawan sebanyak ini," kata Hadi, sumringah.

Ada apa gerangan? Itu memang sebuah hari istimewa. Di hari itu, Hadi dijadwalkan akan mengumumkan nama seorang pengemplang pajak yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri ini akan dikenai sanksi paksa badan atau sandera (gijzeling).

Sejak keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman diteken 25 Juli lalu, banyak yang penasaran apakah beleid yang menetapkan wewenang pejabat pajak untuk menyandera penunggak bandel itu sungguh akan diterapkan, atau sekadar gertak ompong belaka.

Dan pada Kamis itu, saat periode sosialisasi tiga bulan terlewati, dan masa peringatan satu bulan telah terlampaui, Hadi pun menggenapi janjinya. Maka, dari mulutnya tersebutlah sebuah inisial: JL dari PT EI, wajib pajak yang berkedudukan di wilayah operasi Kantor Pelayanan Pajak Sawah Besar, Jakarta Pusat. Siapa persisnya tak dijelaskan Hadi, karena alasan kerahasiaan seperti yang dijamin undang-undang.

Menurut penelusuran majalah ini, JL termaksud adalah Jasman alias A Ciong. Dia warga Indonesia dan seorang pengusaha impor yang mengemplang pajak sebesar Rp 11 miliar dan dinilai tak menunjukkan itikad untuk melunasinya. Maka, perintah pengurungan pun dikeluarkan Menteri Keuangan Boediono di hari itu juga, 23 Oktober.

Cuma seorang itu yang bakal dijebloskan ke kerangkeng? Memang hanya sebiji nama itu yang diumumkan Hadi. Lantas, ke mana sederet nama lain yang selama ini kerap disebut-sebut?

Sebelumnya, direktorat ini selalu membanggakan sebuah daftar hitam berisi nama-nama para pengemplang pajak yang telah mereka cekal. Sampai pertengahan Oktober ini saja jumlahnya sudah mencapai 68 orang, dengan total tunggakan Rp 674 miliar. Di depan wartawan, berkali-kali Hadi melansir ancaman akan menyandera mereka yang tercantum dalam lisnya. Tapi berkali-kali itu juga ia lalu mengumumkan sebagian telah datang memenuhi panggilan kantor pajak, mulai mencicil kewajiban, atau bahkan ada juga yang langsung membayar lunas.

Sampai sepekan sebelum pengumuman, di daftar Hadi masih tersisa empat nama penunggak dari delapan orang yang dinilai sungguh-sungguh badung. "Kami tak akan segan mengenakan sanksi gijzeling kepada mereka," kata Hadi saat itu, mengulang ancamannya.

Gertak itu terbukti manjur. Satu dari mereka jeri juga akhirnya, dan buru-buru datang untuk menyatakan kesanggupan melunasi kewajibannya.

Tinggallah tiga orang lagi. Selain Jasman, dua lagi berkebangsaan asing. Total tunggakan ketiganya mencapai Rp 76 miliar. Yang dua itu pun akhirnya tunduk. Salah satunya, menurut seorang pejabat di kantor pajak, adalah seorang pria ekspatriat warga sebuah negara terkemuka di Eropa yang bergerak di bisnis perminyakan. Tanggungan pajak yang belum dibayarnya bernilai Rp 45,6 miliar.

Nasibnya "diselamatkan" oleh duta besar negaranya. Mungkin karena malu, si duta besar buru-buru turun tangan melobi Menteri Keuangan Boediono. Ia memberi jaminan bahwa warganya itu akan patuh memenuhi kewajiban, dan karena itu minta dibebaskan dari ancaman paksa badan.

Soal ini dikonfirmasi oleh Djangkung Sudjarwadi, pejabat Penertiban Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi tangan kanan Hadi Purnomo dalam urusan penanganan para pengemplang pajak. Djangkung mengakui sempat menerima sejumlah diplomat dari berbagai kedutaan besar yang datang untuk keperluan serupa. Umumnya, terlebih dahulu mereka menanyakan duduk soal perkara yang tengah melilit warga negaranya. Setelah yakin bahwa aparat pajak tak mengada-ada, mereka langsung memberikan garansi bahwa warganya akan membayar tunggakan, sambil meminta agar negara mereka tak dipermalukan dengan langkah penyanderaan.

Hasilnya terbukti lumayan. "Malah ada yang langsung membayar saat itu juga begitu tahu kami serius dengan ancaman kurungan ini," kata Djangkung.

Daftar Djangkung menunjukkan memang ada banyak warga asing yang gemar mengemplang pajak. Jumlah seluruhnya 18 orang, berasal dari Jepang, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain. Total jenderal, nilai tunggakan mereka mencapai Rp 388 miliar.

Namun, sayang seribu sayang, Hadi Purnomo, Djangkung, dan para pejabat pajak lainnya belum berhasil menjadi bagian dari sejarah baru perpajakan. Tak lama setelah nama Jasman diumumkan, pengemplang yang sebiji itu pun sudah tak tentu rimbanya. Petugas yang menjemputnya hanya bisa gigit jari. Sepemantauan TEMPO, hingga Sabtu pekan lalu sel di Penjara Cipinang yang disiapkan untuknya masih kosong melompong. Si Jasman sudah jadi buron tak berbekas.

MENURUT Kepala Kepolisian Sektor Penjaringan, Komisaris Khrisnamurti, sehari sebelum pengumuman, anak buah mereka telah menyertai aparat pajak menggerebek rumah Jasman di kawasan Pejagalan, Jakarta Utara. Tapi hasilnya nol besar. Ketika itu mereka hanya berhasil menemui pembantu dan karyawan penunggu rumah. "Enggak tahu ke mana orang itu," kata Suwanto, wakil Khrisnamurti.

Toh, Djangkung hakulyakin buruannya belum kabur ke luar negeri, karena telah dicekal sebelumnya. "Kalau dia ke luar kota, ya, harus kita tunggu," ujarnya, kalem.

Tinggallah Pak Polisi yang mengernyitkan dahi. Kepada TEMPO, sejumlah petugas mengaku terheran-heran dengan cara kerja aparat pajak dalam menangkap buruannya. Kamis malam itu, misalnya, setelah gigit jari ditinggal kabur Jasman, mereka malah diperintahkan agar menghentikan operasi pencarian. "Kalau polisi mengejar orang, ya, terus-terusan. Tapi ini kan memang kewenangan Pajak, kami hanya diminta mengamankan prosesnya," ujar salah seorang reserse, pasrah.

Djangkung membenarkan dia memang memerintahkan operasi pencarian supaya disetop sementara pada Kamis malam itu. Alasan dia, instansinya tak berhak menahan orang di kantor pajak, yang memang tidak dilengkapi kerangkeng. Sementara itu, menurut ketentuan, penjara seperti Cipinang hanya boleh menerima titipan tahanan dari instansi lain tak lewat dari pukul tujuh malam. "Kalau nekat, nanti malah kami bisa dituntut karena salah prosedur," Djangkung menjelaskan.

Tapi, Sabtu kemarin, keheranan aparat polisi masih terus berlanjut. Tunggu punya tunggu, di akhir pekan kemarin tak sebatang hidung pun petugas pajak datang untuk kembali mengkoordinasi perburuan.

Apa boleh buat, penulisan lembaran baru sejarah perpajakan harus ditunda dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus