Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBATASAN Entikong, Indonesia, dengan Tebedu, Malaysia. Puluhan truk hilir-mudik meruapkan gumpalan debu ke angkasa. Sebagian yang datang dari arah negeri jiran menderu cepat karena kosong tak bermuatan. Sebaliknya, yang melaju dari wilayah Kalimantan berjalan tersaruk-saruk dengan bak sarat berisi kayu bulat berdiameter besar.
Di pos Entikong, truk-truk itu diperiksa laksana kilat. Petugas menerima daftar muatan, meliriknya sejenak, dan menjabat tangan sopir yang langsung menyisipkan "uang rokok" Rp 50 ribu-100 ribu. Urusan pun beres. Truk boleh berlalu dengan aman.
Begitu sampai di wilayah Malaysia, di pos Tebedu, inspeksi berlangsung lebih cepat lagi. Tapi ada satu perbedaan mencolok: "salam tempel" antara opsir jaga dan sopir tak terlihat di sini.
"Ekspor" semacam itulah yang membuat Menteri Kehutanan Mohammad Prakosa gusar belakangan ini. Soalnya, balok-balok itu ditebang secara liar dari hutan Indonesia, lalu diselundupkan ke negeri Mahathir Mohamad untuk diputihkan. Caranya? Kayu ditempeli label seolah-olah ditebang dari hutan Malaysia.
Karena itu, pekan lalu tanpa tedeng aling-aling Menteri Prakosa menuduh Malaysia telah menadah kayu curian asal Indonesia. Senyampang dengan itu, Prakosa pun berseru agar Uni Eropa menolak produk kayu Malaysia. "Seruan itu mendapat tanggapan positif," kata Koes Saparjadi, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Pernyataan keras Prakosa tak urung mengundang protes dari pihak Malaysia. Menteri Industri Primer, Lim Keng Yaik, balik menuduh Prakosa lagi frustrasi karena tak kuasa menghentikan penebangan dan penyelundupan kayu ilegal. Lim juga menegaskan bahan kayu bulat untuk industri kayu di Malaysia berasal dari hutan di negaranya sendiri. "Kayu itu bahkan telah mendapat sertifikasi dari lembaga penilai internasional," ujarnya seperti dikutip AFP.
Namun, Koes menilai Lim-lah yang memutarbalikkan fakta. Pada November 2001, untuk mengatasi perdagangan kayu liar, Indonesia telah menetapkan kebijakan yang melarang ekspor kayu bulat. Saat itu Menteri Lim menyatakan akan menolak semua kayu bulat yang berasal dari Indonesia. Tapi, kenyataannya, kata Koes lagi, sampai hari ini kayu bulat dari negeri ini terus saja mengalir ke sana.
Di luar urusan saling tuding itu, sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa sebagian kayu yang gencar diselundupkan itu adalah jenis ramin (Gonystylus spp). Kayu ini terancam punah dan karena itu telah dimasukkan pemerintah dalam Lampiran III CITES (Convention for International Trade in Endangered Species)—konvensi internasional yang ditandatangani oleh 155 negara, termasuk Singapura dan Malaysia.
Maraknya penyelundupan juga bukan isapan jempol. Menurut citra satelit, ada sekitar 100 jalan tikus di perbatasan Kalimantan yang selama ini dimanfaatkan menjadi jalur penyelundupan. Kayu kian mudah mengalir ke Malaysia karena jalan-jalan di negeri jiran itu sudah dibangun bagus sampai ke perbatasan.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Arman Malolongan, telah mengungkap peran cukong-cukong Malaysia yang membiayai penyelundupan kayu liar tersebut. Ia mencatat sedikitnya ada 18 juragan asal Malaysia yang memiliki pabrik penggergajian kayu di berbagai kabupaten di Kalimantan Barat. Mereka leluasa beraksi karena bekerja sama dengan warga dan pengusaha lokal. Tak sedikit di antaranya yang mengawini perempuan setempat.
Hasilnya luar biasa. Koes menghitung: tiap minggu tak kurang dari 1.000 truk berlalu-lalang mengangkut 10 ribu-20 ribu kubik kayu haram di perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Yayasan Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) memperkirakan setiap tahun sekitar 3 juta-5 juta kubik kayu ilegal asal Indonesia disusupkan ke negeri jiran melalui Semenanjung Malaysia, Serawak, dan Sabah. Akibatnya, Indonesia menanggung rugi dalam jumlah besar, baik secara material maupun dalam hal kerusakan lingkungan.
Data International Tropical Timber Organization (ITTO) pada 1999 menunjukkan angka realisasi ekspor kayu bulat Indonesia dibanding realisasi impor Malaysia memang sangat timpang. Menurut catatan Koes, ekspor kayu bulat Indonesia ke Malaysia cuma 7.680 kubik. Namun, pihak Malaysia tercatat menerima kayu bulat asal Indonesia sebanyak 578.390 kubik. Artinya, ada selisih yang luar biasa besar: 570.530 kubik.
Bukti-bukti tentang praktek haram itu sudah bertumpuk, sebenarnya. Selama tiga tahun terakhir, Telapak dan EIA telah berkali-kali mengungkap, termasuk mendokumentasinya. Agustus 2000 lalu, misalnya, kedua lembaga swadaya masyarakat itu berhasil membongkar peran Harwood, perusahaan negara Malaysia di bawah Serawak Timber Industry Development Corporation (STIDC), dalam pemrosesan kayu ilegal asal Kalimantan.
Telapak dan EIA pun pernah memergoki kapal-kapal kecil berbendera Indonesia membongkar muatan kayu tak berlabel di dekat penyimpanan peti kemas di Pelabuhan Batu Pahat, Malaysia. "Awak kapal itu mengaku kepada penyelidik kami yang menyamar bahwa kayu itu ramin dari Kalimantan," kata Arbi Valentinus, salah satu pengurus Telapak.
Satu setengah tahun kemudian, Mei 2002, dua organisasi itu berhasil menemukan tempat pendaratan kayu (log yard) baru di Kuala Linggi, dekat perbatasan Melaka dan Negeri Sembilan. Tempat ini, yang diperkirakan mampu menampung 15 ribu meter kubik kayu per bulan, bahkan memiliki fasilitas crane dan pos bea-cukai. Di sana terlihat jelas kapal-kapal berbendera Indonesia dan Malaysia sedang sibuk membongkar-muat kayu bulat.
Saat kembali melakukan pemantauan pada April tahun ini, Telapak dan EIA kembali menemukan log yard lain di Muar, Johor, Malaysia. Dalam tempo satu jam, kata Arbi, tak kurang dari 32 kapal kayu asal Indonesia terlihat berdatangan mengangkut kayu bulat asal Sumatera.
Begitu pula di Batu Pahat. Investigator Telapak dan EIA lagi-lagi menjumpai sejumlah besar kayu bulat sedang dibongkar dari kapal-kapal berbendera Indonesia. Yang mengherankan, aksi gelap ini mestinya tak boleh luput dari mata aparat Malaysia. Soalnya, untuk menuju Batu Pahat, kapal-kapal dari Sumatera pasti harus melewati dulu kapal patroli polisi dan bea-cukai negeri jiran tersebut.
Tak cuma Malaysia, dari hasil investigasi mereka, Telapak dan EIA pun yakin Singapura punya peran tak kalah penting dalam penadahan kayu ilegal asal Indonesia. Soalnya, kendati tak memiliki hutan, negeri pulau ini memiliki industri kayu besar dan merupakan salah satu pusat perdagangan kayu di kawasan Asia.
Data bea-cukai Amerika Serikat, misalnya, pernah menguatkan sinyalemen itu. Suatu waktu, mereka memergoki ada ramin senilai US$ 3 juta lebih dikapalkan ke AS melalui Singapura, tanpa disertai izin CITES.
Begitu pula halnya dengan catatan di bea-cukai Singapura sendiri. Sejak ramin didaftarkan ke CITES, dalam tempo 16 bulan Negeri Singa tercatat telah mengekspor kembali 19 ribu meter kubik ramin olahan. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, impornya hanya 6.000 meter kubik. Selisihnya, sebesar 13 ribu kubik, lalu dinyatakan sebagai impor dari "sumber yang tidak diketahui".
Nugroho Dewanto, Dara Meutia Uning, Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo