SIAP-SIAPLAH memperketat ikat pinggang. Barangkali sudah klise, namun relevansinya masih akan berlanjut. Setelah dua tahun ekonomi Indonesia diwarnai kebijaksanaan moneter yang ketat alias tight money policy (TMP), kini akan diperketat lagi oleh kebijaksanaan pemerintah di bidang fiskal. Itu terlihat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diusulkan Presiden kepada DPRRI hari Senin pekan ini. Dalam RAPBN yang diusulkan itu, terlihat Pemerintah berniat meraup pajak dari masyarakat sebanyak Rp 32.560,1 milyar. Sementara itu, dana yang akan dibelanjakan Pemerintah di dalam negeri ternyata cuma Rp 28.880 milyar. Menurut beberapa ekonom seperti Dr. Sjahrir, Dr. Mari Pangestu, dan Dr Rizal Ramli, kebijaksanaan fiskal tahun ini akan bersifat kontraktif. Lebih istimewa lagi, mulai tahun ini beban bunga dan cicilan utang luar negeri Pemerintah benar-benar harus dipikul masyarakat pembayar pajak. Sebab, pendapatan pemerintah dari minyak dan gas bumi (migas) ditambah bantuan pinjaman luar negeri yang bisa dirupiahkan (bantuan program), ternyata tidak akan cukup lagi untuk menutup beban utang tersebut (lihat tabel). Untuk tahun ini, peran migas dalam anggaran pemerintah semakin menciut. Begitu pula peran bantuan luar negeri, apakah itu dalam bentuk bantuan proyek, lebih-lebih lagi dalam bentuk bantuan program. Dari anggaran yang disodorkan sebesar Rp 56.108,6 milyar, penerimaan yang diharapkan dari sektor migas hanya 24,8% (Rp 13.947,5 milyar). Sedangkan bantuan luar negeri hanya diharapkan Rp 9.600,2 milyar atau 17,11%. Andalan utama penerimaan pemerintah sekarang adalah masyarakat. Tepatnya, wajib pajak. Realisasinya melalui berbagai pajak, bea, cukai, dividen dari BUMN, pungutan (misalnya iuran hasil hutan, hasil perikanan), usaha jasa departemen (seperti uang pendidikan), serta penjualan barang (seperti tanah sitaan atau inventaris pemerintah). Dalam RAPBN, Pemerintah mengharapkan penerimaan dalam negeri ini sebesar Rp 32.560,9 milyar atau 58%. Sedangkan dalam APBN berjalan, perbandingan peran ketiga pos penerimaan utama itu adalah 49,7% dari penerimaan dalam negeri, 29,6% dari migas, dan 20,5% dari bantuan luar negeri. Melihat data RAPBN tersebut, pertanyaan yang pertama timbul adalah: Apakah mungkin sasaran penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), yang diharapkan akan melonjak 30% lebih itu, akan tercapai? Dalam situasi tight money policy serta bunga perbankan yang tinggi, apakah target itu tidak terlalu tinggi? Lihat saja target pengumpulan PPh (pajak penghasilan) dan PPN (pajak pertambahan nilai). RAPBN mengharapkan PPh Rp 10.930 milyar atau 36,3% lebih tinggi dari anggaran berjalan. Sedangkan dari PPN diharapkan Rp 11.032,2 milyar (naik 34,1%). Ketika ekonomi Indonesia mengalami boom pada tahun anggaran 1990-1991, penerimaan PPh ternyata memang bisa meningkat sekitar 39%, sedangkan penerimaan PPN bisa didongkrak sampai 29,5%. Tapi, dalam kondisi ekonomi yang lagi lesu sekarang ini, apakah mungkin PPh dan PPN digenjot setinggi itu? Target yang telah disusun oleh para teknokrat tentu saja tidak sembarangan. Dasar-dasarnya ada. Antara lain, ada sejumlah perusahaan yang dulu mendapat fasilitas tax holiday, mulai tahun ini akan memasuki masa bayar pajak (lihat Bagian III). Selain itu, ternyata ada pertimbangan-pertimbangan nonekonomis. "Perpajakan di Indonesia belumlah semapan negara industri maju. Jika di sana resesi, bisa dipastikan penerimaan pajak akan surut. Tapi, di kita, dalam keadaan ekonomi lesu, penerimaan pajak bisa saja melonjak," kata seorang pejabat tinggi dalam suatu percakapan dengan TEMPO, akhir tahun silam. Dewasa ini, diduga masih banyak perusahaan besar yang bersembunyi di balik benteng pelindungan hingga sulit diterobosi oleh aparat perpajakan. Para aparat pajak yang senang bermain mata dengan wajib pajak, kabarnya, juga akan terus ditertibkan. Sementara ini, langkah Pemerintah lebih banyak di bidang moneter, sedangkan gebrakan-gebrakan di tahun anggaran mendatang nantinya berbunyi di sektor-sektor nonekonomis. "Tapi, kita harapkan juga bahwa Pemerintah nanti akan berdisiplin dalam melaksanakan anggaran," ujar Rizal Ramli. "Jangan seperti tahun lalu. Bujet sudah disodorkan ke DPR, baru kemudian keluar keputusan kenaikan gaji pegawai negeri," katanya. Dampak dari kenaikan gaji itu tentu saja APBN berjalan memang akan mudah disesuaikan lagi nanti. Pemerintah bisa saja nanti datang lagi ke DPR untuk meminta persetujuan APBN-T/P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tambahan dan Perubahan). "Tradisi" kejutan-kejutan barangkali masih perlu untuk shock therapy. Dalam anggaran, tampaknya tidak susah mengharapkan akan adanya kenaikan gaji pegawai negeri. Yang tercermin dari RAPBN ini adalah kebijaksanaan fiskal yang sejalan dengan tight money policy. Untuk pengeluaran rutin, pemerintah menganggarkan Rp 33.196,6 milyar. Namun, dari angka itu terlihat ada tiga pos pengeluaran luar negeri yang akan cukup banyak melahap dana tersebut. Untuk membayar bunga dan utang luar negeri saja, sudah akan tersedot Rp 15.627 milyar. Ditambah belanja pegawai luar negeri (Rp 255 milyar) dan belanja barang luar negeri (Rp 2.247,6 milyar), total Rp 18.129,6 milyar atau sekitar 54,6% dari anggaran rutin itu akan tumpah ke luar negeri. Sehingga, dari anggaran rutin itu, tinggal Rp 15.067 milyar (sekitar 45,4%) yang akan dibelanjakan di dalam negeri. Manfaatnya antara lain untuk membayar gaji dan pensiun pegawai negeri, belanja barang dalam negeri, belanja pegawai pemerintah daerah, dan lain-lain. Dalam pos "lain-lain" sebesar Rp 448,5 milyar itu, kata seorang pejabat pemerintah, ada pengeluaran untuk pemilu sekitar Rp 350 milyar. Dalam APBN berjalan juga ada anggaran pemilu sekitar Rp 150 milyar, sedangkan untuk tahun depan diperkirakan masih akan dicucurkan lagi Rp 100 milyar sebagai kelanjutan dari pemilu. Sementara itu, Pemerintah tampaknya ingin membasahi likuiditas perekonomian lewat program pembangunan. Dari pendapatan dalam negeri yang berjumlah Rp 46.508,4 milyar setelah dipotong anggaran rutin, Pemerintah akan mendapatkan tabungan Rp 13.311,8 milyar. Dana ini akan dicampur dengan bantuan program dari luar negeri (Rp 501,2 milyar) untuk dicurahkan di dalam negeri. Dengan demikian, seluruh dana yang akan dicurahkan di dalam negeri -- baik dari pos-pos anggaran rutin maupun pos-pos anggaran pembangunan -- akan mencapai Rp 28.880 milyar. Dibandingkan jumlah dana yang akan disedot Pemerintah dari pajak, bea, dan cukai, terlihat bahwa kelak ada uang tunai Rp 3.680 milyar, yang bakal disedot untuk tidak kembali ke masyarakat. Itulah sebabnya, fiskal ini dikatakan bersifat kontraktif. Jika mau, Pemerintah sebenarnya bisa mengompensasikan kekurangan Rp 3.680 milyar itu. Tentu saja bukan dengan mencetak rupiah. Yang terjadi sekarang ini Pemerintah malah terus mengonggokkan uangnya di BI. Seperti diketahui, Pemerintah telah mendapat semacam durian runtuh sewaktu harga minyak berkibar di akhir tahun 1990. Sebagian dari rezeki tambahan itu sudah dipakai dalam tahun anggaran, tapi masih tersisa sekitar Rp 2 trilyun yang belum ditentukan pemanfaatannya dan disimpan saja di Bank Indonesia sebagai cadangan anggaran pembangunan (CAP). Menurut Menteri Keuangan, dana ini hanya akan dipakai jika terdesak. "Apabila perkiraan penerimaan negara tahun 1991-92 tidak tercapai, dana CAP akan ditransfer ke APBN dengan menggunakan dokumen APBN seperti DIP dan SKO," kata Menteri Keuangan 4 Oktober lalu di DPR. "Bila ternyata anggaran 1991-92 terdapat surplus, CAP akan tetap dalam status cadangan. Jumlahnya masih tetap Rp 2 trilyun. Anehnya, sejak rezeki minyak muncul di akhir 1990, rekening Pemerintah di BI bukan hanya naik Rp 2 trilyun dari Rp 10 trilyun, tapi menggelembung sampai Rp 15 trilyun lebih (lihat tabel). Menurut Dahlan Sutalaksana, direktur muda dari Bank Indonesia, rekening Pemerintah di BI itu diberi bunga. Berapa bunganya tak dijelaskan. Tapi, mengapa Pemerintah belum mau membongkar cadangan itu? Tampaknya, ada beberapa alasan pokok. Yang paling utama, agaknya, adalah kekhawatiran terhadap harga minyak dan gas yang begitu labil untuk tahun 1992. Seperti telah diutarakan Menteri Pertambangan dan Energi Desember lalu, mungkin suplai minyak OPEC akan meningkat. Ini karena minyak Kuwait dan Irak diperkirakan akan kembali menyerbu pasar. Jika OPEC tidak bersatu, bisa dipastikan harga minyak segera menukik. Jika hal itu terjadi, tentu membahayakan ekonomi dan bujet pemerintah. Dalam RAPBN 1992-93, Pemerintah memang sudah berhati-hati sekali untuk menyusun perkiraan penerimaan minyak dan gas. Harga patokan dalam RAPBN adalah US$ 17 per barel, dua dolar di bawah patokan APBN berjalan. Ada ramalan, harga minyak bisa jatuh sampai US$ 13 per barel. Tapi itu barangkali terlalu drastis. Menurut seorang pakar dari kalangan pemerintah, negara-negara industri maju tidak membiarkan kejatuhan yang sebegitu parah. Kejatuhan harga minyak pada 1986 terbukti bisa mengguncangkan perekonomian di negara-negara penghasil minyak (termasuk Indonesia), bahkan bisa menimbulkan Perang Teluk. Dari pengalaman itu, sejak pertengahan tahun lalu terlihat bahwa produsen dan konsumen minyak sama-sama ingin mempertahankan stabilitas harga minyak. Harga yang paling wajar sementara ini agaknya sekitar US$ 17 per barel. Kalaupun ternyata akan amblas, setidaknya Pemerintah masih mempunyai cadangan anggaran pembangunan sebagai bantal pengaman untuk bujet mendatang. "Kendati penerimaan dari migas diperkirakan sudah akan merosot sekitar 7,1% dibandingkan APBN berjalan, kita mesti bersyukur bahwa Indonesia masih memiliki komoditi ini," kata seorang pejabat tinggi pemerintah. Bisa dibayangkan, bagaimana payahnya Indonesia bila benar-benar tidak mempunyai minyak seperti Filipina. Kini, utang-utang dan semua keperluan pemerintah sudah harus dibayar oleh masyarakat dalam bentuk pajak. Mungkin semua saluran irigasi serta jalan yang dibangun pemerintah akan dikenai tol. Hal ini yang tak bisa dilakukan Filipina, atau beberapa negara di Amerika Latin, sehingga mereka merasa perlu meminta penjadwalan utangnya kembali. Dalam RAPBN terlihat bahwa beban cicilan utang pokok berikut bunga luar negeri (Rp 15.969,3 milyar) sudah akan melampaui pendapatan dari migas (Rp 13.947,5 milyar). Terlihat pula bahwa bantuan luar negeri yang bisa dirupiahkan (bantuan program) kali ini tinggal Rp 501,2 milyar. Jumlahnya sangat kecil dibandingkan enam APBN terdahulu (1986-87 sampai 1991-92). Praktis, masyarakat sudah harus dilibatkan untuk menanggung beban utang ini. Dengan dilibatkannya masyarakat untuk ikut menanggung beban utang, mulai timbul pertanyaan, apa saja yang sudah dibangun dari pinjaman luar negeri. Soalnya, bila dibandingkan dengan Muangthai atau Korea Selatan, proyek yang dibangun di kedua negara itu dengan utang luar negeri memang secara ekonomis langsung terasa manfaatnya. Sedangkan di sini, proyek yang dibangun dengan utang luar negeri banyak tersebar, informasi tentang proyek sangat kurang, malah terkadang menimbulkan percikan kontroversi. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini