Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bersiaplah bayar pajak angka

Analisa rapbn 1992-1993 mengenai neraca pembayaran, target bantuan program yang merupakan dana tunai, penerimaan cukai rokok, penerimaan pajak dan pembayaran bunga dan utang yang melonjak. rapbn 1992-93 antara lain menunjukkan bahwa biaya rutin tidak dapat dikurangi, berkurangnya peran pemerintah dalam pembangunan, beban pembayaran utang tinggi dan menaikan pendapatan dari pajak.

11 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI RAPBN terdahulu, RAPBN 199293 tentu bukan sekadar angka. Karena di situ tercantum Rp 33,1 trilyun untuk anggaran rutin, Rp 22,9 trilyun bagi anggaran pembangunan, dan Rp 15,9 trilyun buat pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri, maka ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Pertama, biaya rutin untuk menggerakkan mesin birokrasi sudah tidak mungkin dikurangi lagi. Anggaran Rp 7,2 trilyun untuk gaji dan pensiun pegawai negeri (jumlahnya hampir 11 juta orang) juga tampaknya tidak mungkin diutak-atik. Tapi, bagaimana perihal belanja barang? Mengapa sampai Rp 2,4 trilyun? Padahal, menurut seorang anggota DPR, jumlah ini tidak perlu besar karena barang-barang yang ada toh masih bisa dipakai. Katakanlah memang ada barang-barang baru yang mesti dibeli, tapi daftar belanjaannya konon sering tak dilampirkan. Mengapa begitu? Anggaran pembangunan yang lebih kecil Rp 11 trilyun dari anggaran rutin menunjukkan berkurangnya peran Pemerintah sebagai lokomotif pembangunan. Ini terjadi sejak beberapa tahun lalu. Tak terlalu salah jika disimpulkan bahwa kemampuan membangun Pemerintah sudah dipatok sekitar Rp 22 trilyun. Kalau tidak dipatok, ya, barangkali memang mentok. Besarnya volume anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri (lebih besar Rp 1 trilyun dibandingkan dengan tahun lalu) menunjukkan bahwa beban pembayaran utang masih tetap berat. Kenyataan bahwa pemerintah Indonesia masih mencari pinjaman komersial untuk dana cadangan sedikit banyak memperjelas bahwa sumber-sumber penerimaannya belum bisa mengimbangi sejumlah pos pengeluaran yang didominasi pembayaran utang (nilai bunga dan cicilan utang hampir separuh dari nilai anggaran rutin). Tak mengherankan bila target pajak dinaikkan lagi dari Rp 19 trilyun menjadi Rp 23 trilyun. Pada tahun-tahun mendatang, Pemerintah pasti semakin bergantung pada wajib pajak, apalagi diperkirakan Indonesia akan berubah menjadi importir minyak selepas tahun 2010-an. Bagi kalangan orang pers, meliput penyerahan berkas RAPBN oleh Pemerintah kepada DPR sudah merupakan acara rutin, yang dalam beberapa tahun terakhir kurang menjanjikan kejutan ataupun terobosan. Sementara pada 1985 ada swasembada beras, dewasa ini Indonesia boleh tercengang, ketika Muangthai, misalnya, tiba-tiba memproklamasikan diri sebagai produsen karet alam terbesar di dunia. Bagi Muangthai, tampaknya begitu mudah untuk sekaligus menonjol sebagai eksportir beras, buah-buahan, dan karet alam. Apakah bukan kejutan semacam ini yang ingin kita dengar, sebagai variasi untuk angka-angka RAPBN sekarang yang tak sebagus dulu? Seorang pakar pernah mengatakan, nilai ekspor industri otomotif kita masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspor perhiasan tradisional hasil kerja para perajin. Mengejutkan memang, tapi bukan kejutan semacam itu yang kita harapkan. Hal yang sama bisa ditemukan pada Visit Indonesia Year 1991. Menurut Ditjen Pariwisata, selama VIY, negeri ini didatangi turis sekitar 2,5 juta orang, lebih banyak 400.000 dibandingkan dengan tahun 1990. Ini menggembirakan, apalagi kalau diingat VIY hampir rusak gara-gara Perang Teluk. Tapi, kita merasa bagai ditonjok, apabila jumlah turis VIY yang 2,5 juta itu, dibandingkan dengan turis yang membanjiri Malaysia -- yang notabene tidak punya Bali dan Danau Toba -- sebanyak 7,5 juta orang selama Visit Malaysia Year 1990. Dari berbagai contoh itu, jelaslah bahwa angka-angka anggaran adalah satu hal, sukses pembangunan adalah hal lain. Sementara dari sekarang Muangthai sudah menargetkan dirinya sebagai semacam Hong Kong untuk kawasan Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja), dan Malaysia berambisi mengangkat martabatnya sebagai sebuah negara maju pada tahun 2020, maka Indonesia bersiapsiap untuk era tinggal landas. Menjadi Hong Kong setidaknya berarti menjadi pusat lalu lintas antara dunia luar dan sebuah hinterland yang luas dan kaya. Peran besar yang dipilih Muangthai ini boleh saja memicu rasa cemburu. Ambisi Malaysia dengan mudah bisa diterjemahkan dalam angka pendapatan per kapita, katakanlah US$ 10.000 per tahun, (standar minimal pendapatan per kapita negara maju adalah US$ 6.000). Tapi, dapatkah sedikit dirumuskan target yang bisa dicapai dengan memasuki era tinggal landas? Belum tersedia informasi, apakah memasuki era tinggal landas sama artinya dengan pendapatan per kapita US$ 10.000, bisa memperoleh lapangan kerja kalau lulus sekolah, dan ada jaminan tidak akan digusur-gusur, baik dari rumahnya maupun dari lahan pertaniannya. Angka-angka RAPBN seolaholah bersuara bahwa Pemerintah akan memacu laju pertumbuhan dengan sekitar 5%. Namun, janji kembar dari sebuah strategi pembangunan, yakni meningkatkan laju pertumbuhan seraya memperluas pemerataan, agaknya tak begitu mudah untuk dikejar. Benarkah? Laporan Utama berikut ini berusaha menjawab pertanyaan itu. Bagian I menyajikan analisa secara umum, diikuti artikel yang lebih khusus menyorot neraca pembayaran, pinjaman luar negeri, cukai, pajak dan distorsi APBN yang masih saja terjadi dari tahun ke tahun. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus