USAHA pemerintah untuk menjinakkan neraca transaksi berjalan tampaknya belum juga akan membuahkan hasil. Perkiraan realisasi transaksi berjalan pada tahun anggaran itu, seperti yang diungkapkan Menko Ekuin dan Wasbang Radius Prawiro, Ahad lalu, ternyata defisit US$ 4.399 juta. Angka ini jelas hampir dua kali lipat sasaran sebelumnya, yang diperkirakan hanya US$ 2.369 juta. Defisit tadi sebenarnya tidak begitu mengagetkan. Banyak yang menduga, penampilan transaksi berjalan (neraca barang dan jasa) memang akan begitu. Sebab, jika merujuk kepada laporan semester I tahun 1991-92, tampak penerimaan dari ekspor migas dan nonmigas masih kurang dari setengah volume yang ditargetkan. Seperti sudah diketahui, selama tahun 1991 ada dua perubahan besar yang menyebabkan rendahnya ekspor. Pertama, melambatnya pertumbuhan ekonomi mitra dagang kita. Kedua, harga beberapa komoditi primer di pasar internasional belum membaik. Celakanya, gejala proteksi dari beberapa negara masih berlanjut. Mungkin karena itu, diperkirakan, realisasi penerimaan ekpor untuk tahun anggaran 1991-92 lebih rendah US$ 271 juta dari perkiraan semula sebesar US$ 29.493 juta. Sementara itu, di sisi lain, pengeluaran devisa untuk impor dan jasa-jasa pada waktu yang sama sudah melampaui 50% dari perkiraan semula. Karena itu, realisasi 1991-92 impor dan jasa-jasa sampai akhir tahun anggaran (Maret 1992) diperkirakan naik US$ 1.759 juta menjadi US$ 33.621 juta. Kenaikan impor ini tak bisa dilepaskan dari lonjakan investasi tiga tahun terakhir. Hampir 90% dari impor nonmigas kita digunakan untuk mendatangkan barang-barang modal dan bahan baku. Sedangkan kenaikan dalam jasa-jasa bisa jadi disebabkan nilai dolar, yang hingga September lalu mengalami depresiasi 3% terhadap mata uang yen. Akibatnya, utang luar negeri kita yang dinyatakan dalam yen akan semakin berat membayarnya. Benar, dalam menghadapi kendala-kendala tadi, Pemerintah telah mengeluarkan serentetan kebijaksanaan deregulasi untuk mendorong ekspor nonmigas. Namun, upaya itu rasanya tidak cukup. Posisi neraca pembayaran sampai semester I tetap mengkhawatirkan, terutama jika Pemerintah tetap meneruskan impor barang modal yang menunjang proyek-proyek besar. Guna mengurangi tekanan neraca pembayaran itu, November tahun lalu sejumlah proyek besar dijadwalkan. Tindakan itu menjegal hampir semua megaproyek, tanpa pandang bulu. Tak sedikit pengusaha yang protes diamdiam. Namun, pemerintah Jepang kabarnya angkat topi, sementara pihak swastanya sempat berang. Toh, upaya itu belum banyak membantu. Kendala ekspor dan kenaikan impor selama tahun 1991-92 menyebabkan neraca transaksi berjalan mengalami defisit hampir dua kali lipat. Namun, perkembangan transaksi modal tahun itu masih cukup baik. Pemasukan modal pemerintah (bantuan program dan proyek) serta lalu lintas modal lainnya diperkirakan lebih besar dari target semula. Setelah dikurangi pembayaran utang pokok, untuk tahun anggaran 1991-92 masih ada surplus US$ 352 juta. Kendati surplus tadi hanya setengahnya dari perkiraan semula yang US$ 904 juta, sampai akhir tahun anggaran, Pemerintah tampaknya belum perlu mencari cadangan baru. Lalu bagaimana neraca pembayaran 1992-93? Banyak pakar menilai angka-angka RAPBN konservatif. Untuk minyak, misalnya, pemerintah memasang harga lebih rendah, yakni US$ 17 per barel. Impor diperkirakan hanya naik 9%, sedangkan ekspor diperkirakan bisa digenjot sampai 20%. Ini berarti, penurunan dari penerimaan migas akan diimbangi kenaikan ekspor nonmigas, yang dalam tahun anggaran 1991-92 justru sebaliknya. Entah benar atau tidak, ada yang mengatakan penetapan harga minyak lebih rendah itu akan dipakai untuk mendapatkan pinjaman. Maksudnya, jika harga minyak sedang panas, akan sulit bagi kita untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun masih ada surplus US$ 21 juta, perhitungannya agak sedikit rawan. Defisit transaksi berjalan masih akan besar, diperkirakan US$ 4.343 juta. Ini sudah dengan perhitungan yang sangat optimistis. Target ekspor nonmigas, misalnya, dipasang setinggi US$ 21.870 juta, dibandingkan perkiraan realisasi tahun ini yang US$ 18.225 juta. Sekarang masalahnya, apakah kita mampu meningkatkan eskpor yang agak ambisius itu dan menekan impor. Ada beberapa masalah, memang. Seperti dikatakan Mari Pangestu, pulihnya perekonomian Amerika dan melambatnya petumbuhan Jepang dan Jerman diperkirakan masih akan berlangsung hingga 1992. Jerman, yang dulu mengalami pertumbuhan 3%, kini hanya 1%. Selain itu, sistem perdagangan dunia bukannya semakin bebas, malah semakin dicekam proteksi. Situasi ekonomi dalam negeri juga kurang cerah. Kesulitan mendapatkan pinjaman -- sejak kebijaksanaan TMP -- terutama pinjaman modal kerja, akan mempengaruhi realisasi ekspor. Di samping itu, bunga pinjaman yang tinggi menyebabkan biaya operasi ikut tinggi. "Hal ini akan mengurangi daya saing kita," ujar Mari. Namun, pasar utama Indonesia, seperti negara-negara Timur Tengah, diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Menurut Direktur Muda Bank Indonesia, Dahlan Sutalaksana, kemungkinan untuk mengenjot ekspor masih terbuka lebar. Kalau dilihat secara makro, ekspor kita masih relatif kecil. Jadi, masih ada kemungkinan untuk meningkatkan sharenya. "Sekarang bagaimana kita bisa mengambil share negara lain," ujar Dahlan. Di dalam negeri sendiri, boom investasi yang berorientasi ekspor, tahun ini, mulai menampakkan hasilnya. Sementara itu, proyeksi impor nonmigas diperkirakan US$ 23.401 juta, dibandingkan perkiraan realisasi tahun ini US$ 21.469 juta. Namun, jika merujuk impor selama dua tahun terakhir, tampaknya impor nonmigas akan jauh lebih besar. Meskipun tahun 1991 investasi bisa ditekan menjadi Rp 39,8 trilyun (tahun 1990 Rp 60 trilyun), pada 1992 angka itu pasti akan besar lagi. Seperti yang dikatakan orang moneter, tight money policy tahun ini mulai dilonggarkan. "Pokoknya, investasi tahun depan akan lebih baik," ujar Ketua BKPM, Sanyoto Sastrowardoyo. Satu hal yang menarik adalah masalah lalu lintas modal. Dalam perkiraan tahun anggaran 1992-93, jumlahnya hampir sama dengan perkiraan realisasi 1991-92, yaitu US$ 3.529 juta. Tapi, apakah angka ini tidak terlalu besar? Kalau dilihat selama tahun 1991, Pemerintah sibuk melakukan kebijaksanaan penjadwalan proyek dan wajib lapor bagi swasta yang akan mencari offshore loan. Bisa saja angka tersebut diartikan bahwa kebijaksanaan tadi ditarik kembali pada 1992. Dengan adanya proyeksi yang optimistis itu, masih terselip bantuan program US$ 275 juta. Jadi, paling tidak harus ada bantuan sebesar itu lagi, agar ada surplus US$ 21 juta. Kalau mau selamat, resep satusatunya ya kerja keras. Bambang Aji dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini