BERKURANGNYA aliran investasi baik yang dari PMA maupun PMDN
cukup mencemaskan pemerintah. Gubernur Bank Indonesia Rachmat
Saleh menyebut melambatnya investasi ini sebagai "fenomena yang
cukup mengkhawatirkan yang perlu mendapat perhatian kita
bersama." Ketua BKPM Barli Halim mengungkapkan bahwa selama
tahun anggaran 77/78 jumlah PMA hanya US$350 juta, sedang jumlah
PMDN "sedikit lebih besar."
Ada beberapa faktor yang menyebabkan aliran investasi melambat:
Resesi ekonomi dunia yang belum pulih menyebabkan para eksekutif
perusahaan raksasa kurang entusias melakukan ekspansi karena toh
pasaran masih lesu, sedang rencana investasi yang sudah keburu
dibikin diurungkan. Situasi menjelang sidang umum MPR yang cukup
panas menyebabkan calon investor di Indonesia bersikap tunggu
dan lihat.
Tapi situasi kini nampaknya mulai berobah. Bagi para investor,
hasil sidang umum MPR merupakan jaminan akan adanya kestabilan
politik dan ekonomi untuk sekurangnya lima tahun mendatang. Bagi
para calon investor non AS, merosotnya nilai dollar belakangan
ini merupakan perangsang untuk melakukan investasi di luar
negaranya. Jadi memang ada harapan bahwa aliran investasi di
Indonesia baik dari PMA maupun PMDN akan meningkat sebentar
lagi.
Menurut Barli Halim, untuk tahun anggaran berjalan ini,
Indonesia memerlukan investasi US$1200 juta, atau aliran yang
dua kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya. Sampai Januari
kemarin jumlah permohonan penanaman modal yang sudah diproses
BKPM berjumlah US$6600 juta dari PMA dan sekitar Rp 2600 milyar
dari PMDN yang meliputi 800 proyek PMA dan 2800 proyek PMDN.
Tentu rencana investasi yang sudah direalisir jauh kurang dari
jumlah tersebut. Setiap proyek memerlukan waktu beberapa tahun
untuk mendapat persetujuan dari BKPM.
Selama Masih Inflasi
Memang jumlah investasi besar itulah yang diperlukan ekonomi
Indonesia untuk mempertahankan momentum pertumbuhannya 7,5 atau
8% setahun. Mengingat bahwa beberapa tahun terakhir ini, capital
output ratio sebesar 3% sudah dicapai, dan kalau untuk mencapai
sasaran pertumbuhan sebesar 7,5% itu Produk Domestik Bruto harus
mencapai Rp 9700 milyar, berarti Indonesia memerlukan
pembentukan modal bruto sebesar Rp 5100 milyar. Kalau dari APBN
78/79 pemerintah menyediakan Rp 3100 milyar untuk investasi,
maka ini berarti keperluan Rp 2000 milyar yang harus merupakan
investasi PMA dan PMDN. Ini akan sukar dicapai.
Itu tak berarti pemerintah lalu akan membuka lebar pintu untuk
investasi. Daftar skala prioritas sudah dirumuskan, dan jelas
yang diutamakan adalah investasi untuk proyek padat karya.
Bertambah 1 juta tenaga kerja setiap tahun, tapi hanya beberapa
puluh ribu saja yang sanggup disedot oleh proyek baru. Maka
jelas unsur kemampuan daya sedot tenaga kerja merupakan daftar
urutan tertinggi bagi pemerintah untuk pertimbangan persetujuan
investasi. Barli Halim menyebut industri pakaian jadi dan
elektronika sebagai contoh industri yang daya serap tenaga
kerjanya cukup besar.
Di front lain, Gubernur Rachmat Saleh menjanjikan bantuan Bank
Indonesia kepada lembaga keuangan di Jakarta "dengan syarat
mereka mau memberi pinjaman jangka panjang kepada perusahaan
pribumi." Dia melihat peranan yang cukup penting bagi lembaga
keuangan dalam mendorong investasi di dalam negeri. Selama ini
peranan lembaga keuangan masih sedang-selang saja baik dalam
pemberian pinjaman maupun dalam penyertaan modal. Jumlah
pinjaman mereka kini sudah mencapai US$25 juta. Apakah lembaga
keuangan akan memanfaatkan kesempatan yang diberikan Bank
Sentral?
Yang jelas adalah kredit perbankan masih dibatas oleh plafon
yang ditetapkan BI. Dengan demikian sulit bagi pengusaha untuk
memperluas usahanya, mengingat sebagian besar dana mereka
berasal dari kredit bank. Dan BI tak akan segera mau menurunkan
plafonnya, apalagi melihat inflasi April kemarin yang melonjak
dengan 1,8%. Selama inflasi belum terkendali sepenuhnya, selama
itu pula para calon investor tak bisa berharap bank akan
bermurah dengan pemberian kreditnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini