BANYAK orang telah dibuat terkejut ketika Wakil Presiden AS
Walter Mondale berkunjung di Jakarta. Sekalipun cuma 40« jam,
orang Nomor 2 di AS itu telah melontarkan sejumlah hasil yang
semula tak diduga -- dan membuat senang para pejabat di sini.
Dia mengemukakan bahwa Dinas Pajak AS (InternaI Revenue
Service) sudah setuju tak lagi akan memungut pajak terhadap
para pengusaha minyak AS 'bagi-hasil' yang beroperasi di
Indonesia. Dia juga menyatakan Washington sudah setuju untuk
menerima rumusan eskalasi (peningkatan) harga LNG dari Indonesia
(lihat TEMPO 13 Mei, Nasional).
Tak kurang dari Menko Ekuin Widjojo Nitisastro yang menyambut
keputusan itu. Sehari setelah Mondale meninggalkan Jakarta,
Widjojo mengumumkan bahwa keterangan Mondale tentang eskalasi
harga LNG dari Indonesia itu berarti AS akan mengimpor gas alam
cair dari lapangan Arun di Aceh itu. Menurut Widjaja dengan
demikian AS perlu membangun perluasan proyek LNG di Arun, dan
merencanakan pendirian pangkalan di pantai barat California
untuk kelak menampung LNG dari Indonesia.
Tapi kegembiraan itu rupanya cair lagi sebelum Mondale kembali
ke Washington. Iriengutip "sumber-sumber AS" di Jakarta, harian
The Asian Wallstreet Journal (11 Mei) menulis bahwa Departemen
Energi di AS tak pernah menyeujui rumusan eskalasi harga LNG
dari Indonesia. Mondale, yang dikabarkan telah mengkontak
Washington sesaat setelah tiba di Jakarta, dianggap telah salah
tafsir. Departemen Energi AS memang setuju untuk mengimpor LNG
dari Indonesia, tapi masih belum setuju tentang persyaratan
harganya. Departemen Energi di AS sendiri kemudian menyatakan
belum dicapai rumusan harga untuk penjualan LNG dari Indonesia
ke AS.
Berbeda dengan Jepang, Pemerintah AS memang lebih ketat dalam
menenukan harga gas alam di dalam negerinya. Tapi dengan
persetujuan Congress, Eederal Poer Commission (FPC) sebagai
penentu harga gas alam di AS, secara bertahap --sampai dengan
tahun 1985 -- akan menyerahkan penentuan harga gas alam itu
pada kekuatan pasar. Beleid baru itu diperkirakan akan membuat
harga gas alam di dalam negeri meningkat. Selain membuat senang
para pengusaha gas alam di AS, pada gilirannya diharapkan beleid
baru itu akan bisa menampung harga LNG dari Indonesia.
Rencana ekspor LNG dari Indonesia ke AS itu memang
terkatung-katung sejak 1973. Ketika itu Pacific Indonesian LNG
Co -- perusahaan patungan antara Southern California Gas Co.
dengan Pacific Gas & Electric Co -- telah teken kontrak dengan
Pertamina untuk mengimpor LNG sebanyak 620 milyar BTU sehari
selama 20 tahun, atau sekitar 3« juta ton LNG setahun. Kemudian
pada Januari 175 kedua pihak membuat amandemen terhadap
perjanjian 1973. Harga (baseprice) LNG Arun itu dinaikkan
menjadi US$ 1,25/juta BTU, ditambah kenaikan 50% mengikuti
kenaikan harga ekspor minyak Indonesia, dan 50% lainnya
mengikuti index bahan bakar (fuel) di AS sendiri. Tapi harga
plafon gas alam yang ditetapkan pemerintah AS adalah US$ 1,42
per juta BTU. Ini dianggap terlalu rendah untuk bisa menerima
rumusan harga LNG dari Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini