JUMLAH produksi film Indonesia tahun 1977/1978 memang besar,
karena itu peserta FFI 1978 juga banyak. Dan dewan juri yang
diketuai H. Rosihan Anwar harus bekerja keras. Selama sebulan
9 juri -- Rosihan, Gayus Siagian, Irawati Sudiarso, Ishak
Ngeliyaratan, Sunardi DM, Ajip Rosidi, Dr Sudjoko, W. Silitonga
dan bas Alibasya -- memeriksa sekitar 60 film. "Hasilnya lebih
menggembirakan dari tahun silam," begitu kesimpulan Rosihan yang
tahun lalu juga menjadi juri.
Dalam laporan pertanggungjawaban juri yang dibacakan Rosihan
sebelum mengumumkan hasil penjurian di stadion Mattoanging Rabu
malam pekan silam, antara lain disebutkan pula bahwa:
"adegan-adegan sex tahun ini relatif berkurang dalam hal
penyajian yang menyolok." Tapi "film yang mengemukakan cerita
tentang kekerasan dan sadisme dan semacamnya tahun ini
meningkat."
Dalam bidang lain -- penataan suara, penyajian cerita, permainan
para artis, penataan kamera, pengisian musik dan penyutradaraan
-- dewan juri merasa "ada sedikit kemajuan." Hanya dalam
penataan artistik juri masih mengharapkan supaya "dilakukan
sesuai kehendak cerita." Ini karena penataan artistik sekarang
masih banyak yang oleh juri dinilai berbau turistis.
Berbeda dengan FFl 1977 di Jakarta yang geger oleh keputusan
dan laporan pertanggungjawaban juri yang dinilai keras,
keputusan juri di Ujung Pandang diterima dengan "baik-baik"
saja oleh kalangan perfilman. "Itu karena kita telah mempunyai
buku putih penjurian," kata Turino Junaidi. Ketertiban kerja
juri memang dicapai lewat peraturan yang dirumuskan bersama
kalangan perfilman serta bekas-bekas ketua dewan juri FFI di
Cisarua pada 22 Oktober 1977 itu, tapi bukan tanpa keluhan juri
kemudian. "Hasil yang dicapai sekarang ini akibat sistim
penjurian yang mementingkan angka sesuai dengan buku putih itu,"
kata seorang anggota juri kesal. Konon keputusan kebanyakan
diambil berdasarkan angka, tidak berdasarkan diskusi seperti
pada penjurian sebelumnya Cara macam ini bisa mengakibakan
suatu pilihan dengan argumentasi yang lemah.
Tapi jenis apa pun sistim yang dipergunakan para juri, hasilnya
toh tetap disambut meriah oleh para artis dan karyawan film.
Cerita lain dari Ujung Pandang menyebutkan kemeriahan itu bahkan
telah berlangsung beberapa jam sebelum keputusan juri dibacakan.
Cerita tentang Ami Priyono yang terpilih menjadi sutradara
terbaik telah terdengar di Jakarta -- lewat telepon yang
menggunakan satelit Palapa -- Rabu siang pekan silam. Mendengar
berita itu, Ami kabarnya berkata: "Wah, masak saya. Kan masih
banyak sutradara yang lebih baik dari saya. Saya ini kan orang
baru." Tapi malam harinya, berita itu ternyata benar.
Di stadion Mattoanging yang dibanjiri belasan ribu manusia, Rabu
malam itu Haji Rosihan tampil pada puncak acara mengungkapkan
hasil kerja dewan juri FFI 1978. Berikut ini adalah nama-nama
yang beruntung memperoleh piala Citra:
Ami Priyono: Sutradara terbaik Joice Erna: Aktris terbaik.
Kaharuddin Syah Aktor terbaik. Tantra Suryadi: Editor terbaik.
Eros Djarot: Ilustrator musik terbaik. Lukman Hakim Nain: Juru
kamera terbaik. Ami Priyono dan N. Riantiarno penulis skenario
terbaik. Suparman: Penata suara terbaik. Nani Wijaya: Aktris
pembantu terbaik. Masito Sitorus: Aktor pembantu terbaik. Yudi
Subroto Penata artistik terbaik. Jakarta, Jakarta (sutradara
Ami Priyono) Film terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini