Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Komersialisasi di u.p.

Ffi di ujung pandang, berakhir dengan kekisruhan. panitia saling tunjuk tentang masalah keuangan, sementara para artis merasa di komersilkan oleh panitia. keputusan juri tentang aktor terbaik tak dapat digugat. (fl)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 1978 di Ujung Pandang telah usai. Di Jakarta, para artis dan karyawan yang beruntung mendapatkan hadiah kemenangan kini sebagian besar masih diliputi suasana pesta. Piala Citra yang mereka peroleh bukan saja dipajang untuk kebanggaan, tapi sejumlah uang juga akan menyertai tanda kemenangan itu. Itu adalah hasil dari sebuah keputusan Menteri Penerangan RI yang menetapkan untuk memberi kwota impor bagi perusahaan film yang mempunyai sertifikat yang diperoleh setiap memenangkan piala Citra. Tapi berapa nilai tiap Citra? "Hingga kini belum jelas, sebab peraturan pelaksanaannya masih belum terlihat," jawab Turino Junaidi kepada TEMPO. Di Ujung Pandang, sudah tentu pihak panitia masih sibuk membenahi semua peralatan yang telah dipergunakan selama 5 hari: panggung di stadion Mattoanging dibongkar, mobil-mobil pinjaman dikembalikan, sewa hotel dibereskan, spanduk-spanduk diturunkan dan lain-lain. Semua itu jelas memerlukan kerja keras dengan pembiayaan yang tidak kecil. Tapi tidak sia-sia pengorbanan tenaga itu, bukan? "Ya, kalau diukur dari segi sambutan masyarakat, luar biasa suksesnya festival ini. Kota Ujung Pandang betul-betul dilanda demam film. Penduduk Sulawesi Selatan berdatangan dari berbagai kabupaten di pedalaman. Penginapan-penginapan penuh, pertunjukan para artis di stadion Mattoanging dan di Taman Hiburan Rakyat dipenuhi pengunjung yang menonton dengan terlebih dahulu membayar. Dan sidang Majlis Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) yang biasanya hanya dihadiri oleh kalangan perfiman, kini dihadiri dan dibikin geger oleh pernyataan dan kecaman Menteri P&K, Dr Daoed Joesoef yang datang ke Ujung Pandang bersama Menpen Ali Moertopo dan Mentri Muda Urusan Pemuda, Abdul Gafur." Begitu antara lain laporan wartawan TEMPO, Yusril Djalinus, yang ikut menghadiri acara festival tersebut. Naik Becak Dari Ujung Pandang bukan cuma ada cerita tentang festival yang berkilauan sejumlah bintang, tapi juga kisah tentang keruwetan kerja panitia yang cukup mendongkolkan para tamu. Pengurusan hotel, pengangkutan maupun penyelenggaraan acara-acara, seperti biasa, belum bisa rapi. "Saya terpaksa naik becak saja, habis kendaraan tidak tersedia," keluh Ajip Rosidi, seorang anggota juri. "Berbagai instansi dan perusahaan kabarnya meminjamkan mobilnya kepada panitia, tapi kita sendiri sulit mendapat kendaraan," kata Turino Junaidi. Puncak dari keruwetan itu nampaknya dicapai ketika berlangsung sebuah pertemuan dengan para wartawan di restoran Marannu sehari sebelum penutupan. Pers yang ingin mengetahui masalah keuangan FFI 1978 itu menemui kenyataan bahwa panitia saling tunjuk menunjuk ketika ditanya. Kabarnya kegencaran para wartawan mempertanyakan soal keuangan itu bersurnber pada keluhan para artis yang merasa "dikomersilkan" oleh panitia setempat. "Bayangkan saja," kata Turino, "semua acara, termasuk pembukaan dan penutupan di stadion, dipungut bayaran. Itu kan bukan uang sedikit." Model Internasional Rachman Arge, ketua pelaksana mengakui: "Memang acara terpaksa dikomersilkan karena kita kekurangan biaya." Tapi berapa biaya sebenarnya? "40 juta rupiah," kata Arge. "Kalau begitu panitia pasti untung besar," kata Turino, ketua Yayasan Festival Film Indonesia. Perhitungan Turino: "Dari pemerintah daerah, panitia setempat sudah mendapatkan dropping Rp 25 juta, dari komersialisasi artis selama 3 malam dan komersialisasi pawai artis saya perhitungkan mereka memperoleh lebih dari Rp 100 juta." sambung Turino: "Memang ini gila-gilaan. Tapi kita di pusat tidak bisa mencampurinya. Mereka yang cari duit." Keruwetan keuangan di Ujung Pandang hampir pula dibarengi oleh kekisruhan penjurian di Jakarta. Masih seperti tahun lalu, tahun ini para pemain yang tidak mengisi suaranya sendiri, menurut peraturan penjurian, harus didiskualifisir. Sulitnya bagi juri, mereka tidak kenal semua bintang. Sehingga sulit mengetahui mana yang menggunakan suara sendiri dan mana yang diisi oleh orang lain. "Kami masih menggunakan formulir pendaftaran model internasional yang tidak mencantumkan soal suara asli atau dubbing," kata Turino. Nah, juri ternyata memilih Kaharuddin Syah -- dalam film Letnan Harahap -- sebagai pemain pria terbaik dengan hak mendapatkan Citra. Ini pemain pendatang baru memang tidak mengisi sendiri suaranya. Dan semuanya itu baru ketahuan setelah hasil penjurian diumumkan. Tentu saja heboh, apa lagi setelah panitia menghubungi Sophan Sophian, sutradara film tersebut, supaya piala untuk filmnya itu dikembalikan. "Saya akan serahkan kembali piala itu," kata Sophan dingin Sabtu lalu. Mengaku tidak mau meributkan keteledoran panitia, Sophan juga berkata: "Yang penting film saya disorot juri dengan serius. Ini membahagiakan saya. Lain kali saya akan bekerja lebih serius." Esoknya panitia dan juri melakukan sidang darurat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. "Persoalan diselesaikan dengan menggunakan pasal 6 ayat 3 dari peraturan penjurian," kata Turino. Apa isi pasal dan ayat itu? "Yah keputusan juri tidak bisa diganggu gugat. Artinya, Kaharuddin Syah tetap memegang piala Citra yang diperolehnya di Ujung Pandang itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus