FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 1978 di Ujung Pandang telah usai.
Di Jakarta, para artis dan karyawan yang beruntung mendapatkan
hadiah kemenangan kini sebagian besar masih diliputi suasana
pesta. Piala Citra yang mereka peroleh bukan saja dipajang untuk
kebanggaan, tapi sejumlah uang juga akan menyertai tanda
kemenangan itu. Itu adalah hasil dari sebuah keputusan Menteri
Penerangan RI yang menetapkan untuk memberi kwota impor bagi
perusahaan film yang mempunyai sertifikat yang diperoleh setiap
memenangkan piala Citra. Tapi berapa nilai tiap Citra? "Hingga
kini belum jelas, sebab peraturan pelaksanaannya masih belum
terlihat," jawab Turino Junaidi kepada TEMPO.
Di Ujung Pandang, sudah tentu pihak panitia masih sibuk
membenahi semua peralatan yang telah dipergunakan selama 5 hari:
panggung di stadion Mattoanging dibongkar, mobil-mobil pinjaman
dikembalikan, sewa hotel dibereskan, spanduk-spanduk diturunkan
dan lain-lain. Semua itu jelas memerlukan kerja keras dengan
pembiayaan yang tidak kecil. Tapi tidak sia-sia pengorbanan
tenaga itu, bukan? "Ya, kalau diukur dari segi sambutan
masyarakat, luar biasa suksesnya festival ini. Kota Ujung
Pandang betul-betul dilanda demam film. Penduduk Sulawesi
Selatan berdatangan dari berbagai kabupaten di pedalaman.
Penginapan-penginapan penuh, pertunjukan para artis di stadion
Mattoanging dan di Taman Hiburan Rakyat dipenuhi pengunjung yang
menonton dengan terlebih dahulu membayar. Dan sidang Majlis
Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) yang biasanya hanya
dihadiri oleh kalangan perfiman, kini dihadiri dan dibikin
geger oleh pernyataan dan kecaman Menteri P&K, Dr Daoed Joesoef
yang datang ke Ujung Pandang bersama Menpen Ali Moertopo dan
Mentri Muda Urusan Pemuda, Abdul Gafur." Begitu antara lain
laporan wartawan TEMPO, Yusril Djalinus, yang ikut menghadiri
acara festival tersebut.
Naik Becak
Dari Ujung Pandang bukan cuma ada cerita tentang festival yang
berkilauan sejumlah bintang, tapi juga kisah tentang keruwetan
kerja panitia yang cukup mendongkolkan para tamu. Pengurusan
hotel, pengangkutan maupun penyelenggaraan acara-acara, seperti
biasa, belum bisa rapi. "Saya terpaksa naik becak saja, habis
kendaraan tidak tersedia," keluh Ajip Rosidi, seorang anggota
juri. "Berbagai instansi dan perusahaan kabarnya meminjamkan
mobilnya kepada panitia, tapi kita sendiri sulit mendapat
kendaraan," kata Turino Junaidi.
Puncak dari keruwetan itu nampaknya dicapai ketika berlangsung
sebuah pertemuan dengan para wartawan di restoran Marannu sehari
sebelum penutupan. Pers yang ingin mengetahui masalah keuangan
FFI 1978 itu menemui kenyataan bahwa panitia saling tunjuk
menunjuk ketika ditanya. Kabarnya kegencaran para wartawan
mempertanyakan soal keuangan itu bersurnber pada keluhan para
artis yang merasa "dikomersilkan" oleh panitia setempat.
"Bayangkan saja," kata Turino, "semua acara, termasuk pembukaan
dan penutupan di stadion, dipungut bayaran. Itu kan bukan uang
sedikit."
Model Internasional
Rachman Arge, ketua pelaksana mengakui: "Memang acara terpaksa
dikomersilkan karena kita kekurangan biaya." Tapi berapa biaya
sebenarnya? "40 juta rupiah," kata Arge. "Kalau begitu panitia
pasti untung besar," kata Turino, ketua Yayasan Festival Film
Indonesia. Perhitungan Turino: "Dari pemerintah daerah, panitia
setempat sudah mendapatkan dropping Rp 25 juta, dari
komersialisasi artis selama 3 malam dan komersialisasi pawai
artis saya perhitungkan mereka memperoleh lebih dari Rp 100
juta." sambung Turino: "Memang ini gila-gilaan. Tapi kita di
pusat tidak bisa mencampurinya. Mereka yang cari duit."
Keruwetan keuangan di Ujung Pandang hampir pula dibarengi oleh
kekisruhan penjurian di Jakarta. Masih seperti tahun lalu, tahun
ini para pemain yang tidak mengisi suaranya sendiri, menurut
peraturan penjurian, harus didiskualifisir. Sulitnya bagi juri,
mereka tidak kenal semua bintang. Sehingga sulit mengetahui mana
yang menggunakan suara sendiri dan mana yang diisi oleh orang
lain. "Kami masih menggunakan formulir pendaftaran model
internasional yang tidak mencantumkan soal suara asli atau
dubbing," kata Turino. Nah, juri ternyata memilih Kaharuddin
Syah -- dalam film Letnan Harahap -- sebagai pemain pria terbaik
dengan hak mendapatkan Citra. Ini pemain pendatang baru memang
tidak mengisi sendiri suaranya. Dan semuanya itu baru ketahuan
setelah hasil penjurian diumumkan. Tentu saja heboh, apa lagi
setelah panitia menghubungi Sophan Sophian, sutradara film
tersebut, supaya piala untuk filmnya itu dikembalikan. "Saya
akan serahkan kembali piala itu," kata Sophan dingin Sabtu
lalu. Mengaku tidak mau meributkan keteledoran panitia, Sophan
juga berkata: "Yang penting film saya disorot juri dengan
serius. Ini membahagiakan saya. Lain kali saya akan bekerja
lebih serius."
Esoknya panitia dan juri melakukan sidang darurat di Pusat
Perfilman Haji Usmar Ismail. "Persoalan diselesaikan dengan
menggunakan pasal 6 ayat 3 dari peraturan penjurian," kata
Turino. Apa isi pasal dan ayat itu? "Yah keputusan juri tidak
bisa diganggu gugat. Artinya, Kaharuddin Syah tetap memegang
piala Citra yang diperolehnya di Ujung Pandang itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini