TAK putus dirundung persoalan. Begitulah agaknya nasib industri tekstil dan produk tekstil Indonesia. Belum lagi soal kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik terselesaikan, kini muncul lagi soal baru yang bikin tambah puyeng: ancaman tuduhan dumping dari Amerika Serikat.
Sentra industri tekstil AS pada 6 Juni lalu meminta Kongres dan pemerintahan George W. Bush agar melindungi usaha mereka dari serbuan TPT impor, yang murah-meriah. Mereka juga minta pemerintah AS agar mengenakan tuduhan dumping untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) dari negara-negara Asia yang mata uangnya mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Cina dan Indonesia, tentu saja, masuk dalam kategori itu. Sejak menguatnya otot dolar AS terhadap yuan dan rupiah, TPT dari Cina dan Indonesia memang berjaya di negeri Abang Sam.
Dampaknya, produk pengusaha AS tidak bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Jika kondisi ini dibiarkan, industri tekstil AS boleh jadi berumur pendek. Saat ini saja sudah banyak pabrik tekstil di AS yang gulung tikar.
Permintaan proteksi pengusaha tekstil AS itu tidak boleh dianggap remeh. Sebab, AS memiliki Undang-Undang Perdagangan, yang bisa melindungi industrinya. Jangan lupa, pemerintah AS di bawah George W. Bush memiliki perhatian yang besar terhadap perkembangan industri dalam negeri. Kasus permintaan proteksi yang diajukan industri baja bisa dijadikan contoh. Ketika Bill Clinton berkuasa, industri baja AS pernah meminta agar produksi mereka dilindungi dari gempuran baja impor. Tetapi Clinton menolak permintaan itu. Baru setelah Bush berkuasa, permintaan proteksi itu dikabulkan. Nah, bukan tak mungkin permintaan proteksi industri tekstil kali ini juga akan bersambut.
Bagi industri TPT Indonesia, kehilangan pasar AS jelas merupakan pukulan yang sangat berat. Sebab, AS merupakan tujuan ekspor TPT terbesar. Hampir semua industri TPT mengekspor produknya ke AS. PT Great River International, misalnya. Produsen pakaian jadi ini tiap tahunnya mengekspor 20 persen dari total produksinya ke AS. Nilainya US$ 20 juta atau Rp 18 miliar (kurs Rp 9.000 per dolar). Demikian juga halnya dengan Polysindo Eka Perkasa. Anak perusahaan Texmaco ini sepanjang tahun 2000 lalu mengirim 20,6 persen dari total ekspornya ke pasar AS, senilai US$ 31 juta. Dan sampai dengan semester pertama tahun ini, dari total produknya yang diekspor, Polysindo sudah mengirim 20,7 persen ke AS senilai US$ 16,7 juta.
Secara keseluruhan, dari total ekspor TPT Indonesia, yang setiap tahunnya menghasilkan US$ 7 miliar, pasar negeri adidaya itu menyerap 30 persen atawa US$ 2,1 miliar.
Mengingat besarnya sumbangan pasar AS itu, pemerintah ataupun pengusaha Indonesia berupaya keras melobi pemerintah AS. Dirjen Kerja Sama Luar Negeri Lembaga Industri dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Hatanto Reksodipuro, menyatakan sudah mengirim surat kepada pemerintah AS. "Isinya antara lain meminta agar pemerintah AS tidak begitu saja percaya pada permintaan proteksi dari industri tekstilnya," kata Hatanto. Selain itu, ia juga meminta bantuan Duta Besar AS untuk Indonesia, Robert Gelbard, agar melobi pemerintah AS. Namun, Hatanto tidak tahu apakah lobinya itu ampuh atau tidak. Sebab, hingga kini belum ada jawaban atas surat itu.
Jika lobi itu mentok dan AS tetap mengenakan tuduhan dumping kepada industri TPT Indonesia, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Indra Ibrahim, Indonesia akan membawa kasus itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebab, Indonesia sama sekali tidak melakukan dumping. Murahnya harga TPT dari Indonesia lebih disebabkan oleh depresiasi rupiah yang sangat tajam terhadap dolar AS.
Namun, jalur WTO bukan satu-satunya perisai yang bisa mengamankan ekspor TPT Indonesia. Jika tuduhan dumping lemah, pemerintah AS pun sudah siap dengan ranjau baru yang disebut World Wide Responsible Apparel Production (WRAP)—tanggung jawab produsen tekstil terhadap dunia. Semua TPT yang masuk AS harus mendapat sertifikasi yang tak mudah dipenuhi pengusaha Indonesia itu. Sebab, dasar penilaian untuk memperoleh WRAP berkaitan dengan hak asasi manusia, lingkungan kerja, kondisi kerja, kesehatan kerja, diskriminasi, serta kebebasan berserikat. "Ini lebih memusingkan pengusaha," kata Sunjoto Tanudjaja, Presiden Direktur Great River International.
Hartono, Dewi Rina Cahyani, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini