SETELAH pecah "perang" memperebutkan hak pengelolaan sumber daya alam, kini pemerintah daerah dan pusat berseteru meributkan kewenangan pengelolaan pelabuhan. Pemerintah Provinsi Lampung dan Sumatra Selatan serta pemerintah Kota Cilegon, atas nama otonomi daerah, mencabut kewenangan pemerintah pusat atas pengelolaan pelabuhan di tiga wilayah itu.
Lewat kekuasaan yang kini ada dalam genggaman, ketiganya menerbitkan peraturan daerah yang memakzulkan kuasa PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atas pelabuhan-pelabuhan di wilayah mereka. Ketiganya ingin mengelola sendiri pelabuhan yang ada di sana. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk menggembungkan kocek pemda. Maklum, uang yang didulang dari jasa pelabuhan sangat besar dan sangat memadai untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Dari pengelolaan pelabuhan di Lampung, tiap tahun Pelindo II berhasil menangguk pendapatan Rp 35 miliar. Dana ini diperoleh dari satu pelabuhan umum Panjang di Bandarlampung, satu pelabuhan khusus Kota Agung, dan empat dermaga untuk kepentingan sendiri (DUKS), yang terdiri atas dermaga PT Andalu, PT Hanjung Indonesia, PT Tajung Enim Lestari, dan dermaga PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Dengan pendapatan sebesar Rp 35 miliar, pemerintah daerah tentu tidak bisa berdiam diri saja. Wajarlah bila Gubernur Lampung, Oemarsono, pada 26 Juli lalu mengeluarkan Surat Keputusan No. 36 Tahun 2001. Isinya mencabut kewenangan Pelindo II atas pengelolaan pelabuhan di Lampung.
Berbeda dengan Lampung, Gubernur Sumatra Selatan Rosihan Arsyad hanya meminta agar Pelindo II Cabang Palembang menghentikan pungutan di semua pelabuhan khusus yang ada di wilayah itu. Pelindo II diberi waktu sampai Agustus ini untuk menghentikan kegiatan pungut-memungut itu. Sementara itu, Pemda Sum-Sel tidak mau mengutak-atik pelabuhan umum karena mereka mafhum bahwa pelabuhan umum merupakan aset Pelindo II.
Lain lagi Pemerintah Kota Cilegon, Banten, yang akan membentuk sebuah lembaga yang menangani pengelolaan pelabuhan Cilegon. Untuk itu, pemerintah kota sudah menerbitkan Perda No. 1 Tahun 2001, yang menetapkan bahwa pembinaan kepelabuhanan, penetapan lokasi pelabuhan, dan penetapan rencana induk pelabuhan merupakan kewenangan Pemerintah Kota Cilegon. Pemerintah pusat, menurut perda itu, sesuai dengan otonomi daerah, hanya melakukan pembinaan, penetapan standardisasi, dan membuat kebijakan perencanaan nasional terkait dengan kepelabuhanan.
Menghadapi sikap daerah yang sudah mulai pamer otot itu, Pelindo II tidak mau kalah gertak. Pihak Pelindo II menganggap secara yuridis perda yang dikeluarkan pemda cacat hukum karena bertentangan dengan undang-undang yang ada. Menurut Dirjen Perhubungan Laut Tjuk Sukarman, sebenarnya daerah mesti berpegang pada surat edaran Menteri Dalam Negeri yang menyatakan segala urusan yang tidak didesentralisasi tidak boleh dikeluarkan perdanya. "Mengenai pelabuhan kan tidak sepenuhnya didesentralisasi," katanya.
Kepada pihak pemda, Tjuk berharap agar bisa bersabar. Sebab, peraturan pemerintah yang baru tentang kepelabuhanan masih digodok di Sekretariat Negara. Jika nanti PP-nya sudah keluar, baru bisa diadakan per-temuan segi tiga: Departemen Perhubungan, Pelindo II, dan pemda.
Direktur Utama Pelindo II, Abdullah Syaifuddin, sendiri sebenarnya lebih senang kalau pemda memang terlibat dalam pengelolaan pelabuhan. Namun, karena ada undang-undang yang masih berlaku, hendaknya semua pihak tunduk pada undang-undang tersebut dan tidak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri.
Pihak Pelindo bukan tidak memperhatikan keinginan daerah untuk terlibat dalam pengelolaan pelabuhan. Ada dua pola yang diusulkan Pelindo dalam hal keterlibatan daerah. Pertama, semua Pelindo I, II, III, dan IV dibagi menjadi dua wilayah: barat (Aceh hingga Jawa) dan timur (Bali hingga Irian). Lantas, dibentuk holding dengan melibatkan provinsi. Pemda diajak dalam pengelolaan pelabuhan yang diusahakan, pelabuhan yang tidak diusahakan (pelabuhan kecil atau perintis), serta pelabuhan khusus (untuk perusahaan tertentu).
Untuk itu, ada tiga alternatif skema pe-milikan saham yang ditawarkan, yakni pusat 40 persen, provinsi 25 persen, dan kabupaten 35 persen. Alternatif kedua, 50 persen pusat, 25 persen provinsi, dan 25 persen kabupaten. Dan alternatif ketiga, 60 persen pusat, 15 persen provinsi, dan 35 persen kabupaten.
Pelindo juga mengusulkan agar langsung memberikan 2,5 persen dari keuntungan kepada pemerintah daerah. Tetapi usulan itu belum mendapat tanggapan dari pemerintah pusat sebagai pemegang saham. Padahal, semestinya pemerintah pusat cepat tanggap sehingga tidak sampai keluar perda yang berakibat merugikan pusat.
Hartono, Purwani Diyah Prabandari, Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini