SETIAP tahun Caltex Pacific Indonesia (CPI) menerima ratusan mahasiswa tingkat akhir yang menulis skripsi perminyakan atau magang kerja. Tapi, mulai bulan ini, yang magang bukan cuma mahasiswa, melainkan juga calon-calon manajer dan wakil presiden perusahaan serta calon doktor. Jumlahnya pun tak banyak, cuma 18 orang. Tapi para magang asal Riau itu tahun depan justru yang akan mengambil alih kemudi salah satu blok milik perusahaan asal Houston, Amerika Serikat itu.
Program magang memang salah satu bentuk kesepakatan antara pemerintah pusat, CPI, dan Pemerintah Daerah Riau, antara lain untuk menyudahi rencana ribuan orang Riau yang mengancam memblokade jalan menuju sumur minyak milik Caltex agar tak bisa beroperasi. Tuntutan mereka: Blok Coastal Plains Pekanbaru (CPP)—salah satu blok minyak Caltex—diserahkan kepada Pemda Riau atau diambil alih. Blok itu berakhir masa kontraknya dengan Pertamina pada 8 Agustus lalu. Tapi kesepakatan berupa beberapa kompensasi yang diberikan pemerintah pusat kepada Riau rupanya melumerkan semangat itu.
Rencana blokade total itu adalah buntut dari kegagalan Pemda Riau mendapatkan CPP tahun ini. Kontrak Blok CPP ditandatangani 20 tahun lalu dan berakhir Agustus tahun ini. Meskipun hanya berproduksi normal 10 persen dari total produksi CPI yang rata-rata 700 ribuan barel per hari, CPP sangat menggiurkan. Lapangan ini memiliki infrastruktur yang sangat lengkap, akses yang mudah, dan 306 sumur minyak aktif. Pokoknya tinggal menangguk untung.
Potensi original in place alias jumlah total minyak mentah dari blok yang saat ini luasnya 5.132 kilometer persegi itu mencapai 1,9 miliar barel. Karena sudah terangkat sekitar 850 juta barel, sisanya diperkirakan 331 juta barel. Biaya produksi pun cuma berkisar US$ 1,2-1,6 per barel—termurah di Indonesia. Kantor pusat CPI Sumatra dan segala fasilitas karyawan kelas satu juga terdapat di tempat ini. Kalau pembagian keuangan antara pusat dan daerah diikuti, duduk-duduk saja, Pemda Riau akan menerima US$ 30 juta hanya dari CPP.
Jadi, tak salah, ketika tahun 1997 keluar keputusan Presiden Soeharto yang tak memperpanjang kontrak CPI di CPP, perusahaan minyak dalam dan luar negeri berlomba masuk. Bahkan, rumor sempat menerpa bursa saham. Ketika berembus kabar kelompok usaha Medco milik Arifin Panigoro meneken persetujuan dengan Pemda Riau untuk mengelola CPP, harga sahamnya langsung melejit dari Rp 3.700 menjadi Rp 4.725 per lembar.
Selain Medco, yang lainnya pun menunggu giliran, seperti China Petroleum, Kondur Petroleum milik keluarga Bakrie, Setdco milik Setiawan Djody, dan Pertamina, bahkan Presiden Abdurrahman Wahid (saat itu) di-kabarkan memakai Perta Oil untuk meng-ambil CPP. Menurut sumber TEMPO, Kondur-lah yang paling aktif melobi anggota DPRD Riau untuk mendapatkan CPP.
Yang paling galak siapa lagi kalau bukan Pemda Riau. Menurut Ketua DPRD Riau, Chaidir, selama 50 tahun masyarakat Riau tidak merasakan peningkatan kemakmuran dengan adanya CPI. Karena itu, mereka bertekad mengambi alih. Pertamina menawarkan berbagai pilihan, antara lain empat cara pengelolaan bersama dengan pernyertaan modal. Tapi, ketika tawaran pembagian saham diajukan Pertamina, Chaidir mengaku tak berminat. ”Kami ingin kompensasi, bukan sharing (pembagian) investasi,” katanya suatu ketika.
Riau memang layak iri. Tahun lalu, CPI menyetor sekitar US$ 4,5 miliar (Rp 45 triliun) kepada pemerintah pusat, sementara anggaran pembangunan yang menetes dari Jakarta tak pernah lebih dari Rp 1 triliun. Baru pada tahun ini, Provinsi Riau mendapatkan dana pembangunan Rp 2,3 triliun, dengan tambahan 15 persen dari hasil minyak bumi.
Setahun berselang, Pemda Riau dan Pertamina berunding, tapi tak membuahkan hasil sama sekali. Keduanya tak mau mengalah soal komposisi saham dan bagaimana CPP akan dijalankan. Bahkan, menjelang berakhirnya masa kontrak, perundingan itu tetap macet. Padahal, Pertamina mesti bertindak cepat karena jenis minyak minas light crude yang dihasilkan CPP banyak mengandung parafin, sehingga sekali saja tak beroperasi dan tak mengalir, seluruh minyak dalam pipa akan berubah menjadi seperti lilin alias membeku.
Sampai awal Agustus, tim pansus CPP dari DPRD Tingkat I Riau dan PT Riau Petroleum hanya bolak-balik ke Jakarta—dengan pengeluaran Rp 700-an juta—dan tanpa hasil. Akhirnya, pada 3 Agustus, Presiden Megawati menyatakan setuju memperpanjang kontrak Caltex di CPP selama 12 bulan.
Seolah tak mau mati angin, lewat perusahaan daerah PT Riau Petroleum—antara lain digawangi mantan Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid—tuntutan ganti rugi US$ 26 juta diajukan Riau kepada pemerintah dan Pertamina akibat perpanjangan itu. Angka itu merupakan sepertiga dari keuntungan CPP selama 12 bulan, yang besarnya diperkirakan Pemda Riau sekitar US$ 62 juta.
Dalam pertemuan Selasa pekan lalu di Departemen Energi, pemerintah pusat, CPI, dan Pertamina sepakat memberikan kompensasi kepada masyarakat Riau. Dalam tahap pertama, 18 orang Riau akan ikut dalam program magang di CPP. Tiga di antaranya magang setingkat manajer dan wakil presiden perusahaan, sedangkan yang lainnya diberi beasiswa setingkat master dan doktor di bidang perminyakan. Ada pula suntikan dana pengembangan masyarakat dari Caltex yang jumlahnya hampir US$ 2 juta. Untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan baru, CPI berencana menambah investasi US$ 10 juta guna pengembangan 16 sumur baru, dan US$ 6 juta yang lain digelontorkan untuk 8 sumur yang sudah ada. Investasi itu akan mendongkrak cadangan yang bisa terambil, dari 233 juta barel menjadi sekitar 331 juta barel.
Masih ada yang lain lagi. Menurut Presiden Direktur CPI, Humayunbosha, Caltex juga memberikan gratis sistem komputerisasi CPP senilai US$ 10 juta dan memindahkan turbin serta pembangkit listrik. Untuk dua keperluan itu, kata Bosha, sudah disiapkan dana sekitar US$ 8 juta. ”Kami ingin CPP menjadi blok stand alone yang benar-benar mandiri,” katanya kepada TEMPO. Artinya, seluruh infrastruktur akan dipisahkan dengan tiga blok Caltex yang lain karena selama ini, dengan konsep strategy business unit, Caltex me-nerapkan pengelolaan terpadu.
Tuntutan agar perusahaan membangun pelabuhan Buton di tepi Sungai Siak juga dipenuhi. Untuk pendidikan, Caltex sedang menyelesaikan Politeknik Caltex-Riau senilai US$ 6,4 juta. Cuma, tuntutan pendirian Institut Teknologi Riau hanya dipenuhi dengan bantuan dalam perencanaannya. ”Kami sudah membantu banyak sekali institusi sejenis,” kata Bosha. Alhasil, total dana dari Caltex lebih tinggi daripada tuntutan ganti rugi Pemda Riau.
Menanggapi kesepakatan magang dalam manajemen CPP, Chaidir mengaku puas, sedangkan Gubernur Riau Saleh Djasit kepada TEMPO mengatakan, ”Kesepakatan ini melalui kajian-kajian dan saya kira sudah positif.” Tapi apakah ada jaminan dalam setahun tim Riau akan siap mengambil alih CPP? ”Mungkin ada keraguan, tapi Caltex akan membantu sekuatnya,” kata Bosha.
Semua keraguan itu ditepis pengamat perminyakan Nur Sutan Assin. ”Pertamina pernah mengambil oper semua lapangan Shell di Indonesia tahun 1966, dan tak ada masalah apa pun,” katanya. Malah, ia sedikit menyesalkan perpanjangan satu tahun itu. ”Saya lebih setuju Pertamina mengambil alih sesuai dengan aturan yang ada,” katanya. Soal ke-tidaksetujuan Pemda Riau terhadap Pertamina? Menurut dia, persoalan terbesar CPP adalah ketidakadilan membagi hasil produksi, bukan siapa pengelolanya.
Direktur Manajemen Kontraktor Production Sharing (KPS) Pertamina, Effendi Situmorang, kepada TEMPO mengakui perpanjangan itu cuma sekali ini karena buntunya negosiasi. ”Pertamina sebetulnya siap mengambil ladang migas yang mana saja,” katanya.
I G.G. Maha Adi, Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini