Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramai-Ramai Diskon Pajak

RUU Pengampunan Pajak sedang dimatangkan oleh pemerintah. Perolehan pajak sekitar Rp 4 triliun dinilai terlalu kecil dibandingkan dengan pajak yang dikemplang.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DISKON adalah kiat pedagang agar laris, sekaligus sukses meraup untung. Agak-nya, kiat itu hendak diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak agar bisa menambah jumlah wajib pajak (WP) serta meningkatkan penerimaan negara. Untuk itu, DPR meminta pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak. Sekarang, RUU diskon pajak itu tengah dirancang dan mungkin pada September 2001 baru bisa dibahas di DPR. Menurut Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Pajak Mochammad Soebakir, undang-undang itu nanti akan memberikan pemutihan terhadap kewajiban WP dalam pembayaran pajak 10 tahun terakhir, dari 1991 hingga 2000. Pajak yang lebih dari 10 tahun tidak dibayar dikategorikan kedaluwarsa. Untuk itu, WP diberi batas akhir sampai 31 Desember 2001 untuk meminta diskon. "Bila lewat dari batas akhir, para wajib pajak tak akan mendapat pengampunan dan tetap harus menyelesaikan tunggakannya," kata Mochammad, yang juga Ketua Tim Penyusunan Draft RUU Pengampunan Pajak. Sebagai imbalan agar mau mengajukan pengampunan, WP yang sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) hanya disuruh membayar 10 persen dari jumlah pajaknya, sedangkan WP yang belum memiliki NPWP—diperkirakan jumlahnya 15 juta—dikenai 20 persen. "Diperkirakan, negara akan memperoleh tambahan pemasukan sekitar Rp 4 triliun," kata Mochammad. Permintaan DPR untuk dibuatkan RUU itu, kata Didi Supriyadi, anggota Komisi XI DPR, "Supaya wajib pajak tergugah dan membayar pajaknya." Tujuannya, dalam jangka panjang, justru akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Ia mencontohkan penghuni kawasan Manteng, Jakarta Pusat, yang punya rumah dan mobil yang mentereng. Padahal, katanya, "Berapa pajak yang mereka bayar?" Begitu pula dengan perusahaan. Banyak perusahaan yang tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Caranya, kata Fuad Bawazier, mantan Direktur Jenderal Pajak, adalah dengan tidak melaporkan atau dengan mengecilkan penghasilan, menyunat angka penjualan, ataupun memompa komponen biaya. Bahkan, perusahaan asing juga sering mengemplang pajak. Mereka umumnya selalu melaporkan rugi atau labanya kecil, tapi tak pernah bangkrut. Ketika sahamnya akan dibeli, tidak dikasih. Tapi, saat partner lokalnya mau menjual saham, buru-buru mereka beli. Akibatnya, tingkat kebocoran pajak di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 50 persen. Dengan tingkat rasio pajak sebesar 12 persen dari produk domestik bruto, dan se-tiap persennya senilai dengan Rp 12,5 triliun, potensi pajak tiap tahunnya rata-rata Rp 150 triliun saja. Ini berarti, "Pajak yang tidak tertagih setiap tahunnya Rp 150 triliun," papar Fuad. Memang, potensi kebocoran akan selalu ada. Amerika Serikat, misalnya, mencatat kebocoran sekitar 15 persen dari total pajak yang terjaring. Tapi, di Indonesia, pajak yang menguap, sebesar Rp 150 triliun, tidak sebanding dengan pajak yang akan diperoleh dari pengampunan, yang hanya Rp 4 triliun. Apalagi uang sebesar itu tidak bisa meningkatkan rasio pajak. Untuk itu, rasio pajak Indonesia masih bisa digenjot setidaknya hingga 18 persen. Caranya dengan menekan tingkat kebocoran hingga 25 persen. "Dengan seperempat saja yang tertagih, tambahan dari pajak diperkirakan bisa mencapai Rp 75 triliun," Fuad menambahkan. Untuk menekan tingkat kebocoran, Fuad berpendapat, diperlukan sistem pengumpulan pajak yang final. Artinya, pertemuan antara petugas pajak dan WP dihindari. Ini seperti sistem pengumpulan pajak penghasilan deposito: bank yang bersangkutan langsung memotong pajak deposan sebesar 20 persen. Sistem itu juga memberikan kepastian penerimaan dan kepastian hukum sehingga mudah dikalkulasi. Hal senada dikatakan oleh M. Rozikun, konsultan pajak. Menurut dia, "RUU itu makin memberikan kelonggaran untuk tidak membayar pajak bagi para wajib pajak." Dengan tidak adanya pengampunan pajak, kemungkinan pendapatan pemerintah dari pajak akan lebih besar. Bagaimana dengan pengusaha? "Biasa saja," kata Benny Sutrisno, pengusaha tekstil. Yang menarik adalah senda-guraunya yang menyebutkan bahwa uang pengusaha yang diserahkan ke petugas pajak juga harus dipajaki. Nah, yang dipajaki itu uang pembayaran pajak atau uang suap? Sebab, kalau itu uang suap, kasusnya sudah tergolong pidana, dan pengusaha yang bersangkutan juga terkena. Agus S. Riyanto, Dewi Rina Cahyani, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus