Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Angin desember buat danamon & summa

Pemerintah mulai merealisasikan rencana penyimpanan dana bumn di bank swasta. taspen berniat membeli sejumlah saham danamon. bank summa mendapat dana dari pemerintah. dana bumn di swasta masih kecil.

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA hal dari Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 alias Pakto, yang kian jarang dibicarakan orang: tentang penempatan dana BUMN di bank swasta nasional yang tergolong sehat. Mungkin, kalau saja beleid yang satu ini jalan, tak akan ada cerita tentang bank yang kelabakan karena kesulitan likuiditas. Maklum dana yang dihimpun sekitar 200-an BUMN bukan uang berjumlah kecil. Sebagai gambaran, bandingkan saja angka deposito milik perusahaan negara di berbagai bank. Di bank swasta, misalnya, deposito milik BUMN (per Mei lalu) baru Rp 21 milyar. Di bank pemerintah, dalam periode sama, dana BUMN mencapai Rp 2.841 milyar, alias 135 kali. Nah, cerita tentang penempatan dana BUMN ini, pekan lalu, kembali dibicarakan dalam kalangan terbatas. Pasalnya, Menteri Keuangan Sumarlin bermaksud merealisasikan misi Pakto yang nyaris terlupakan itu. Yang terpilih, kabarnya, adalah Bank Danamon. Di penghujung tahun lalu, Departemen Keuangan menurunkan dua surat persetujuan untuk PT Taspen. Surat yang pertama, 8 Oktober 1990, menyatakan pemerintah tak keberatan jika Taspen mencairkan sertifikat BI yang dimilikinya. SBI senilai sekitar Rp 332,4 milyar tersebut berasal dari dana pensiun. Poin selanjutnya, masih dalam surat yang ditandatangani oleh Dirjen Moneter, atas nama Menkeu, adalah: penempatan dana yang berasal dari pencairan SBI, agar disesuaikan dengan SK Menteri Keuangan No. 1070/KMK.00/1988, 27 Oktober 1988. Dengan kata lain, dana tersebut, sesuai dengan SK Menkeu, boleh ditempatkan di bank swasta. Dengan syarat, bank yang bersangkutan sehat dan bonafide. Surat tersebut belum menjelaskan dengan rinci, bank swasta mana yang berhak atas dana milik Taspen. Keadaan menjadi lebih terang, ketika surat susulannya, yang diteken langsung oleh Sumarlin, turun pada 14 Desember 1990. Kepada Direksi Taspen, Menteri menyatakan bahwa pemerintah menyetujui jika Taspen berniat membeli 22.400.000 lembar saham Danamon dengan harga Rp 9.000 per lembar. Artinya, kalau itu terlaksana, Danamon akan mendapat dana encer tak kurang dari Rp 201,6 milyar. Yang belum jelas adalah saham siapa yang akan dibeli Taspen. Yang di bursa? Rasanya tak mungkin. Sebab yang dijual Danamon di pasar modal hanya 12 juta saham. Yang agaknya mungkin adalah saham Usman sendiri, karena dia memiliki lebih dari 88% saham Danamon. Atau, Danamon akan menerbitkan saham baru? Ketika soal pembelian saham ini ditanyakan kepada Usman Admajaya, Presiden Komisaris Danamon, ia mengatakan belum tahu saham Danamon yang di bursa akan dibeli Taspen. Tapi, saya tidak tahu betul. Itu kan urusan direksi, sedangkan saya di Danamon sebagai komisaris," katanya. Suara senada diucapkan oleh Jusuf Arbianto Tjondrolukito, Direktur Pelaksana Bank Danamon. Kata dia, sekalipun sampai 22,4 juta lembar lebih saham Danamon yang dibeli Taspen, itu wajar. Sebab, toh Danamon terhitung bank yang sehat. Perkara harganya terhitung murah (cuma Rp 9.000 per lembar, sedangkan harga di bursa kini tercatat Rp 9.700 per lembar), itu pun tak aneh. "Kalau belinya dalam jumlah besar, kan bukan tak mungkin ada diskon. Pokoknya, kami sih senang-senang saja kalau saham Danamon ada yang borong," kata Jusuf. Jusuf juga membantah suara-suara yang menuding Bank Danamon pernah dililit kesulitan likuiditas. Sebab, ketika ada yang meniup isu bank ini akan oleng (Agustus tahun lalu) banyak nasabah yang menarik depositonya. Waktu itu, kata dia, antrean nasabah yang menarik deposito memang cukup panjang. Tapi, jumlah dana yang ditarik hanya yang kecil-kecil. Dan karena Danamon termasuk bank yang sangat sehat -- pernyataan ini diperkuat oleh Menteri Keuangan Sumarlin -- "Penarikan deposito itu bisa kami atasi sendiri, tanpa harus mengetuk discount window-nya BI," ujarnya. Makanya, karena sehat, tidak perlu aneh kalau dana pihak ketiga -- yang dihimpun Danamon -- muncul dari berbagai kalangan usaha. Tidak terkecuali BUMN, yang menurut Jusuf tidak hanya Taspen yang menyimpan uangnya di Danamon, tapi ada juga beberapa BUMN lainnya. Jadi, "Pembelian saham Taspen oleh Danamon itu benar-benar pure business," kata Menteri Sumarlin di DPR, Senin pekan ini. Sementara itu, ada pula cerita tentang bank swasta lain yang cukup terkenal: Summa. Bank itu, yang kini menduduki peringkat ke-10 di kalangan perbankan swasta nasional, harus menghadapi angin isu yang cukup santer belakangan ini. Isu pertama muncul dari Summa Handels Bank (salah satu anak perusahaan Summa Group di Dusseldorf, Jerman). Menurut yang empunya isu, bank ini pusing karena kalah bermain Valas sampai senilai Rp 200 milyar, konon. Menyusul setelah Summa Handels Bank adalah kabar tentang keluarnya salah satu anggota direksi yang paling menentukan di Grup Summa. Konon, yang keluar ini telah menyebabkan Summa tekor sampai ratusan milyar rupiah. Dan isu terakhir, yang tak kalah serunya, tentang penarikan deposito di Bank Summa, yang jatuh tempo per Desember 1990. Kata sebuah sumber, akibat dari penarikan itu sangat berpengaruh pada perkembangan Bank Summa, karena jumlahnya yang tidak kecil, sekitar Rp 30 milyar. Benarkah? "Semuanya hanya isapan jempol," Aninda Sardjana, Direktur Treasury Bank Summa, membantah. Dia mengakui, di bulan lalu, ada deposito sebesar Rp 30 milyar yang jatuh tempo, "Tapi itu bisa kami atasi sendiri," katanya. Akan halnya isu di Summa Handels Bank Jerman, Aninda juga membantah. Kata dia, seluruh omset Summa Handels Bank saja (dalam bentuk Valas), sampai saat ini baru berkisar Rp 200 milyar. Jadi, "Kami belum berani main," katanya. Kabar yang benar, Aninda melanjutkan, adalah pergantian direksi di Summa Handels Bank. Dan ini, kata dia, tak berbeda dengan proses pergantian salah seorang direksi Summa Group di Jakarta. Soal biasa. Memang, logisnya, tak ada asap kalau tak ada api. Begitu pun isu yang menyerempet Summa. Sumbernya, barangkali, adalah droping dana sebesar Rp l00 milyar oleh para pemegang sahamnya sendiri, termasuk William Soeryadjaya. Itu terjadi pada Desember lalu. Tapi, kata Aninda, itu bukan berarti banknya sedang mengalami kesulitan likuiditas. "Karena perkembangannya sangat positif, kami berniat meningkatkan equity menjadi Rp 200 milyar, sebelum Juni l991," ujarnya. Sementara, akhir tahun lalu, bank ini tercatat memiliki modal sendiri sebesar Rp 163 milyar. Toh sebuah sumber di Departemen Keuangan beranggapan bahwa Bank Summa ditopang dana dari pemerintah juga. Alkisah, masih pertengahan Desember lalu, PT Perintis Cemerlang -- yang dipimpin langsung oleh William Soeryadjaya --menjual 50 lembar obligasi senilai Rp 50 milyar kepada PT Danareksa. Konon, penjualan obligasi ini akan terus berlanjut hingga nencapai nilai Rp 200 milyar. Kalau benar begitu, dari mana Danareksa mendapat dana untuk pembeli obligasi tersebut? Kabarnya, itu sekadar merupakan bridging financing untuk PT Danareksa senilai Rp 200 milyar, yang disetujui oleh Menteri Sumarlin. Dana tersebut diambil dari Rekening Dana Investasi pemerintah, yang biasanya hanya dipinjamkan kepada BUMN-BUMN. Syaratnya cukup lunak, dengan jangka pinjaman lima tahun. Danareksa pun hanya dikenakan biaya administrasi 9% per tahun, ditambah commitment charge 0,25% setahun. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Bambang Aji, Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus