"KALAU tak ada Gudang Garam, Kediri gelap dan tak punya pamor." Kiai Machrus Ali (almarhum), pemuka agama terkemuka Jawa Timur dan pemimpin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, tentu tak sembarang omong. Pabrik rokok raksasa, yang berdiri kukuh di areal seluas 269 hektare di jantung kota, itu memang "pelita"-nya Kediri. Dengan karyawan 48 ribu, dan aset di atas Rp 1,25 trilyun, praktis GG merupakan urat nadi Kediri. Andai kata seorang karyawan GG menghidupi lima anggota keluarganya, boleh dibilang, seluruh penduduk Kediri -- yang berjumlah 230 ribu jiwa -- menggantungkan hidup pada asap rokok GG. Pendapatan domestik bruto regional Kediri, dua tahun lalu, adalah Rp 979,9 milyar, nomor empat di Ja-Tim, dan 75% mengepul dari GG. Pada 1989, pembelian pita cukai GG mencapai Rp 431 milyar, atau 28% dari pembelian cukai seluruh pabrik rokok di Indonesia. Angka ini naik pada 1990. Selama sembilan bulan pertama, GG sudah memproduksi 40,6 milyar batang dan membeli pita cukai Rp 522 milyar. Atau 34% dari pembelian cukai seluruh pabrik rokok. Industri "asap" dari Kediri itu memang berkembang pesat sejak dirintis Surya Wonowidjojo (almarhum) pada 1958. Djarum dari Kudus juga bersaing ketat dengan GG. Tahun lalu, mereka memproduksi 33,5 milyar batang sigaret kretek mesin (SKM) dan menyedot 32 ribu tenaga kerja. Di bawah dua raksasa tadi, ada Bentoel yang punya 18 ribu buruh. Perusahaan rokok Malang itu, pada 1989 saja, membayar cukai Rp 182 milyar. Saingannya adalah PT Sampoerna, diam-diam juga menanjak pesat. Dua tahun lalu, cukai yang mereka setorkan cuma Rp 68,3 milyar, lalu melejit jadi Rp 75 milyar tahun kemarin. Sampoerna kini punya buruh sekitar 12 ribu orang. PT Nojorono di Kudus termasuk yang lumayan dalam pembelian cukai. Dua tahun lalu, Nojorono masih membeli pita cukai seharga Rp 22 milyar. Menurut catatan Gappri, pabrik rokok di bawah naungan organisasi ini memproduksi 127 milyar batang rokok. Tenaga kerja tetap yang diserap adalah 125 ribu orang. Kepulan asap para perokok itu menghasilkan cukai ke kas pemerintah sebesar Rp 1,77 trilyun. Ditambah berbagai macam pajak, di antaranya PPN dan PPh, dana yang mengucur dari industri rokok sudah Rp 3 trilyun lebih. Yang paling penting, industri kretek -- yang hampir seluruhnya bernaung di bawah Gappri -- menyerap 80 ribu ton cengkeh per tahun. Produksi cengkeh selama panen raya mendatang, biasanya Februari, ditaksir akan mampu mengumpulkan 100 ribu ton. Sebanyak 80% dari jumlah itu, biasanya, diserap oleh pabrik rokok kretek. Belakangan ini, mereka tampil sebagai penyumbang pajak besar andalan Pemerintah. Dengan peran seperti itu, wajar kalau Gappri agak "sewot" tak ikut menentukan tata niaga cengkeh baru, yang sepenuhnya dijalankan BPPC. Padahal, sebelum ini, Gappri diminta memberikan konsep dan pemikiran tentang tata niaga yang baru. Bahkan, kata Ketua PB Gappri Soegiharto Prayogo, Gappri tak pernah diberi tahu adanya SK Menteri Perdagangan No. 306 tahun 1990, yang efektif berlaku 1 Januari 1991 itu. "Ini kan aneh," katanya. Bisa dimengerti bila Bambang Soelistyo, salah seorang pengurus PB Gappri, menilai SK Menteri Perdagangan tadi sebagai, "Langkah mundur pemerintah dalam mengurus tata niaga cengkeh." Padahal, dalam konsep tadi, Gappri memberi ancarancar harga yang mampu dibeli oleh pabrik rokok adalah Rp 9.500 per kilogram. Itu pun terbatas bagi anggota yang terbilang mampu. Angka ini memang di atas harga dasar pembelian KUD ke petani, yang ditetapkan pemerintah, Rp 6.500 dan harga dasar lelang Rp 7.000 sekilo. Namun, bagi petani, harga Gappri itu memang kalah menarik kalau janji BPPC -- akan membeli cengkeh di atas Rp 10.000 sekilo -- kelak dipenuhi. Bahkan, Ketua BPPC Tommy Soeharto tak menutup kemungkinan akan membeli cengkeh seharga Rp 13.000 sekilo. Ya, petani cengkeh mana yang tak tergiur. Tommy juga membantah bahwa pihaknya tak mengajak Gappri untuk duduk dalam BPPC. Juga dengan BCN (Badan Cengkeh Nasional), yang fungsinya mengawasi dan membina pelaksanaan tata niaga cengkeh, dan terdiri dari unsur pemerintah, kalangan dunia usaha, plus lembaga lain yang dianggap perlu. Yang juga duduk dalam BCN adalah PT Kembang Cengkeh Nasional. Itulah konsorsium lima swasta: Bina Reksa Perdana, Sinar Agung Utara, Agro Sejati Bina Perkasa, Wahana Dana Lestari, dan Rempah Jaya Makmur. Di mana tempat Gappri? "Sampai sekarang pun, kami masih membuka peluang untuk keikutsertaan Gappri," ujar Tommy, yang juga pimpinan Bina Reksa Perdana. Namun, Gappri sudah tegas menolak duduk dalam BCN. "Badan itu bersifat monopoli," kata Sekjen Gappri Djuffan. Sikap Gappri selanjutnya, Djuffan melanjutkan, akan menolak jika diminta untuk membeli atau mengambil stok cengkeh BPPC. Stok itu sekitar 85 ribu ton, berasal dari BRP 62 ribu ton dan dari BUMN PT Kerta Niaga 23 ribu ton. "Soalnya, Gappri masih punya stok cengkeh setahun," ujar Djuffan. Menurut sumber lain, saat ini stok milik Gappri di kantung-kantung perusahaan rokok anggotanya mencapai 90 ribu ton. Bagaimana kalau stok habis? "Karena itu keputusan pemerintah, ya kami akan beli pada BPPC. Tapi, harga yang mampu dipikul pabrik rokok maksimum Rp 9.500 franko pabrik," kata Djuffan lagi. Untuk perusahaan rokok besar, stok diperkirakan tahan untuk satu tahun. Yang kasihan adalah perusahaan rokok "gurem" yang cadangan cengkehnya cuma 1-3 bulan. Setelah itu? "Kalau ternyata harga BPPC sampai Rp 9.500, saya lebih baik tutup dan modalnya saya simpan di bank," kata Gani Sandjaja, pemilik perusahaan Sinar Surya Abadi, produsen rokok cap Mangga. Menurut Gani, pabriknya mampu beli cengkeh paling tinggi Rp 8.000 sekilo. Dan sejak empat bulan lalu, produksi rokok Gani anjlok 50%. "Kami kalah bersaing dengan perusahaan rokok besar yang memproduksi rokok Rp 300 sebungkus," katanya. Sebelumnya, mereka mampu melinting 2,4 juta batang sebulan dengan 40 orang karyawan. Sebuah pabrik dengan 120 karyawan dan produksi 200 ribu batang sehari juga ketar-ketir. "Sulit kalau saya diminta beli cengkeh secara kontan," ujar pemilik pabrik, yang enggan disebut namanya. Biaya pembelian cengkeh mewakili 25% dari total biaya produksinya. Ternyata "empat besar" di Jawa Tengah: Djarum, Nojorono, Jambu Bol, dan Sukun juga melihat lahirnya BPPC bikin susah. Apalagi, "Produksi kami enam bulan ini turun tujuh persen, padahal targetnya naik enam persen," kata seorang dari empat besar tadi. Tahun lalu, produksi empat besar itu adalah 49 milyar batang. Faktor penyebabnya, kata sebuah sumber TEMPO, adalah kenaikan PPN dari 7,7% menjadi 8,2%. Di samping juga, bahan baku impor, seperti saus, kertas, dan filter naik antara 10 dan 20%. Faktor lain, tentu saja, persaingan dengan perusahaan rokok lain. Bambang Soelistyo melihat dengan lahirnya BPPC -- yang berarti harga cengkeh akan lebih mahal bagi pabrik rokok -akan mendorong diproduksinya rokok putih lebih banyak. Berarti, pemodal rokok putih yang kuat-kuat dari luar akan masuk, "Lalu mematikan pabrik rokok kretek yang ada di sini," ujarnya. Masalahnya, produksl rokok putih tak ada yang dijalankan tangan manusia, tapi serba mesin. Ini akan mengurangi penyerapan buruh. Upaya lain pabrik rokok, kalau harga cengkeh naik, adalah menaikkan harga jual. Tapi kalau harga naik, daya beli juga akan turun. "Yang akan terpukul lebih dulu adalah pabrik kecil dan menengah. Bank juga ikut terpukul karena industri rokok erat kaitannya dengan bank," ujar seseorang di Gappri. Menurut Ketua Gappri Soegiharto, kalau harga cengkeh BPPC nanti Rp 9.500, sekitar 20% dari 120 pabrik anggota Gappri akan tamat riwayatnya. Di luar Gappri, 50% pabrik akan mati. Yang akan bertahan, tentu, lagi-lagi yang "kakap". Antara lain, karena diversifikasi usaha yang telah dilakukan. GG misalnya, sudah mulai punya hotel dan bank. Begitu juga Sampoerna. Bahkan, dari keuntungan rokok yang begitu besar, GG rajin membina kegiatan olahraga. Di Kediri, mereka punya gedung tenis meja modern dan persatuan tenis meja Sanjaya, begitu juga klub basket Halim. Bentoel Malang punya klub sepak bola Galatama. Djarum Kudus dikenal sebagai gudang pemain bulu tangkis andal, dan punya program pelatihan tercanggih di Indonesia. Masalahnya, tata niaga cengkeh baru tadi tentu tak harus mematikan yang besar dengan harapan mengangkat penghasilan petani cengkeh. Apalagi, seperti kata Menteri Perdagangan Arifin Siregar, perencanaan penanaman cengkeh yang "amburadul" ikut ambil bagian dalam urusan kelebihan pasokan ini. Tapi, benarkah sistem tata niaga yang baru tak akan menyudutkan "pemain-pemain" cengkeh? Ini yang masih harus ditunggu. Toriq Hadad, Bambang Aji, Zed Abidien, Jalil Hakim, dan Bandelan Amaruddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini