KENDATI harga minyak "sedang membaik", pemerintah tetap tak mau mengandalkan si emas hitam sebagai primadona pendapatannya. Tumpuan harapan tetap pada pendapatan di luar migas, yang terdiri dari berbagai pajak, cukai, bea masuk, dan penerimaan bukan pajak. Untuk empat jenis pajak yang ditangani oleh Ditjen Pajak, misalnya. Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, PBB, dan Pajak lainnya dianggarkan akan menghasilkan pemasukan sekitar Rp 17,43 trilyun, atau naik 22,4% dibandingkan dengan APBN yang sedang berjalan. Ini berarti, setiap harinya, pasukan Ditjen Pajak harus mampu mengumpulkan uang pajak sebesar Rp 58,1 milyar -- ini jika dibagi dengan 300 hari kerja. Tak pelak lagi, itulah sebuah gambaran tentang kerja keras. Maklum, di tahun anggaran berjalan, kendati membanting tulang, perolehan dari pajak tampaknya hanya pas-pasan saja. Dari target Rp 14,2 trilyun, realisasinya diperkirakan akan mencapai Rp 14,5 trilyun. Naik, tapi tidak banyak. Padahal, seperti pernah diakui Dirjen Mar'ie Muhammad, penarikan pajak di tahun lalu sudah habis-habisan. Nah, lantas bagaimana dengan target 1991-92 yang direncanakan jauh lebih tinggi? "Saya yakin akan tercapai, asal beberapa syarat bisa terpenuhi," kata Mar'ie. Syarat yang dimaksud, misalnya, aparat pajak mau tidak mau harus bekerja lebih keras lagi. Tidak perlu over acting, ujarnya. Di samping itu, ekstensifikasi harus tetap dilakukan. Langkah ini bukan berarti menambah obyek pajak, tapi menambah jumlah wajib pajaknya. Hanya saja, kendati Mar'ie bersikap optimistis, tetap saja banyak orang yang mempertanyakan melambungnya target pajak kali ini. Soal PPN, PPh, dan pajak ekspor, misalnya. Resesi yang terjadi di negara-negara importir plus sikap proteksi yang semakin diperketat -- seperti yang dilakukan Amerika -- jelas akan menjadi penghambat utama bagi aparat pajak dalam mencapai target. Dalam kondisi seperti itu, dengan sendirinya, tingkat produksi akan mengendur. Dan berarti, pembayaran pajak oleh sektor swasta akan berkurang. Akan halnya PBB, lain lagi persoalannya. Tentang pajak yang satu ini, tanggapan yang diberikan para pengamat ekonomi justru sebaliknya. Mengapa PBB dipatok begitu rendah (Rp 838,8 milyar)? Padahal Indonesia berwilayah luas. Bahkan, di beberapa kota besarnya, gedung-gedung jangkung -- sebagai sumber potensial bagi PBB -- sudah bukan barang aneh lagi. Untuk semua pertanyaan itu, Mar'ie menjawab dengan santai. Ia mengakui bahwa potensi pendapatan di sektor pajak masih sangat besar. Untuk mengutipnya, dibutuhkan waktu yang cukup panjang, kendati kesadaran para wajib pajak terus membaik. "Ini bukan kalimat pembelaan," ia mencetuskan. "Negara-negara maju, untuk memapankan sektor perpajakannya, membutuhkan waktu beratus tahun. Sedangkan di Indonesia, pajak kan baru digalakkan sepuluh tahun belakangan ini," kata Mar'ie lagi. Setelah pajak, yang juga menjadi andalan penerimaan di luar migas adalah bea masuk dan cukai (Rp 4,8 trilyun). Target bea masuk, yang dianggarkan naik 30,5% (menjadi Rp 2,57 trilyun), tampaknya tidak ada masalah. Sebab, dengan membaiknya iklim investasi, diperkirakan akan lebih banyak lagi barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. Apalagi inflasi -- yang terjadi di negara-negara asal barang -- menyebabkan harga barang-barang impor tersebut semakin menaik, yang dengan sendirinya akan pula menaikkan pendapatan bea masuk. Untuk meyakinkan akan suksesnya pemerintah dalam menarik bea masuk di tahun depan, Dirjen Bea & Cukai Sudjana Surawidjaja merujuk pada keberhasilannya di tahun anggaran berjalan ini. Kata dia, hingga akhir Desember 1990, 80% target bea masuk telah tercapai. "Padahal, kan masih ada waktu tiga bulan lagi," ujarnya. Tapi lain dengan cukai. Sudjana tampak bersikap konservatif. "Penerimaan cukai tampaknya akan pas-pasan," ujarnya. Salah satu alasannya, cukai gula -- yang dikelola oleh Bulog -banyak yang dibebaskan. Entah kenapa. Nah, kalau sudah begitu, berarti pendapatan cukai akan sangat mengandalkan sektor rokok. Dari tiga pemasok besar (Jarum, Gudang Garam, dan Bentoel), rokok menyumbangkan 93% dari total cukai yang dikutip pemerintah. Akankah angka itu bisa tercapai, sedangkan pemerintah baru saja membuat regulasi di sektor perdagangan cengkeh? Yang artinya, seperti dikemukakan oleh beberapa pengusaha rokok, akan mengakibatkan kematian bagi pabrik-pabrik rokok kecil. Sebab, dengan dipegangnya tata niaga cengkeh di satu tangan (BPPC), diduga harga cengkeh akan menjadi sangat mahal. Menurut seorang pejabat di Ditjen Bea & Cukai, keadaan ini -kalau benar terjadi -- akan menurunkan pendapatan pemerintah dari cukai. Tapi tidak banyak. Soalnya, yang terbanyak menyumbang cukai adalah pabrik-pabrik rokok besar. Jarum, Gudang Garam, Bentoel, dan Sampoerna, menyumbang 80% cukai, konon. Artinya, porsi pabrik-pabrik kecil hanya 13%. Tapi, tampaknya, Dirjen Sudjana tidak gentar menghadapi kenyataan tersebut. Ia yakin, pasar yang kelak ditinggalkan oleh pabrik-pabrik kecil akan segera diisi oleh pabrik besar. Dengan demikian, bukan mustahil, pendapatan cukai malah menaik. Sebab, sesuai dengan peraturan yang berlaku, pabrik besar dikenai cukai di atas 30% dari harga banderol. Sedangkan cukai pabrik kecil hanya 2,5%. Budi Kusumah, Sri Pudyastuti R, dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini