LEWAT sudah, hari-hari berat buat para menteri kita. Terutama mereka yang ikut sibuk berkutat dengan angka-angka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1991-92. Senin pekan ini, seperti biasa di awal tahun, Presiden Soeharto menyampaikan rancangan undang-undang itu kepada sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat. Dari pidato Presiden yang disampaikan sebagai keterangan pemerintah tentang RAPBN itu, tergambar betapa peliknya situasi. Penyusunan RAPBN kali ini memang ekstra-sulit. Kendati sektor migas tidak lagi merupakan sumber utama pendapatan pemerintah, perannya masih sangat menentukan. Di tengah sas-sus bahwa harga patokan minyak akan bergerak di antara US$ 20 dan US$ 21 per barel, harga US$ 19 yang dipasang pemerintah terkesan penuh keprihatinan. "Pemerintah menganggap tingkat harga itu realistis dan aman," kata Pak Harto dalam pidatonya. Itu pun masih ada rasa dag-digdug. "Bagaimana kalau tiba-tiba perang meletus, sehari menjelang pidato. Bisa puyeng kita," kata Menteri Negara Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Saleh Afiff, berkelakar. Ternyata, hingga Senin pekan ini -- delapan hari menjelang deadline krisis Teluk -- semua aman-aman saja. Dan memang skenario dibikin untuk masa damai. Jika perang terjadi, tak seorang pun sanggup meramal, akan bagaimana wajah perekonomian dunia dan Indonesia. "Meskipun minyak naik, kita akan lebih sengsara. Jadi, lebih baik damai," Afiff menambahkan. Dengan patokan US$ 19 per barel, banyak orang menilai RAPBN kali ini cukup konservatif. Berjumlah Rp 50,555 trilyun, RAPBN ini lebih besar hampir 18 persen dibanding APBN 1990-91 yang sedang berjalan. Repotnya, pengeluaran rutin yang besar tampak masih tak terelakkan. Terutama untuk membayar cicilan utang dan bunga yang direncanakan Rp 14,3 trilyun lebih, hampir separuh dari seluruh pengeluaran rutin yang dianggarkan (Rp 30,5 trilyun). Kendati angka sudah mencapai Rp 50 trilyun lebih, pemerintah tetap berusaha agar pengeluaran rutin tidak terlampau besar. Dalam pidatonya, Pak Harto meminta pengertian Pegawai negeri dan ABRI, karena gaji mereka belum dapat dinaikkan. "Dananya memang tak ada," kata Menteri Keuangan Sumarlin, dalam konperensi pers Minggu lalu, di depan pimpinan media massa. Bila dihitung-hitung, tiap kenaikan gaji sebesar sepuluh persen, pemerintah paling tidak harus menyiapkan dana Rp 1,2 trilyun. Sementara itu, untuk gaji dan pensiun tahun anggaran mendatang, pemerintah cuma berani mencadangkan Rp 7,7 trilyun lebih, Rp 800 milyar lebih besar dibanding anggaran sekarang. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak, sementara sumbersumber lain belum terlalu bisa diandalkan -- selain pajak yang ditargetkan naik hampir Rp 2,5 trilyun -- maka wajarlah bila soal gaji itu diperhitungkan masak-masak. Soalnya, sekali gaji dinaikkan, pemerintah tentu tak bisa menurunkannya. Bahkan kemungkinan gaji ketiga belas pun belum dapat dijanjikan. Seorang menteri menjelaskan, sebenarnya ada pemikiran ke arah itu. Tapi bonus itu baru bisa muncul kalau patokan harga minyak dipasang pada harga US$ 21 per barel. "Karena sekarang kita pakai 19, ya tidak dijanjikan gaji ketiga belas," katanya bersahaja. Lantas, bagaimana dengan pengeluaran untuk pembangunan? Ada kenaikan 23 persen dibanding anggaran lama. Pemerintah merencanakan akan membelanjakan Rp 19,9 trilyun lebih, sepanjang tahun anggaran 1991-92. Di sini pemerintah masih memberikan prioritas pada lima sektor yang dinilai terpenting: perhubungan dan pariwisata, pertanian dan pengairan, pendidikan, pertambangan dan energi, pembangunan daerah desa dan kota. Selain itu, ada semangat pemerataan yang tecermin dari semakin besarnya bantuan pemerintah untuk pembangunan di daerah -- lebih populer disebut Inpres. Peruntukannya secara fisik seperti biasa lebih menonjol pada pembangunan prasarana, jalan, umpamanya. Tapi Inpres gedung sekolah tak terlalu dominan lagi, karena sasarannya dialihkan pada peningkatan mutu kesehatan dan pendidikan. Pada RAPBN 1991-92 ini, Inpres akan digenjot menjadi Rp 3,2 triyun lebih. Selain itu, daerah juga akan mendapat jatah sebesar 80 persen dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang nilainya sekitar Rp 750 milyar. Total, ada Rp 4 trilyun dana pembangunan yang akan mengalir ke daerah. "Itu jumlah yang cukup besar," Saleh Afiff menekankan. Kelegaan lain juga muncul dari anggaran pembangunan, jika kita melihat dari mana sumbernya. Kali ini, sumbangan sumber dana dalam negeri cukup besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tak kurang dari Rp 9,6 trilyun dari pengeluaran pembangunan dibiayai sendiri oleh pemerintah. Ini hampir separuh. Baru sisanya ditutup dengan utang dari luar negeri. Gambaran ini akan lebih jelas jika melihat anggaran lama. Dari Rp 16,2 trilyun lebih pengeluaran pembangunan, cuma Rp 4,9 trilyun yang berasal dari uang pemerintah sendiri. Harus diakui, dalam APBN, memang agak susah mengetahui berapa utang dan berapa duit pemerintah yang digunakan untuk membiayai pembangunan. Mungkin untuk membuat persoalan menjadi agak teknis, APBN kita menggunakan istilah Penerimaan Pembangunan untuk utang dari luar negeri yang kita terima. Sementara duit pemerintah sendiri disebut Tabungan Pemerintah. Tabungan ini didapat setelah seluruh penerimaan dalam negeri -- pajak, hasil minyak, dan sebagainya -- dikurangi dengan seluruh pengeluaran rutin. Tadinya patokan pemerintah untuk APBN 1990-91 cuma berani pada harga US$ 16,5 per barel sebagai pedoman harga minyak, dalam realisasinya harga rata-rata minyak selama setahun diperkirakan mencapai US$ 21 per barel. Gampang dihitung, ada rezeki di sini, meskipun harus dipotong subsidi BBM yang juga membengkak sejalan dengan melambungnya harga minyak. Bonus minyak ini lumayan, diperkirakan Tabungan Pemerintah untuk anggaran berjalan akan bertambah menjadi sekitar Rp 7,5 trilyun. Jelas, ada dana lebih yang bisa dialokasikan untuk pembangunan. Itu sudah nampak dari rencana pengeluaran pembangunan, yang diperkirakan akan tiga trilyun lebih besar dari yang dianggarkan. Toh Menteri Sumarlin mengaku masih belum berani mengalokasikannya. Apalagi untuk membayar gaji ketiga belas. "Kita masih harus menunggu sampai Maret," katanya menyabarkan. Selain gaji pegawai negeri, hal lain yang juga merupakan tanda tanya besar ialah Kebijaksanaan Uang Ketat. Apakah policy yang membikin lesu dunia usaha bisa segera sirna, begitu tahun fiskal 1990-91 berakhir? Dari RAPBN bisa dilirik, orang masih harus menghadapi ketatnya duit. Apalagi Pak Harto sendiri menegaskan, "Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal harus merupakan dua tonggak yang saling mendukung dalam pengelolaan ekonomi kita." Jadi, bank yang kini megap-megap mungkin akan terus begitu sampai beberapa waktu lagi. Sementara itu, bisa dilihat apa yang disebut domestik impact atau dampak dari anggaran untuk ekonomi domestik. Gampangnya, berapa kira-kira uang yang akan dituang pemerintah dari anggaran itu ke dalam negeri. Dihitung-hitung, seluruh uang pemerintah yang dibelanjakan di dalam negeri mencapai Rp 27,4 trilyun lebih. Di sini harus diingat bahwa pemerintah juga menyedot uang masyarakat, lewat pajak, cukai, dan lain-lain. Uang masyarakat yang disedot kembali oleh pemerintah ini dalam anggaran direncanakan berjumlah Rp 25,2 trilyun. Efek penarikan dana ini oleh para ekonom disebut kontraksi anggaran. Kesimpulannya, dampak domestik dari anggaran ternyata cuma Rp 2,2 trilyun. Ada kesan, pemerintah konsisten betul menjaga pasokan uang, agar angka inflasi tetap terkendali. Konsistensi ini pula yang bisa menjelaskan kenapa subsidi BBM terpaksa dibiarkan melambung sampai hampir Rp 1,2 trilyun. Daripada harus menaikkan BBM yang jelas akan memperlaju inflasi, pemerintah tampaknya memilih keluar uang lebih banyak untuk subsidi. Maka, mungkin benar apa yang dikatakan oleh pengusaha kakap Sofyan Wanandi. "Kita harus bekerja lebih keras," katanya. Itu juga yang dipesankan oleh Menteri Radius, agar "tetap waspada dan kerja keras". Implikasinya cuma satu: swasta, yang mendapat peran besar untuk ikut memacu pertumbuhan, masih sulit bergerak di tengah ketatnya likuiditas. Apa boleh buat. Yopie Hidayat dan Bambang Aji TABEL ------------------------------------------------------------- . LIMA SEKTOR DENGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN TERBESAR . (dalam milyar rupiah) ------------------------------------------------------------- . SEKTOR 1990-91 1991-92 Persentase . Kenaikan ------------------------------------------------------------- Perhubungan dan Pariwisata 3.041,6 3.968,2 30,46 Pertanian dan Pengairan 2.391,6 2.815,6 17,72 Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional & Kepercayaan terhadap Tuhan YME 2.065,5 2.502,9 21,17 Pertambangan & Energi 1.973,1 2.446,1 23,97 Pembangunan Daerah Desa & Kota 1.873,2 2.408,6 28,58 ------------------------------------------------------------- . ---------------------------------------------------------- Jumlah bantuan untuk proyek-proyek Inpres, 1987/88-1991/92 . (dalam milyar rupiah) ---------------------------------------------------------- Tahun Inpres Inpres Inpres Inpres Inpres Jumlah . desa daerah daerah S D kesehatan . tingk.II tingk.I 1987/88 102,0 263,0 290,4 193,3 74,0 1.106,3 1988/89 112,0 267,2 334,3 130,5 98,6 1.142,1 1989/90 112,0 270,0 324,0 100,0 122,2 1.241,9 1990/91 180,6 391,8 486,0 369,5 188,6 2.332,0 (APBN) 1991/92 249,9 590,8 594,0 521,7 268,9 3.277,7 ------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini