PARA wartawan Indonesia terdiam ketika Bill Kerr, wartawan
majalah Canegrower (Australia) bertanya, apakah di sini ada
perhimpunan wartawan pertanian. Mereka tidak menduga pertanyaan
itu bakal muncul dalam diskusi yang diselenggarakan dalam
rangka Konvensi Persatuan Wartawan dan Penulis Pertanian Asia
(AAJWA) VI di hotel Sahid Jaya, Jakarta, akhir bulan lalu.
Segera D.H. Assegaff tampil. "Perhimpunan seperti itu sudah ada
sejak 10 tahun lalu," kata Assegaff, Sekretaris Jenderal PWI
Pusat itu sambil menunjuk F. Harsono -- wartawan KNI, yang duduk
di sebelah kirinya -- sebagai ketuanya. Dalam konvensi-konvensi
sebelumnya, Harsono yang biasa meliput berita di Departemen
Pertanian itu mewakili Indonesia.
Tapi pernyataan juru bicara delegasi tuan rumah itu membuat para
wartawan Indonesia yang hadir saling berbisik: mana ada?. Mereka
juga baru tahu, hari itu, bahwa Harmoko -- bekas Ketua PWI Pusat
yang kini menjadi Menteri Penerangan -- diangkat sebagai
presiden AAJWA dalam konvensi V tahun lalu di Pakistan.
AAJWA (Asian Agriculturai Journalists and Writers Association)
sendiri dibentuk pada 1974 di Jepang oleh para wartawan dan
penulis dari negeri-negeri Asia yang mengkhususkan diri menulis
masalah-masalah pertanian. Tujuannya, antara lain,
menyelenggarakan pertukaran informasi dan meningkatkan kemampuan
anggotanya dalam menyampaikan berita dan analisa mengenai
masalah pertanian.
Dalam konvensi selama 8 hari di Jakarta itu, acaranya padat
berisi serangkaian ceramah dari para pejabat yang berkaitan
dengan pertanian, kehutanan, dan lingkungan. Para peserta
juga meninjau beberapa proyek pertanian di Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Meskipun jumlah anggota delegasi Indonesia merupakan
yang terbesar (28 dari 40 peserta), peranan mereka hampir tidak
ada. Memang, berbeda dari wartawan (dan penulis) pertanian di
Jepang, misalnya, yang lebih banyak menulis artikel dan analisa,
para "wartawan pertanian" di sini terbatas hanya menulis
berita-berita pertanian. Mereka itu para wartawan yang mangkal
di Departemen Pertanian.
Memang para wartawan yang "ngepos" di Departemen Pertanian
itulah yang 10 tahun lalu berkumpul dalam sebuah himpunan.
"Ketika itu sifatnya tidak terlalu resmi. Dan sayangnya sejak
itu tidak lagi terdengar kegiatannya," kata Sumarkotjo Sudiro
dari Kompas. "Kalau perhimpunan seperti itu ada, pengurusnya
harus jelas. Dan kegiatannya pun hendaknya terarah," ujar Dedi
Riskomar, insinyur pertanian yang menjadi wartawan Pikiran
Rakyat, Bandung.
Keinginan menghidupkan kembali perhimpunan wartawan pertanian
itu akhirnya muncul dalam sebuah pertemuan di Cepu, Jawa Tengah,
ketika para peserta konvensi meninjau sebuah proyek pertanian di
sana. Mula-mula Tribuana Said, pengurus PWI Pusat, tidak
menyetujuinya -- sebab dalam PWI sudah ada unit pertanian. "Hal
itu akan menimbulkan organisasi dalam organisasi," katanya.
Ketika para wartawan mempersoalkan adanya SIWO (Seksi Wartawan
Olah Raga), Tribuana yang pernah menjadi pengasuh Merdeka itu,
menjelaskan: SIWO baru diizinkan berdiri setelah dibicarakan
dalam beberapa kali kongres PWI. Maka disepakatilah agar
Tribuana menampung masalah tersebut untuk dibicarakan dalam
kongres PWI November mendatang.
Di negeri lain, soal "organisasi dalam organisasi" rupanya tidak
menjadi soal benar. Di Australia, misalnya, ada beberapa
organisasi wartawan pertanian seperti, Australian Agricultural
Journalists Association dan Agricultural Journalists and
Broadcasters Association. Dan semuanya bergabung dalam
Australian Council of Journalists -- PWI-nya Australia.
Menurut William Ritchie, salah seorang wartawan pertanian
Australia yang banyak menulis mengenai penggunaan tenaga mesin
untuk pengembangan pertanian, rekan-rekannya banyak menulis
artikel panjang mengenai pertanian. "Biasanya setelah mereka
meninjau wilayah pertanian tertentu," kata Ritchie, yang juga
pernah menulis untuk harian Sidney Morning Herald itu.
Beberapa koran Australia memang menyediakan ruangan khusus untuk
tulisan-tulisan mengenai pertanian.Bahkan ada sebuah mingguan
yang khusus menyiarkan berbagai masalah pertanian seperti Stock
and Land. Keadaan seperti itu juga terdapat di Korea Selatan dan
Jepang, dua negara maju di Asia yang sangat memperhatikan
perkembangan pertanian.
Di Jepang juga ada perhimpunan wartawan pertanian, yaitu
Japanese Agricultural Journalists Association (JAJA), yang
seperti halnya organisasi sejenis di Australia, juga bernaung di
bawah PWI-nya Jepang. Menurut Hideo Ishikawa, salah seorang
pengurus JAJA, mereka menulis artikel-artikel untuk kepentingan
petani. "Jadi bukan sekadar. membuat berita atau membawa rilis
ke kantor saja," katanya.
Jadi siapa yangpantas disebut wartawan pertanian di Indonesia?
Di Jepang, seorang penulis pertanian biasanya seorang freelance,
yang mengirimkan tulisannya kepada berbagai media. Sedan
wartawan pertanian terikat pada satu surat kabar atau
penerbitan. Tapi, menurut Ishikawa, banyak wartawan yang
merangkap sebagai penulis pertanian. Dan yang merangkap itu
membebani dirinya dengan tugas tambahan: tidak hanya
mengetengahkan fakta melulu. Tapi disertai analisa dan ulasan.
Misalnya, 10 tahun lalu, begitu dicontohkan Ishikawa, terjadi
kemandekan produksi pertanian di Jepang. Para wartawan pertanian
meneliti sebab-musababnya. "Ternyata penyebabnya adalah
penggunaan pupuk kimia yang berlebihan," katanya. Maka para
wartawan pun menulis artikel mengenai berbagai aspek -- termasuk
mengemukakan beberapa kemungkinan jalan keluar. "Ketika itu saya
menganjurkan penggunaan pupuk hijau untuk mengimbangi pupuk
kimia yang ternyata menyebabkan tanah menjadi kering," katanya
lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini