HANYA agama Islam, agaknya, yang begitu memperhatikan tubuh.
Bukan memujanya. Atau mewajibkan orang melakukan bina raga,
misalnya, alias body building. Agama ini rupanya ingin umatnya
memperlakukan tubuh hanya secara "wajar".
Dan pembuatan tato, goresan gambar di tubuh dengan
tusukan-tusukan itu, rupanya masuk dalam golongan yang "tak
wajar". Sama dengan, misalnya, menipiskan gigi. Atau bedah
kecantikan. Banyak ulama mengharamkannya.
Pelarangan tato dalam hadis Nabi memang mudah mengingatkan orang
kepada masa pra-Islam. Yakni kebiasaan pemeluk agama primltif,
yang memakai tato sebagai 'lantaran' untuk menolak penyakit atau
sesuatu yang, dalam pengertian Islam, bersifat syirik alias
penyekutuan Tuhan. Kepercayaan asli Indian, Dayak, Maori, Negro,
lebih-lebih suku-suku Furba, memang mengenal tato.
Tapi yang terjadi di kalangan Arab di zaman Nabi rupanya bukan
itu. Yang memakai tato di sana umumnya perempuan. Hadis Nabi
yang diriwayatkan Abu Daud -- searah dengan riwayat Ibn Majah
dan Nasa-i -- dari Sahabat Abi Raihanah, menyebut kemurkaan
Tuhan kepada "wanita pentato dan yang bertato". Kiranya tato
pada mereka digunakan untuk kecantikan. "Sampai sekarang pun
sebenarnya masih banyak wanita bertato, seperti di Mesir dan
Turki," kata K.H. Syafi'i Hadzami, pengajar kitab besar 'Jam'ul
Jawami' di Masjid Istiqlal Jakarta. "Ada juga yang membuatnya
sebagai tahi lalat palsu."
Alasan pertama bagi pelarangan tato ialah: menyakiti tubuh. Dan
menyakiti tubuh baik orang lain maupun diri sendiri, memang
dilarang. Atang Sudradjat, tukang tato dari Bandung, bilang
kepada TEMPO: lama sakit bekas tato itu tiga hari sampai
seminggu. Dan itu memang tak wajar.
Alasan kedua dituturkan oleh K.H. E.Z. Muttaqien, ketua Majelis
Ulama Indonesia. "Cairan yang ditorehkan ke bawah kulit itu
menetap di situ, bersama gumpalan darah yang mengering,"
katanya. Ini dibenarkan Atang. Dan gumpalan darah, kata rektor
Universitas Islam Bandung itu, najis. Juga kata K.H Syafi'i yang
tadi. Dan karena najis, tak bisa dibawa sembahyang.
Alasan ketiga bisa jelas dari keterangan Atang sendiri. "Setiap
saya mandi atau berwudhu, bagian yang bertato itu tidak basah."
Tinta tato itu, kata laki-laki 26 tahun ini, "seperti mengandung
bahan antiair". Jadi bagian itu tak dikenai air sembahyang.
Sama dengan kuku yang ditutup cat macam cutex dan sebangsanya --
bukan cat dari tumbuhan 'pacar' yang tembus air. Karena itu
wanita santri, bila memakai cutex misalnya, seakan-akan
mengumumkan: "Saya lagi haid, lho". Sebab orang haid tidak
sembayang.
Masih ada dua alasan lagi. Pertama, "bila gambarnya seronok,"
maksudnya cabul, "haramnya tambah satu lagi," kata K.H. Syafi'i
yang baru 40-an itu. Kedua, bila torehannya berbentuk lafal
keagamaan atau ayat Quran, misalnya, bismillah, ia tidak boleh
dibawa ke tempat buang hajat. Itu diterangkan oleh Miftah Farid,
ketua MU Kabupaten Bandung. Nabi sendiri dahulu selalu mencopot
cincinnya bila hendak ke kamar kecil. Cincin itu bertuliskan
Allah.
Memang ada pendapat yang seolah memberi hukum ringan. K.H. Prof.
Ibrahim Hosen LML, ketua Komisi Fatwa MUI, menyatakan:
"Menggambari badan itu boleh saja. Itu hak masing-masing orang."
Hanya saja ada masalah. Yaitu: "mengganggu mengalirnya air wudhu
atau tidak." Ya sama saja.
Paling-paling, prinsip 'hak setiap orang' itu barangkali bisa
dipakai untuk perkara yang "lebih ringan" -- seperti mengecat
rambut, memakai sanggul buatan, misanya, yang sebagian orang
keberatan karena "mengubah kodrat". Dalam bab tato, Ibrahim
sendiri agaknya tidak teringat masalah seperti najis itu. Tapi,
lalu menjadi najiskah tubuh orang bartato?
Sama sekali tidak. K.H. Syafi'i Hadzami, yang juga pengasuh
Pesantren Al'Asyiratusy Syafi'iyah, Jakarta, punya cerita. Ada
seorang kiai menyuruh muridnya menghilangkan tatonya dengan air
keras, hingga luka berminggu-minggu. Dan tidak berhasil. Syafi'i
lantas menegur. "Menghilangkan tato pun tidak boleh dengan cara
menyakiti badan. Kalau tidak bisa hilang, ya sudah. Asal sudah
taubat, salatnya sah".
Begitu juga fatwa Muttaqien. "Wudhunya sah, salatnya sah, mandi
jinabat-nya (mandi wajib, misalnya, sehabis percampuran
suami-istri) juga sah. Dan kalau meninggal kelak, tak perlu pula
tatonya dikikis ketika dimandikan." Sebab "menyakiti" mayat juga
dilarang, kecuali untuk keperluan medis atau pengusutan,
misalnya, yang dianggap wajar. Tapi mengapa sah, salat orang
bertato?
"Sebab tatonya tak bisa hilang," kata Muttaqien. Berarti
darurat. Dan "keadaan darurat menyingkirkan semua halangan"
adh-dharurah tubihul mahzhurat kata kaidah Ilmu Fiqh. Lagi pula,
"Allah mau yang mudah buat kalian, tidak mau yang sukar," kata
Quran.
Apa lagi bila orangnya tak tahu sebelumnya, seperti yang diakui
si Atang itu. Orang tak tahu, kalau memang benar begitu, menurut
agama tidak salah.
Tapi, kan tato bisa hilang dengan bedah plastlk?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini