Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bila orang bertato, dan mati

Pandangan islam tentang tato. (ag)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA agama Islam, agaknya, yang begitu memperhatikan tubuh. Bukan memujanya. Atau mewajibkan orang melakukan bina raga, misalnya, alias body building. Agama ini rupanya ingin umatnya memperlakukan tubuh hanya secara "wajar". Dan pembuatan tato, goresan gambar di tubuh dengan tusukan-tusukan itu, rupanya masuk dalam golongan yang "tak wajar". Sama dengan, misalnya, menipiskan gigi. Atau bedah kecantikan. Banyak ulama mengharamkannya. Pelarangan tato dalam hadis Nabi memang mudah mengingatkan orang kepada masa pra-Islam. Yakni kebiasaan pemeluk agama primltif, yang memakai tato sebagai 'lantaran' untuk menolak penyakit atau sesuatu yang, dalam pengertian Islam, bersifat syirik alias penyekutuan Tuhan. Kepercayaan asli Indian, Dayak, Maori, Negro, lebih-lebih suku-suku Furba, memang mengenal tato. Tapi yang terjadi di kalangan Arab di zaman Nabi rupanya bukan itu. Yang memakai tato di sana umumnya perempuan. Hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Daud -- searah dengan riwayat Ibn Majah dan Nasa-i -- dari Sahabat Abi Raihanah, menyebut kemurkaan Tuhan kepada "wanita pentato dan yang bertato". Kiranya tato pada mereka digunakan untuk kecantikan. "Sampai sekarang pun sebenarnya masih banyak wanita bertato, seperti di Mesir dan Turki," kata K.H. Syafi'i Hadzami, pengajar kitab besar 'Jam'ul Jawami' di Masjid Istiqlal Jakarta. "Ada juga yang membuatnya sebagai tahi lalat palsu." Alasan pertama bagi pelarangan tato ialah: menyakiti tubuh. Dan menyakiti tubuh baik orang lain maupun diri sendiri, memang dilarang. Atang Sudradjat, tukang tato dari Bandung, bilang kepada TEMPO: lama sakit bekas tato itu tiga hari sampai seminggu. Dan itu memang tak wajar. Alasan kedua dituturkan oleh K.H. E.Z. Muttaqien, ketua Majelis Ulama Indonesia. "Cairan yang ditorehkan ke bawah kulit itu menetap di situ, bersama gumpalan darah yang mengering," katanya. Ini dibenarkan Atang. Dan gumpalan darah, kata rektor Universitas Islam Bandung itu, najis. Juga kata K.H Syafi'i yang tadi. Dan karena najis, tak bisa dibawa sembahyang. Alasan ketiga bisa jelas dari keterangan Atang sendiri. "Setiap saya mandi atau berwudhu, bagian yang bertato itu tidak basah." Tinta tato itu, kata laki-laki 26 tahun ini, "seperti mengandung bahan antiair". Jadi bagian itu tak dikenai air sembahyang. Sama dengan kuku yang ditutup cat macam cutex dan sebangsanya -- bukan cat dari tumbuhan 'pacar' yang tembus air. Karena itu wanita santri, bila memakai cutex misalnya, seakan-akan mengumumkan: "Saya lagi haid, lho". Sebab orang haid tidak sembayang. Masih ada dua alasan lagi. Pertama, "bila gambarnya seronok," maksudnya cabul, "haramnya tambah satu lagi," kata K.H. Syafi'i yang baru 40-an itu. Kedua, bila torehannya berbentuk lafal keagamaan atau ayat Quran, misalnya, bismillah, ia tidak boleh dibawa ke tempat buang hajat. Itu diterangkan oleh Miftah Farid, ketua MU Kabupaten Bandung. Nabi sendiri dahulu selalu mencopot cincinnya bila hendak ke kamar kecil. Cincin itu bertuliskan Allah. Memang ada pendapat yang seolah memberi hukum ringan. K.H. Prof. Ibrahim Hosen LML, ketua Komisi Fatwa MUI, menyatakan: "Menggambari badan itu boleh saja. Itu hak masing-masing orang." Hanya saja ada masalah. Yaitu: "mengganggu mengalirnya air wudhu atau tidak." Ya sama saja. Paling-paling, prinsip 'hak setiap orang' itu barangkali bisa dipakai untuk perkara yang "lebih ringan" -- seperti mengecat rambut, memakai sanggul buatan, misanya, yang sebagian orang keberatan karena "mengubah kodrat". Dalam bab tato, Ibrahim sendiri agaknya tidak teringat masalah seperti najis itu. Tapi, lalu menjadi najiskah tubuh orang bartato? Sama sekali tidak. K.H. Syafi'i Hadzami, yang juga pengasuh Pesantren Al'Asyiratusy Syafi'iyah, Jakarta, punya cerita. Ada seorang kiai menyuruh muridnya menghilangkan tatonya dengan air keras, hingga luka berminggu-minggu. Dan tidak berhasil. Syafi'i lantas menegur. "Menghilangkan tato pun tidak boleh dengan cara menyakiti badan. Kalau tidak bisa hilang, ya sudah. Asal sudah taubat, salatnya sah". Begitu juga fatwa Muttaqien. "Wudhunya sah, salatnya sah, mandi jinabat-nya (mandi wajib, misalnya, sehabis percampuran suami-istri) juga sah. Dan kalau meninggal kelak, tak perlu pula tatonya dikikis ketika dimandikan." Sebab "menyakiti" mayat juga dilarang, kecuali untuk keperluan medis atau pengusutan, misalnya, yang dianggap wajar. Tapi mengapa sah, salat orang bertato? "Sebab tatonya tak bisa hilang," kata Muttaqien. Berarti darurat. Dan "keadaan darurat menyingkirkan semua halangan" adh-dharurah tubihul mahzhurat kata kaidah Ilmu Fiqh. Lagi pula, "Allah mau yang mudah buat kalian, tidak mau yang sukar," kata Quran. Apa lagi bila orangnya tak tahu sebelumnya, seperti yang diakui si Atang itu. Orang tak tahu, kalau memang benar begitu, menurut agama tidak salah. Tapi, kan tato bisa hilang dengan bedah plastlk?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus