Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Antara Bacaan Dan Impian

Sukses majalah Femina, terbit 1972 karena tulisannya penuh dengan ilustrasi, warna dan iklan. Diikuti majalah Kartini tahun 1974, kedua majalah tersebut hanya menampilkan kemewahan yang ke barat-baratan. (md)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA wanita Indonesia pegang peran penting sebagai pemilih barang bacaan. Dalam usia enam tahun majalah Femina yang terbit 1972 dengan cepat bersirkulasi 120.000 -- satu prestasi yang menyolok untuk sebuah tengah bulanan. Majalah Kartini, terbit pertama kali Nopember 1974, juga berkisar pada angka yang sama. Tapi apa sebetulnya yang digemari wanita dari bacaannya itu? Dalam suatu ceramah pekan lalu yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, pemimpin redaksi Femina Mirta Kartohadiprodjo mengemukakan cukup data dari penerbitan buku. Rekan penceramahnya, Titi Said Sadikun, pemimpin redaksi Kartini, yang juga berbicara tentang bacaan wanita Indonesia kini, sebaliknya tanpa data. Tapi dari mereka nampaknya dapat disimpulkan, seperti dengan jelas ditunjukkan Mirta Kartohadiprodjo, bahwa bacaan wanita Indonesia kini masih lebih banyak berupa fiksi hiburan. Apakah hal itu mempengaruhi majalah yang dipimpin kedua nyonya itu tidak jelas. Baik Femina maupun Kartini memang menampilkan banyak artikel yang bukan cuma fiksi dan hiburan. Tapi agaknya tanpa itu, oplah majalah yang berharga relatif mahal itu (Femina Rp 400, sedang Kartini Rp 500) mungkin akan sedikit seret maju. Meskipun begitu Titie Said kepada TEMPO menyatakan mengapa majalah wanita kini laris: "Itu karena majalah wanita kini tak hanya bersifat mikro tapi juga makro." Terjemahannya majalah wanita kini juga bicara tidak cuma soal rumah tangga. Orang bisa saja menyangsikan ini. Majalah wanita yang pernah ada di Indonesia, Keluarga, misalnya juga tak bersibuk dari dapur sampai sejauh pekarangan. Mungkin yang bisa menjelaskan ramainya pasar bacaan wanita beberapa tahun terakhir ini ialah kenyataan yang lebih sederhana: majalah wanita Indonesia kini tiba-tiba gemebyar dengan tatawarna dan kertas halus, cepat menyolok merebut perhatian pasar. Dalam segi ini Femina memang pelopor. Pada suatu hari Mirta Kartohadiprodjo, puteri pengarang S. Takdir Alisyahbana, punya ide. "Perlu dicari sesuatu yang baru," katanya melihat dunia permajalahan pra-1972. Majalah hiburan terlalu banyak, sementara majalah wanita yang ada, menurut Mirta, "terlalu didaktis dan kaku." Ia pun mengajak beberapa temannya untuk menerbitkan Femina -- satu hal yang agak nekad karena mereka semua kosong dari pengalaman jurnalisme. Bahkan menulis pun tak pernah. Mirta agaknya cuma bersandar pada kenyataan bahwa perusahaan percetakan keluarganya, Dian Rakyat, masih ada dan ingin maju. Dan ternyata majalah yang dipimpin sarjana sastra Inggeris lulusan UI ini memang maju pesat. Dengan mengutip sana-sini tulisan-tulisan dari luar, ditambah sejumlah tulisan dalam negeri yang penuh ilustrasi dan warna, dengan lembaran pola pakaian dan resep dapur serta pameran baju yang mentereng, jadilah satu corak. Berbareng itu semangat berbelanja kaum wanita pun diperteguh dengan banjir iklan segala produk untuk merias rambut, pipi sampai kuku. Tergiur oleh sukses Femina, Kartini pun muncul. Bila laki-laki di belakang Femina adalah Sofyan Alisjahbana -- yang meneruskan usaha keluarga Alisjahbana dalam bidang penerbitan -- maka pria di belakang Kartini adalah Lukman Umar. Dia ini lulusan Institut Agama Islam Negeri jurusan da'wah, yang rupanya lebih berbakat ke perdagangan bacaan. Sengketa Lukman, 55 tahun, semula adalah agen Femina. Suatu saat ia punya niat sendiri untuk tak cuma jadi agen. Melalui suatu sengketa keuangan yang kini masih dalam proses pengadilan dengan penerbit Femina, Lukman toh berhasil tampil sendiri. Apalagi sarjana da'wah ini jago promosi ulangtahun Kartini biasa dirayakan dengan megah di hotel kelas satu. Upacara pembukaan percetakannya bulan ini dihadiri oleh Menteri Muda Urusan Wanita. Bila grup Femina punya Gadis (untuk wanita remaja) dan Ayal Bunda, grup Kartini kini punya Ananda dan akan punya Dialog. Di balik cerita sukses yang menimbulkan ikhtiar meniru di kalangan para pengasuh majalah wanita lain itu, tak kurang juga terdengar kecaman. Baik Femina maupun Kartini dinilai hanya memamerkan kemewahan dan memancing para wanita buat lebih konsumtif. Melihat tampilnya baju, isi dapur serta hiasan rumah yang duilah-duilah dalam kedua majalah itu, kesan kemewahan memang tak terelakkan. Juga kesan terlalu ke-barat-barat-an yang misalnya kentara pada Gadis (untuk apa hari Valentin buat cewek Indonesia). Begitu pula kesan "melihat ke pejabat atas" yang ada pada Kartini. Tapi para pengasuh majalah-majalah itu punya penjelasan. Menurut Mirta, Femina-lah yang mempelopori adanya lembaran pola baju, yang memberi kemungkinan para pembaca untuk membuat baju sendiri. Tapi Mirta mengakui, pemotretan dan teknis foto yang disajikan Femina memang menimbulkan kesan kemewahan itu. Padahal baik bahan pakaian atau bahan untuk resep makanan, kebanyakan "dari bahan sederhana saja." Dan Mirta -- ibu 34 tahun dengan dua anak -- bisa membuktikan bahwa rubrik seperti "Depot Ide" dalam majalahnya banyak memberi gagasan penghematan rumah tangga. Titie Said juga menyatakan hal yang sama. Tapi ia menambahkan: "Jika dikatakan kami menjual impian, wanita memang perlu gantungan cita-cita -- dan dari segi itu impian tidak buruk."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus