TERNYATA wanita Indonesia pegang peran penting sebagai pemilih
barang bacaan. Dalam usia enam tahun majalah Femina yang terbit
1972 dengan cepat bersirkulasi 120.000 -- satu prestasi yang
menyolok untuk sebuah tengah bulanan. Majalah Kartini, terbit
pertama kali Nopember 1974, juga berkisar pada angka yang sama.
Tapi apa sebetulnya yang digemari wanita dari bacaannya itu?
Dalam suatu ceramah pekan lalu yang diselenggarakan Dewan
Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, pemimpin redaksi
Femina Mirta Kartohadiprodjo mengemukakan cukup data dari
penerbitan buku. Rekan penceramahnya, Titi Said Sadikun,
pemimpin redaksi Kartini, yang juga berbicara tentang bacaan
wanita Indonesia kini, sebaliknya tanpa data. Tapi dari mereka
nampaknya dapat disimpulkan, seperti dengan jelas ditunjukkan
Mirta Kartohadiprodjo, bahwa bacaan wanita Indonesia kini masih
lebih banyak berupa fiksi hiburan.
Apakah hal itu mempengaruhi majalah yang dipimpin kedua nyonya
itu tidak jelas. Baik Femina maupun Kartini memang menampilkan
banyak artikel yang bukan cuma fiksi dan hiburan. Tapi agaknya
tanpa itu, oplah majalah yang berharga relatif mahal itu (Femina
Rp 400, sedang Kartini Rp 500) mungkin akan sedikit seret maju.
Meskipun begitu Titie Said kepada TEMPO menyatakan mengapa
majalah wanita kini laris: "Itu karena majalah wanita kini tak
hanya bersifat mikro tapi juga makro." Terjemahannya majalah
wanita kini juga bicara tidak cuma soal rumah tangga.
Orang bisa saja menyangsikan ini. Majalah wanita yang pernah ada
di Indonesia, Keluarga, misalnya juga tak bersibuk dari dapur
sampai sejauh pekarangan. Mungkin yang bisa menjelaskan ramainya
pasar bacaan wanita beberapa tahun terakhir ini ialah kenyataan
yang lebih sederhana: majalah wanita Indonesia kini tiba-tiba
gemebyar dengan tatawarna dan kertas halus, cepat menyolok
merebut perhatian pasar.
Dalam segi ini Femina memang pelopor. Pada suatu hari Mirta
Kartohadiprodjo, puteri pengarang S. Takdir Alisyahbana, punya
ide. "Perlu dicari sesuatu yang baru," katanya melihat dunia
permajalahan pra-1972. Majalah hiburan terlalu banyak, sementara
majalah wanita yang ada, menurut Mirta, "terlalu didaktis dan
kaku." Ia pun mengajak beberapa temannya untuk menerbitkan
Femina -- satu hal yang agak nekad karena mereka semua kosong
dari pengalaman jurnalisme. Bahkan menulis pun tak pernah. Mirta
agaknya cuma bersandar pada kenyataan bahwa perusahaan
percetakan keluarganya, Dian Rakyat, masih ada dan ingin maju.
Dan ternyata majalah yang dipimpin sarjana sastra Inggeris
lulusan UI ini memang maju pesat. Dengan mengutip sana-sini
tulisan-tulisan dari luar, ditambah sejumlah tulisan dalam
negeri yang penuh ilustrasi dan warna, dengan lembaran pola
pakaian dan resep dapur serta pameran baju yang mentereng,
jadilah satu corak. Berbareng itu semangat berbelanja kaum
wanita pun diperteguh dengan banjir iklan segala produk untuk
merias rambut, pipi sampai kuku.
Tergiur oleh sukses Femina, Kartini pun muncul. Bila laki-laki
di belakang Femina adalah Sofyan Alisjahbana -- yang meneruskan
usaha keluarga Alisjahbana dalam bidang penerbitan -- maka pria
di belakang Kartini adalah Lukman Umar. Dia ini lulusan Institut
Agama Islam Negeri jurusan da'wah, yang rupanya lebih berbakat
ke perdagangan bacaan.
Sengketa
Lukman, 55 tahun, semula adalah agen Femina. Suatu saat ia punya
niat sendiri untuk tak cuma jadi agen. Melalui suatu sengketa
keuangan yang kini masih dalam proses pengadilan dengan penerbit
Femina, Lukman toh berhasil tampil sendiri. Apalagi sarjana
da'wah ini jago promosi ulangtahun Kartini biasa dirayakan
dengan megah di hotel kelas satu. Upacara pembukaan
percetakannya bulan ini dihadiri oleh Menteri Muda Urusan
Wanita. Bila grup Femina punya Gadis (untuk wanita remaja) dan
Ayal Bunda, grup Kartini kini punya Ananda dan akan punya
Dialog.
Di balik cerita sukses yang menimbulkan ikhtiar meniru di
kalangan para pengasuh majalah wanita lain itu, tak kurang juga
terdengar kecaman. Baik Femina maupun Kartini dinilai hanya
memamerkan kemewahan dan memancing para wanita buat lebih
konsumtif. Melihat tampilnya baju, isi dapur serta hiasan rumah
yang duilah-duilah dalam kedua majalah itu, kesan kemewahan
memang tak terelakkan. Juga kesan terlalu ke-barat-barat-an
yang misalnya kentara pada Gadis (untuk apa hari Valentin buat
cewek Indonesia). Begitu pula kesan "melihat ke pejabat atas"
yang ada pada Kartini.
Tapi para pengasuh majalah-majalah itu punya penjelasan.
Menurut Mirta, Femina-lah yang mempelopori adanya lembaran pola
baju, yang memberi kemungkinan para pembaca untuk membuat baju
sendiri. Tapi Mirta mengakui, pemotretan dan teknis foto yang
disajikan Femina memang menimbulkan kesan kemewahan itu. Padahal
baik bahan pakaian atau bahan untuk resep makanan, kebanyakan
"dari bahan sederhana saja." Dan Mirta -- ibu 34 tahun dengan
dua anak -- bisa membuktikan bahwa rubrik seperti "Depot Ide"
dalam majalahnya banyak memberi gagasan penghematan rumah
tangga.
Titie Said juga menyatakan hal yang sama. Tapi ia menambahkan:
"Jika dikatakan kami menjual impian, wanita memang perlu
gantungan cita-cita -- dan dari segi itu impian tidak buruk."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini