Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN Kamis tiga pekan lalu itu laksana persidangan buat Research In Motion Inc (RIM). Di lantai 13 Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, empat anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) serta pejabat-pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mencecar perwakilan produsen BlackBerry itu dengan pertanyaan tajam.
Hawa dingin dari penyejuk seolah tak mampu menyejukkan persamuhan tersebut. Rapat yang dipimpin Iwan Krisnadi, anggota Komite Regulasi BRTI, itu berlangsung tegang. Anggota BRTI dan pejabat Kementerian Komunikasi kerap bersilat lidah dengan Direktur Government Relations RIM Jason Saunderson dan perwakilan dari Kedutaan Kanada. "Saya sempat berdebat dengan atase perdagangan Kanada," kata Kepala Pusat Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi Gatot Dewa Broto kepada Tempo pekan lalu.
Agenda pertemuan pagi itu mendengarkan laporan RIM atas empat komitmen yang sudah disampaikannya pada 17 Januari 2011. RIM berjanji membangun layanan pascajual, memberikan akses penyadapan kepada penegak hukum, memblokir akses konten negatif Internet (pornografi), dan membangun infrastruktur server di Indonesia. Waktu itu Jason Saunderson yang memaraf empat komitmen tersebut.
Tiga komitmen pertama telah dipenuhi. RIM sudah punya 40 pusat perbaikan dan layanan setingkat pusat layanan konsumen di 65 lokasi di seluruh Indonesia. RIM juga sudah melakukan penyaringan konten pornografi. Perusahaan asal Kanada itu pun telah berkoordinasi intensif dengan penegak hukum di Indonesia membahas masalah akses penyadapan.
Hanya satu masalah yang belum selesai: komitmen pembangunan server atau network aggregator—alat yang berfungsi sebagai pusat data, penghubung dua jaringan operator seluler. Para anggota BRTI dan perwakilan Kementerian Komunikasi mempertanyakan isu pembangunan regional network aggregator RIM di Hong Kong dan Singapura.
Saunderson mengakui RIM telah membangun infrastruktur telekomunikasi di Negeri Singa. Namun bentuknya router—penghubung dua jaringan operator seluler—bukan network aggregator. Pengakuan itu membuat anggota BRTI kesal. "Saya bilang ke Saunderson, kami kecewa karena RIM tak memenuhi komitmen membangun server di Indonesia," Iwan mengisahkan pertemuan itu.
Kritik tajam datang dari Heru Sutadi, anggota BRTI lainnya. Heru menyinggung laporan stasiun televisi Canada Broadcasting Corporation (CBC News) yang menyebutkan "Indonesia is A BlackBerry Nations". Jumlah pengguna BlackBerry di Indonesia sekarang hampir 5 juta orang, naik dibanding tahun lalu sebanyak 2,63 juta orang. Heru juga menyatakan kecewa lantaran RIM memilih menempatkan router di Singapura.
Suasana pertemuan sedikit mendingin setelah Saunderson mengatakan RIM tak menutup kemungkinan akan membangun server di Indonesia. Hanya, ia tak bisa menyebutkan waktunya. RIM, kata Gatot, tak bisa segera membangun server dengan alasan terhambat infrastruktur dan kepastian hukum di Indonesia.
Seusai pertemuan itu, BRTI menggelar rapat internal merumuskan rekomendasi untuk Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Di dalam rapat muncul wacana memberi rekomendasi kepada pemerintah agar "memasung" BlackBerry Internet Service—layanan Internet, surat elektronik, chatting, dan BlackBerry Messenger—jika RIM tak kunjung kooperatif. Artinya, BlackBerry akan diturunkan menjadi telepon seluler biasa. "Mungkin karena kami (BRTI) sangat kecewa," kata Heru kepada Tempo pekan lalu.
DESAKAN membangun server di Indonesia tampaknya bukan murni persoalan antara RIM dan pemerintah. Tujuh operator seluler ikut terlibat. Pada 5 September 2011, Direktur Utama PT Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, Direktur Utama PT XL Axiata Hasnul Suhaimi, Direktur Utama PT Indosat Harry Sasongko, Direktur Utama PT Natrindo Telepon Seluler Erik Aas, Direktur PT Smart Telecom Ubaidillah Fatah, Direktur PT Bakrie Telecom Frederik Johannes Meijer, dan Direktur PT Hutchinson CP Telecom Manjot Mann meneken surat bersama kepada Menteri Tifatul Sembiring. Surat ini lanjutan "petisi" senada yang disampaikan enam operator seluler pada 1 Desember dua tahun lalu.
Ketujuh perusahaan seluler itu berpendapat RIM belum menempatkan server di Indonesia, tapi hanya membuat point of presence (semacam stasiun relay atau repeater) untuk memperluas jangkauan perusahaan jasa Internet di Hong Kong dan Singapura. Pembangunan stasiun itu tidak akan membuat kualitas layanan BlackBerry di Indonesia menjadi lebih baik.
Mereka meminta pemerintah mendesak RIM segera menempatkan servernya di Indonesia. "Tujuannya agar mengurangi penundaan data antarpelanggan dan terjadi penghematan biaya besar pada operator seluler Indonesia," begitu bunyi surat itu.
Di luar urusan server, mereka juga meminta ada alat pengawasan yang memonitor kinerja RIM, termasuk perjanjian service level agreement untuk mengevaluasi kinerja perusahaan itu. Hasnul enggan berkomentar saat dimintai konfirmasi. Namun Sarwoto membenarkan adanya surat bersama itu. "Alasan utama permintaan ini agar ada peningkatan kualitas layanan BlackBerry di Indonesia," ujarnya kepada Tempo pekan lalu. Juru bicara Axis, Anita Avianti, juga membenarkan kabar bahwa bosnya telah meneken surat itu.
Menurut Gatot, manfaat server RIM di Indonesia sangat banyak. Selain membuat efisien biaya operator seluler dan kualitas layanan BlackBerry menjadi lebih baik, para penegak hukum Indonesia bisa dengan mudah mengakses data komunikasi tersangka korupsi atau teroris. Sebaliknya, butuh birokrasi panjang jika pusat data itu ada Singapura, Hong Kong, atau Kanada.
Tuntutan agar RIM membuka server pun, ujar Gatot, bukan barang baru. Tahun lalu India, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi pernah mengancam akan memblokir BlackBerry jika RIM tak membangun server di negaranya.
Dulu sempat ada polemik ihwal pembangunan pabrik BlackBerry di Malaysia. Namun, menurut Gatot, Kementerian Komunikasi tak mau menuntut agar RIM juga membuka pabrik BlackBerry di Indonesia karena memang perusahaan itu tak pernah menjanjikan. "Kami tahu diri, membangun pabrik di Indonesia bukan perkara mudah."
Meski kecewa berat, Kementerian Komunikasi tampaknya belum akan memberi sanksi kepada RIM. Jikapun memberi penalti, kata Gatot, bentuk sanksinya, bukan "memasung" fungsi BlackBerry. Rapat yang dipimpin Tifatul, Senin pekan lalu, sempat menyinggung wacana sanksi buat RIM jika masih membandel.
Salah satu pilihan sanksinya adalah tak memberi kemudahan sertifikasi bagi produk atau gadget BlackBerry terbaru ke Indonesia. Dengan sanksi ini, pengguna BlackBerry lama—sebanyak 5 juta pelanggan—tidak akan dirugikan karena layanan ponsel pintar ini sama sekali tak terganggu. Hanya calon pelanggan baru yang akan kesulitan mendapatkan BlackBerry.
Menanggapi ancaman sanksi itu, manajemen RIM menyatakan telah melaksanakan seluruh komitmennya kepada pemerintah Indonesia. RIM juga sudah menyelesaikan pembangunan jaringan aggregator regional. "Sekarang operator seluler Indonesia telah terhubung untuk mengatasi kekhawatiran spesifik pada kecepatan arus data," kata manajemen RIM dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo pekan lalu.
RIM juga terus mengkaji potensi investasi baru di Indonesia yang akan mendukung pertumbuhan dan perluasan pengembangan perangkat lunak di Indonesia. "Kami berharap dapat memberikan perincian lebih lanjut di masa mendatang."
Berbeda dengan pemerintah dan BRTI, pakar telematika Onno W. Purbo menegaskan, di dunia Internet, lokasi server bukanlah hal penting. Menurut dia, lebih penting pemerintah Indonesia bisa mendapatkan username dan password semacam kunci rahasia buat akses ke server. "Kalau server ada di Indonesia tapi RIM tak mau kasih username dan password, sama juga bohong," ujarnya kepada Tempo.
Sebagian besar surat elektronik orang Indonesia menggunakan yahoo.com, gmail.com, atau facebook.com. Artinya, servernya bukan di RIM, melainkan di Yahoo, Google, dan Facebook. Jika mau adil, menurut Onno, pemerintah jangan hanya meminta RIM, tapi juga Yahoo, Google, dan Facebook memindahkan server mereka ke Indonesia.
Di mata Onno, ketimbang mendirikan server, jauh lebih penting memindahkan pabrik gadget, termasuk RIM, ke Indonesia. "Pabrik akan menyerap banyak tenaga kerja lokal dan besar manfaatnya buat perekonomian kita," ujarnya. "Tapi perbaiki dulu infrastruktur dan birokrasi pusat-daerah."
Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo