Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memperebutkan rezeki iklan

Perolehan iklan media cetak merosot, tersedot ke media elektronik.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA, era 1990-an adalah era televisi swasta. Ketika Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) diizinkan melepas dekoder, itulah titik awal masa keemasan mereka. Masa gemilang ini didukung oleh arus pemasangan iklan di layar kaca yang terus-menerus meningkat. Ketika Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) diresmikan setahun silam, bisnis iklan televisi sedang elok-eloknya. Bahkan bisa dibilang, TPI telah memilih saat kelahirannya secara tepat sekali. Lalu, Oktober ini, TPI akan menambah waktu siaran selama lima jam di malam hari. Dan para pengamat pun sampai pada kesimpulan yang sama. Saatnya tepat sekali, ketika dunia bisnis yang semula lesu di bawah tekanan uang ketat, kini pelanpelan bangkit kembali. Selanjutnya adalah urusan biro iklan untuk menilai, apakah kualitas siaran tambahan TPI itu bisa dijual atau tidak kepada klien mereka. Sementara itu, para penerbit media cetak harus membuat kalkulasi baru. Mengapa? Pangsa iklan TV swasta terus saja membengkak -- ada RCTI, SCTV, dan TPI, sedangkan tahun depan akan bertambah enam stasiun TV swasta lagi -- dan ini berarti perolehan media cetak dari iklan semakin berkurang. Sebelum TPI mulai dengan tayangan malam hari pun, jumlah iklan media cetak sudah nyata-nyata menyusut akibat agresivitas TV swasta. Perolehan beberapa media cetak bahkan merosot tajam. Itulah konsekuensi dari persaingan bisnis media massa, yang napasnya sebagian bergantung pada iklan. Kepala Urusan Iklan Harian Suara Pembaruan, Yoseph Sumantri, mengakui bahwa racikan acara TV swasta yang semakin menarik telah ikut mengurangi iklan di korannya. "Kita memang tidak bisa membendung arus itu. Terus terang, kami kerepotan menanggapinya," kata Sumantri kepada TEMPO. Suara Pembaruan mengalami banjir iklan pada tahun 1990. Berbagai produk, mulai dari mobil, obat-obatan, sampo, sabun, dan deretan toiletris lainnya sering terpampang di harian yang beredar selepas makan siang itu. Pokoknya, rata-rata per tahun, iklannya mencapai 40% halaman koran. Tapi, ketika RCTI muncul, iklan mobil, sampo, sabun, dan toiletris mulai enggan tampil di koran. Persentase iklan di Suara Pembaruan susut ke 35%. Belakangan, ketika dekoder RCTI dicabut -- hingga siarannya meluas -- yang disusul dengan kehadiran TPI, iklannya turun jadi 29%. Yoseph Sumantri tak menyangkal keunggulan media elektronik yang bisa memvisualkan produk-produk secara lebih hidup dan atraktif. Ya, siapa bisa menyangkal kalau rambut indah setelah kena sampo menjadi tampak begitu memikat di televisi (karena bergerak-gerak) ketimbang di koran yang cuma diam saja. "Padahal, dari iklan-iklan produk itu bisa diperoleh pendapatan besar, dua kali dibandingkan iklan-iklan lainnya yang sampingan," katanya. Namun Sumantri enggan bicara soal angka. Kompas, harian dengan oplah terbesar di Indonesia, juga tak luput dari penurunan rezeki iklan. Wakil Pemimpin Umum merangkap Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, August Parengkuan, mengatakan bahwa sekarang mendapatkan iklan sebesar 35% (dari pemberitaan) sulitnya setengah mati. "Padahal, sampai 1990, sebelum ada televisi swasta, bisa dengan mudah memperoleh iklan sampai 50% dari porsi pemberitaan," August menambahkan. Hanya saja, peraturan Departemen Penerangan yang mengharuskan iklan maksimal 35% dari pemberitaan tak memungkinkan media cetak untuk panen iklan sebanyak itu. August Parengkuan menghitung, pangsa pasar iklan sekarang tiap bulan mencapai Rp 250 milyar. "Sejak adanya televisi yang boleh menerima iklan, sekitar Rp 50 milyar telah ter sedot ke sana," ujarnya. Iklan yang diterima Kompas kini 25%-30% dari pemberitaan. Setengahnya merupakan iklan baris, sedangkan iklan ukuran besar sudah tidak lagi menjadi sumber penghasilan utama. Sebuah sumber di luar Kompas menyebutkan, perolehan koran ini dari iklan setiap bulan berfluktuasi dari Rp 6 milyar sampai Rp 7,8 milyar (angka bulan Agustus 1992). Bicara tentang pangsa iklan, rupanya ada hitungan yang berbeda. Menurut Manajer Humas RCTI Eduard Depari, pangsa tersebut saat ini Rp 900 milyar. Katanya, 55% masih dikuasai oleh media cetak, 35% oleh televisi (RCTI, SCTV, dan TPI), sisanya yang 10% dinikmati oleh radio, billboard, dan bioskop. Karena TPI menambah jam siarannya, Eduard Depari tidak menyangkal kalau pangsa iklan media cetak akan bergeser ke televisi milik Ny. Indra Rukmana ini. "Tapi saya rasa tidak terlalu memukul media besar seperti Kompas, TEMPO, Femina, dan Kartini. Dampaknya mungkin ke media cetak yang kecil-kecil," ujar Eduard. Sebenarnya, tanpa tambahan jam siaran pun, TPI sudah meraup banyak untung dari iklan. Menurut Direktur Pro Team (perusahaan yang mendukung pemasaran TPI) Ernest Katoppo, "Sejak Oktober 1991 sampai Oktober tahun ini, peningkatan iklan di TPI sekitar 300%." Ini luar biasa, mengingat usia TPI yang belia dan target kenaikan iklannya "cuma" 70%. Dewasa ini, pendapatan TPI dari iklan Rp 5 milyar per bulan. Dengan tambahan lima jam siaran malam hari, Ernest Katoppo memperkirakan tambahan dari iklan sebesar 50%. Tapi nanti TPI tidak lagi bisa menikmati seluruh pendapatan itu dengan leluasa, karena perusahaan ini harus mulai menghitung ongkos produksi serta perawatan peralatan dan studio. Lalu, bagaimana peluang media cetak? Toiletris dan produk makanan plus minuman barangkali condong ke televisi. Tapi produk-produk yang perlu didukung oleh informasi detail seperti perbankan, real estate, mobil, properti, atau mesin industri, mustahil bisa ditayangkan di televisi. Lagipula, seperti dikatakan Veronica dari Matari Advertising, hampir tidak ada produk yang diiklankan di satu media saja. Berarti, peluang media cetak masih ada, hanya tak sebongsor dulu. Mohamad Cholid dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus