JEPANG memang serius mengharapkan proyek LNG Arun dan Bontang
selesai sesuai dengan jadwal. Maklumlah, pabrik listrik Kansai,
Chubu dan Kyushu, pabrik gas Osaka dan tanur baja Nippon Steel
sudah membangun terminal dan memperluas usahanya. Sebelumnya,
Jepang sudah mengimpor gas alam dari Alaska dan Brunei, itu
kesultanan yang kaya minyak & gas di Kalimantan Utara. Dan
sebelum akhir 1976, Abu Dhabi akan mengoperasikan 3 tanker LNG
bermuatan 125 juta liter selama 20 tahun ke Jepang.
Anggota OPEC lainnya, Aljazair juga sudah mengekspor gas alam
cairnya ke AS, Inggeris dan Spanyol. Seperti juga Indonesia,
AUazair saat ini sedang menghadapi kesulitan mengekspor lebih
banyak gas alamnya ke AS karena terbentur tantangan FPC dan
keterlambatan pembuatan 3 tanker Burmah di dok Quincy. Tapi
Ayazair punya calon langganan lain yang lebih dekat, yakni
Belgia. Sedang Spanyol dan Italia, sementara ini sudah mengimpor
gas alam dari Libia. Adapun tetangga kita Malaysia baru-baru ini
mengumumkan pula rencananya menanamkan modal M$ 2 milyar dalam
proyek LNG di Sarawak untuk mengekspor 6 juta ton LNG seharga
M$ 1,7 milyar setahun. Menurut Petroleum News, beberapa waktu
lalu, dua pemegang saham Jilco -- Osaka Gas dan Nippon Steel --
berminat ikut dalam rencana proyek di Sarawak itu.
Sampai kini kontrak-kontrak penjualan gas alam masih dibuat
secara bilateral antara produsen dan konsumen. Itu pun tanpa
keseragaman harga di antara importir gas alam dari negara
produsen yang sama. Jepang misalnya, harus membayar AS$ 2 lebih
per juta BTU untuk gas alam Indonesia, sementara Amerika -- yang
hangat-hangat tahi ayam -- masih diberi harga $ 1,25 per juta
BTU. Tapi melihat sukses minyak, apakah sudah saatnya Indonesia
& Malaysia -- bersama-sama negara-negara OPEC seperti Abu Dhabi,
Aljazair, Libia dan Iran -- membentuk semacam 'OPEC Gas Alam'
menghadapi konsumen di Utara? Paling tidak, semacam penyeragaman
harga dari produsen?
Memang, posisi gas alam tidak sekuat minyak bumi. Sebab sampai
tahun 1973, gas alam baru mengisi 30% dari seluruh konsumsi
enerji dunia, atau total 1,4 trilyun M3. Tapi tahun lalu angka
konsumsi gas alam itu sudah tumbuh antara 1,6 -- 1,7 trilyun M3.
Sementara itu, AS yang konsumen gas alam terbesar di dunia
sampai 1970 sudah mengkonsumir 632 milyar M3 gas alam setahun
tanpa mengimpor. Sementara Eropa Barat waktu itu -- yang punya
cadangan gas alam besar di Belanda dan perairan Laut Utara --
mengkonsumir 64 milyar M3, sementara impornya hanya 1 mayar M3.
Cadangan gas alam Belanda yang lebih dari 2 kali cadangan Arun
telah menjadi pelampung penyelamat di musim dingin 1973 ketika
negeri itu ditimpa embargo minyak Arab. Sedang Jepang sebagai
konsumen terkecil, tahun 1970 mengkonsumir 3 milyar M3 termasuk
1 milyar M3 gas impor.
Namun angka-angka konsumsi dan impor itu akan berubah dalam
tahun-tahun mendatang. Kebutuhan AS diperkirakan akan meningkat
menjadi 750 milyar M3 di tahun 1980. Eropa Barat naik menjadi
03 milyar M3. Sedang Jepang yang kebutuhannya bakal naik
menjadi 32 milyar M3 akan menjadi pengimpor gas alam No. 2 di
dunia dengan mengimpor 27 milyar M3 gas alam.
Melihat lokasi penemuan cadangan gas alam selama 10 tahun silam,
posisi para produsen gas alam juga akan makin kuat. Antara tahun
1965-1975 cadangan yang ditemukan di benua Amerika boleh dikata
stabil saja. Padahal cadangan yang terbukti di Eropa Barat dan
Asia-Pasifik naik 2 X lipat, cadangan Afrika melipat tiga,
sedang cadangan Uni Sovyet dan blok Eropa Timur naik 5 X lipat.
Jadinya belahan bumi Timur kini memiliki 75% dari seluruh
cadangan gas alam dunia. Sementara Jepang dan negara Barat
mengkonsumir 70% dari seluruh produksi gas alam dunia, tapi
hanya memiliki 23% dari cadangan. Kepincangan ini terpaksa
ditutup oleh pipa-pipa penyalur gas yang melintasi daratan,
serta tanker-tanker LNG mulai dari yang bermuatan 85 juta liter
sampai 125 juta liter untuk menyeberangi lautan.
Di luar sektor angkutan, separo dari kebutuhan enerji di AS
diisi oleh gas alam. Atau 2 X lipat enerji non-transpor yang
berasal dari minyak maupun batu bara. Gas dari kerak bumi ini
disenangi karena harganya jauh lebih murah dan hasil
pembakarannya jauh lebih bersih dari bahan bakar fosil lainnya.
Harganya? Satu juta BTU (British Thernal Unit) hasil pembakaran
gas alam hanya AS$ 1,42 untuk golongan tarif yang termurah
(rumah tangga). Sedang minyak ongkosnya AS$ 2,55 dan listrik AS$
9,65 untuk jumlah panas yang sama. Makanya saat ini 40 juta
rumah tangga di AS menggunakan gas alam, disusul 3,4 juta kantor
dan lebih 200 ribu pabrik. Dilihat dari segi jumlahnya, 24,5%
gas alam di AS dikonsumir oleh rumah tangga, 11,6% oleh
kantor-kantor dan 46,2% oleh industri. Karena belerang, asam
arang dan bahan pencemar lainnya -- yang kadarnya dalam gas alam
jauh lebih rendah dari pada minyak bumi -- sudah disaring
sebelum diekspor atau disalurkan, polusi akibat pembakaran gas
alam pun rendah sekali.
Sumber gas alam ini ada 2 macam. Bila ditemukan tercampur dengan
minyak bumi, disebut 'gas iring' (associated gas). Sedang yang
ditemukan dalam keadaan bebas, disebut 'gas sumur' (well gas
atau free gas). Para pemburu minyak biasanya membakar gas iring
yang ikut menyembur dari sumur minyak mereka. Menurut Prof. ir.
H. Johannes, ahli sumber alam Gajah Mada, selama tahun 1973 kita
dirugikan AS$ 322 juta karena pembakaran 71% dari gas iring yang
ditemukan. Padahal jumlah 3,5 juta ton gas iring yang terbakar
percuma itu, sama dengan jumlah gas alam yang mau diimpor
Pacific Lighting untuk kebutuhan rumah tangga dan industri di
California. Gas iring itu sebenarnya dapat dipakai untuk membuat
kondensat yang dapat dicampur kembali dalam minyak bumi. Juga
dapat dipakai membuat LPG -- itu gas iring cair yang dimasukkan
dalam tabung-tabung baja untuk memasak dan penerangan bagi rumah
tangga. Atau dipisahkan gas-gas organis ringannya CH4, C2H6),
carbon black (C), metanol (CH30H), pelbagai jenis plastik
seperti poli-etilen, poli-vinil-klorid (PVC), dan serat benang
sintetis.
U.U. dan aturan hukum pencegah pemborosan ini -- seperti
diusulkan Prof. Johannes -- memang belum digariskan. Namun ada
juga kontraktor minyak yang sudah dapat dibujuk untuk menanam
modalnya dalam usaha pengolahan dan pemanfaatan gas iring itu.
ARCO yang tadinya membakar 1 juta ton gas iring tiap tahun dari
lapangan Arjuna kini sedang membangun pabrik LPG dan gas ringan
yang akan dialirkan ke pabrik baja Krakatau Steel dan pabrik
pupuk Kujang. Johannes juga mengusulkan agar kontraktor AGIP
yang punya konsesi di laut Natuna -- di mana gas iringnya
mengandung 70% gas asam arang -- mau membuat pabrik metanol.
Seperti juga LPG, metanol ini dapat dipakai untuk memasak dan
penerangan rumah tangga dan harganya lebih murah.
Kontraktor minyak lainnya di Langkat, Aceh telah membuat carbon
black dari gas iringnya. Arang murni ini dipakai untuk mewarnai
ban dan tinta cetak. Sedang di Jawa Barat bagian Utara, gas bumi
ini dialirkan ke pabrik-pabrik pembakaran kapur sebagai
pengganti kayu bakar (dan mencegah penggundulan hutan).
Pertamina sendiri, telah menjual gas alam dari Plaju ke PT Pusri
Palembang sebagai bahan baku pembuatan Urea. Berkat adanya
cadangan gas alam itu, Pusri bisa terus mengkatrol kapasitas
produksinya. Sebab untuk 1 ton Urea hanya diperlukan 1 ton gas
alam.
Sekian lama jadi usaha sampingan orang minyak, sejak 1971 Mobil
Oil menemukan cadangan gas alam bebas di Arun. Tahun berikutnya
Huffco menyusul di lapangan Badak, Kalimantan Timur Menurut
konsultan minyak De Golyer & MacNaughton dari Texas, cadangan
gas sumur di Arun dapat mencapai lebih dari 311 juta ton. Sedang
cadangan Badak menurut Pertamina adalah sekitar 140 juta ton.
Kedua lapangan itu dijatahkan pada Jilco dan Pacific Lighting
selama 20 tahun: 7,5 juta ton untuk Jepang dan 3,5 juta ton
untuk AS setahun.
CUKUPKAH kontrak itu untuk melayani selama 20 tahun? Jatah Jilco
yang 7,5 juta ton itu akan dibagi dua antara Badak dan Arun.
Jadi kurang lebih 3,5 juta ton setahun dari Badak dan 4 juta ton
setahun dari Arun. Maka selama 20 tahun Pertamina akan menjual
70 juta ton gas alam dari Badak. Tapi perlu diingat: berbeda
dengan minyak yang sudah mengenal rumus bagi hasil yang baru,
gas alam tetap bernaung di bawah rumus lama 65 :35 berikut
potongan biaya sekitar 40% untuk kontraktor (cost recovery).
Maka bagian Pertamina untuk ekspor adalah sekitar 40% dari
seluruh produksi Huffco dari lapangan Badak. Kasarnya, untuk
bisa menjual 70 juta ton gas ke Jepang Huffco harus menyedot
sekitar 175 juta ton dari Badak. Mudah-mudahan saja lapangan
gas di Badak tak akan habis tersedot selama 20 tahun.
Lain halnya dengan lapangan Arun di Aceh dengan cadangan 311
juta ton. Kalau Jepang seperti sekarang bakal tetap menjadi
pembeli tunggalnya -- sebanyak 80 juta ton selama 20 tahun --
maka Mobil Oil harus menyedot 100: 40 x 80 juta ton = 200 juta
ton gas. Hitungan kasar ini menunjukkan bahwa dari Arun masih
akan tersisa 111 juta ton gas alam yang merupakan hak 100%
Indonesia. Ini hanya cukup untuk menghidupi satu pabrik pupuk
raksasa berkapasitas 2 juta ton urea setahun untuk waktu selama
setengah abad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini