Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Apa cukup buat 20 tahun ?

Kontrak-kontrak penjualan gas alam masih dibuat secara bilateral antara produsen dan konsumen. cadangan gas alam di arun dan badak dijatahkan 20 tahun pada jilco dan pacific lighting. (eb)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPANG memang serius mengharapkan proyek LNG Arun dan Bontang selesai sesuai dengan jadwal. Maklumlah, pabrik listrik Kansai, Chubu dan Kyushu, pabrik gas Osaka dan tanur baja Nippon Steel sudah membangun terminal dan memperluas usahanya. Sebelumnya, Jepang sudah mengimpor gas alam dari Alaska dan Brunei, itu kesultanan yang kaya minyak & gas di Kalimantan Utara. Dan sebelum akhir 1976, Abu Dhabi akan mengoperasikan 3 tanker LNG bermuatan 125 juta liter selama 20 tahun ke Jepang. Anggota OPEC lainnya, Aljazair juga sudah mengekspor gas alam cairnya ke AS, Inggeris dan Spanyol. Seperti juga Indonesia, AUazair saat ini sedang menghadapi kesulitan mengekspor lebih banyak gas alamnya ke AS karena terbentur tantangan FPC dan keterlambatan pembuatan 3 tanker Burmah di dok Quincy. Tapi Ayazair punya calon langganan lain yang lebih dekat, yakni Belgia. Sedang Spanyol dan Italia, sementara ini sudah mengimpor gas alam dari Libia. Adapun tetangga kita Malaysia baru-baru ini mengumumkan pula rencananya menanamkan modal M$ 2 milyar dalam proyek LNG di Sarawak untuk mengekspor 6 juta ton LNG seharga M$ 1,7 milyar setahun. Menurut Petroleum News, beberapa waktu lalu, dua pemegang saham Jilco -- Osaka Gas dan Nippon Steel -- berminat ikut dalam rencana proyek di Sarawak itu. Sampai kini kontrak-kontrak penjualan gas alam masih dibuat secara bilateral antara produsen dan konsumen. Itu pun tanpa keseragaman harga di antara importir gas alam dari negara produsen yang sama. Jepang misalnya, harus membayar AS$ 2 lebih per juta BTU untuk gas alam Indonesia, sementara Amerika -- yang hangat-hangat tahi ayam -- masih diberi harga $ 1,25 per juta BTU. Tapi melihat sukses minyak, apakah sudah saatnya Indonesia & Malaysia -- bersama-sama negara-negara OPEC seperti Abu Dhabi, Aljazair, Libia dan Iran -- membentuk semacam 'OPEC Gas Alam' menghadapi konsumen di Utara? Paling tidak, semacam penyeragaman harga dari produsen? Memang, posisi gas alam tidak sekuat minyak bumi. Sebab sampai tahun 1973, gas alam baru mengisi 30% dari seluruh konsumsi enerji dunia, atau total 1,4 trilyun M3. Tapi tahun lalu angka konsumsi gas alam itu sudah tumbuh antara 1,6 -- 1,7 trilyun M3. Sementara itu, AS yang konsumen gas alam terbesar di dunia sampai 1970 sudah mengkonsumir 632 milyar M3 gas alam setahun tanpa mengimpor. Sementara Eropa Barat waktu itu -- yang punya cadangan gas alam besar di Belanda dan perairan Laut Utara -- mengkonsumir 64 milyar M3, sementara impornya hanya 1 mayar M3. Cadangan gas alam Belanda yang lebih dari 2 kali cadangan Arun telah menjadi pelampung penyelamat di musim dingin 1973 ketika negeri itu ditimpa embargo minyak Arab. Sedang Jepang sebagai konsumen terkecil, tahun 1970 mengkonsumir 3 milyar M3 termasuk 1 milyar M3 gas impor. Namun angka-angka konsumsi dan impor itu akan berubah dalam tahun-tahun mendatang. Kebutuhan AS diperkirakan akan meningkat menjadi 750 milyar M3 di tahun 1980. Eropa Barat naik menjadi 03 milyar M3. Sedang Jepang yang kebutuhannya bakal naik menjadi 32 milyar M3 akan menjadi pengimpor gas alam No. 2 di dunia dengan mengimpor 27 milyar M3 gas alam. Melihat lokasi penemuan cadangan gas alam selama 10 tahun silam, posisi para produsen gas alam juga akan makin kuat. Antara tahun 1965-1975 cadangan yang ditemukan di benua Amerika boleh dikata stabil saja. Padahal cadangan yang terbukti di Eropa Barat dan Asia-Pasifik naik 2 X lipat, cadangan Afrika melipat tiga, sedang cadangan Uni Sovyet dan blok Eropa Timur naik 5 X lipat. Jadinya belahan bumi Timur kini memiliki 75% dari seluruh cadangan gas alam dunia. Sementara Jepang dan negara Barat mengkonsumir 70% dari seluruh produksi gas alam dunia, tapi hanya memiliki 23% dari cadangan. Kepincangan ini terpaksa ditutup oleh pipa-pipa penyalur gas yang melintasi daratan, serta tanker-tanker LNG mulai dari yang bermuatan 85 juta liter sampai 125 juta liter untuk menyeberangi lautan. Di luar sektor angkutan, separo dari kebutuhan enerji di AS diisi oleh gas alam. Atau 2 X lipat enerji non-transpor yang berasal dari minyak maupun batu bara. Gas dari kerak bumi ini disenangi karena harganya jauh lebih murah dan hasil pembakarannya jauh lebih bersih dari bahan bakar fosil lainnya. Harganya? Satu juta BTU (British Thernal Unit) hasil pembakaran gas alam hanya AS$ 1,42 untuk golongan tarif yang termurah (rumah tangga). Sedang minyak ongkosnya AS$ 2,55 dan listrik AS$ 9,65 untuk jumlah panas yang sama. Makanya saat ini 40 juta rumah tangga di AS menggunakan gas alam, disusul 3,4 juta kantor dan lebih 200 ribu pabrik. Dilihat dari segi jumlahnya, 24,5% gas alam di AS dikonsumir oleh rumah tangga, 11,6% oleh kantor-kantor dan 46,2% oleh industri. Karena belerang, asam arang dan bahan pencemar lainnya -- yang kadarnya dalam gas alam jauh lebih rendah dari pada minyak bumi -- sudah disaring sebelum diekspor atau disalurkan, polusi akibat pembakaran gas alam pun rendah sekali. Sumber gas alam ini ada 2 macam. Bila ditemukan tercampur dengan minyak bumi, disebut 'gas iring' (associated gas). Sedang yang ditemukan dalam keadaan bebas, disebut 'gas sumur' (well gas atau free gas). Para pemburu minyak biasanya membakar gas iring yang ikut menyembur dari sumur minyak mereka. Menurut Prof. ir. H. Johannes, ahli sumber alam Gajah Mada, selama tahun 1973 kita dirugikan AS$ 322 juta karena pembakaran 71% dari gas iring yang ditemukan. Padahal jumlah 3,5 juta ton gas iring yang terbakar percuma itu, sama dengan jumlah gas alam yang mau diimpor Pacific Lighting untuk kebutuhan rumah tangga dan industri di California. Gas iring itu sebenarnya dapat dipakai untuk membuat kondensat yang dapat dicampur kembali dalam minyak bumi. Juga dapat dipakai membuat LPG -- itu gas iring cair yang dimasukkan dalam tabung-tabung baja untuk memasak dan penerangan bagi rumah tangga. Atau dipisahkan gas-gas organis ringannya CH4, C2H6), carbon black (C), metanol (CH30H), pelbagai jenis plastik seperti poli-etilen, poli-vinil-klorid (PVC), dan serat benang sintetis. U.U. dan aturan hukum pencegah pemborosan ini -- seperti diusulkan Prof. Johannes -- memang belum digariskan. Namun ada juga kontraktor minyak yang sudah dapat dibujuk untuk menanam modalnya dalam usaha pengolahan dan pemanfaatan gas iring itu. ARCO yang tadinya membakar 1 juta ton gas iring tiap tahun dari lapangan Arjuna kini sedang membangun pabrik LPG dan gas ringan yang akan dialirkan ke pabrik baja Krakatau Steel dan pabrik pupuk Kujang. Johannes juga mengusulkan agar kontraktor AGIP yang punya konsesi di laut Natuna -- di mana gas iringnya mengandung 70% gas asam arang -- mau membuat pabrik metanol. Seperti juga LPG, metanol ini dapat dipakai untuk memasak dan penerangan rumah tangga dan harganya lebih murah. Kontraktor minyak lainnya di Langkat, Aceh telah membuat carbon black dari gas iringnya. Arang murni ini dipakai untuk mewarnai ban dan tinta cetak. Sedang di Jawa Barat bagian Utara, gas bumi ini dialirkan ke pabrik-pabrik pembakaran kapur sebagai pengganti kayu bakar (dan mencegah penggundulan hutan). Pertamina sendiri, telah menjual gas alam dari Plaju ke PT Pusri Palembang sebagai bahan baku pembuatan Urea. Berkat adanya cadangan gas alam itu, Pusri bisa terus mengkatrol kapasitas produksinya. Sebab untuk 1 ton Urea hanya diperlukan 1 ton gas alam. Sekian lama jadi usaha sampingan orang minyak, sejak 1971 Mobil Oil menemukan cadangan gas alam bebas di Arun. Tahun berikutnya Huffco menyusul di lapangan Badak, Kalimantan Timur Menurut konsultan minyak De Golyer & MacNaughton dari Texas, cadangan gas sumur di Arun dapat mencapai lebih dari 311 juta ton. Sedang cadangan Badak menurut Pertamina adalah sekitar 140 juta ton. Kedua lapangan itu dijatahkan pada Jilco dan Pacific Lighting selama 20 tahun: 7,5 juta ton untuk Jepang dan 3,5 juta ton untuk AS setahun. CUKUPKAH kontrak itu untuk melayani selama 20 tahun? Jatah Jilco yang 7,5 juta ton itu akan dibagi dua antara Badak dan Arun. Jadi kurang lebih 3,5 juta ton setahun dari Badak dan 4 juta ton setahun dari Arun. Maka selama 20 tahun Pertamina akan menjual 70 juta ton gas alam dari Badak. Tapi perlu diingat: berbeda dengan minyak yang sudah mengenal rumus bagi hasil yang baru, gas alam tetap bernaung di bawah rumus lama 65 :35 berikut potongan biaya sekitar 40% untuk kontraktor (cost recovery). Maka bagian Pertamina untuk ekspor adalah sekitar 40% dari seluruh produksi Huffco dari lapangan Badak. Kasarnya, untuk bisa menjual 70 juta ton gas ke Jepang Huffco harus menyedot sekitar 175 juta ton dari Badak. Mudah-mudahan saja lapangan gas di Badak tak akan habis tersedot selama 20 tahun. Lain halnya dengan lapangan Arun di Aceh dengan cadangan 311 juta ton. Kalau Jepang seperti sekarang bakal tetap menjadi pembeli tunggalnya -- sebanyak 80 juta ton selama 20 tahun -- maka Mobil Oil harus menyedot 100: 40 x 80 juta ton = 200 juta ton gas. Hitungan kasar ini menunjukkan bahwa dari Arun masih akan tersisa 111 juta ton gas alam yang merupakan hak 100% Indonesia. Ini hanya cukup untuk menghidupi satu pabrik pupuk raksasa berkapasitas 2 juta ton urea setahun untuk waktu selama setengah abad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus