Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Berita Tempo Plus

Menakar Risiko Setrum Tantrum

Bank sentral Amerika Serikat The Fed berencana mengurangi stimulus moneter alias tapering. Risiko bertambah bagi pasar obligasi yang terancam gelembung utang pemerintah di masa pandemi Covid-19. 

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Ilustrasi: TEMPO/Imam Yunianto
Perbesar
Ilustrasi: TEMPO/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEJARAH delapan tahun lalu akan berulang. Alkisah, untuk mengatasi krisis 2008-2009, The Federal Reserve mengguyur pasar dengan likuiditas. Menilai pasar beranjak normal, pada 2013 The Fed mengurangi suntikan itu, melakukan tapering. Kebijakan itu langsung membuat pasar global kelojotan seperti orang kena setrum. Maka muncul istilah taper tantrum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kini pasar kembali mengantisipasi munculnya taper tantrum. Polanya mirip. Untuk menolong pasar yang terpuruk karena pandemi Covid-19, The Fed sejak tahun lalu menyuntikkan likuiditas besar-besaran, US$ 120 miliar per bulan. Menimbang ekonomi Amerika Serikat yang sudah mulai pulih, The Fed berencana memulai tapering sebelum akhir tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pengalaman 2013 bisa menjadi rujukan betapa tapering memicu perpindahan dana investasi secara besar-besaran. Menyurutnya likuiditas membuat investor mengatur ulang alokasi dananya. Umumnya, mereka menarik investasi yang tertanam di negara-negara berkembang dan memindahkannya ke Amerika Serikat atau negara maju lain untuk mencari aman.

Baca: Memori 2013 Kembali Menghantui

Di Indonesia, pasar finansial sempat terpukul keras pada 2013. Nilai rupiah drop 11 persen. Imbal hasil atau yield obligasi pemerintah RI melonjak hingga 225 basis point atau 2,25 persen. Untuk ukuran pasar obligasi, lonjakan yield sebesar ini dalam tempo singkat sudah tergolong ekstrem. Artinya, harga obligasi pemerintah RI benar-benar ambrol. Yield memang berkorelasi negatif dengan harga obligasi. Jika yield naik, harganya turun.

Ketika pasar keuangan bergejolak, tumit Achilles alias titik terlemah Indonesia adalah pasar obligasi pemerintah. Guncangan paling keras berpotensi terjadi di sini. Obral besar obligasi pemerintah RI oleh investor asing yang merelokasi investasinya memicu gejolak itu.

Pasar obligasi pemerintah RI juga terbukti menjadi titik lemah ketika pasar global sempat panik pada akhir Februari-Maret 2020. Dalam kurun satu bulan itu saja, lebih dari Rp 144 triliun dana asing, atau sekitar 13,5 persen dari total dana, yang tadinya nyaman tersimpan di obligasi pemerintah RI mendadak hengkang. Harga obligasi pun jatuh dan yield naik.

Walhasil, pada 23 Maret 2020, nilai tukar rupiah sempat ambles ke titik terendah semenjak krisis 1998, menyentuh 16.550 per dolar Amerika Serikat. Begitu memang rentetan kejadiannya jika pasar obligasi guncang. Kurs rupiah ikut terpuruk karena investor asing yang mengantongi rupiah hasil penjualan obligasi berbalik memburu valuta asing untuk dibawa pulang.

Saat ini, per 25 Agustus 2021, ada Rp 974 triliun dana investor asing yang masih tenang mengeram di obligasi pemerintah. Jika The Fed mulai melakukan tapering, berapa persen dana ini yang akan keluar, itulah yang menentukan seberapa berat pasar Indonesia bakal bergejolak.

Untungnya, ada perbedaan besar antara tapering 2013 dan yang akan datang. Dulu tapering berjalan beriringan dengan kenaikan suku bunga The Fed. Sekarang tapering akan berjalan sendirian. The Fed berjanji tak menaikkan suku bunga setidaknya hingga 2023. Setidaknya kebijakan ini bisa mengurangi pemindahan dana secara masif. Karena bunga di Amerika tetap rendah, daya tariknya bagi investor tidak terlalu kuat.

Di sisi lain, dalam dua tahun terakhir, muncul faktor negatif yang dapat mengurangi minat investor asing untuk tetap memegang obligasi pemerintah RI. Pandemi membuat defisit anggaran pemerintah menggelembung besar. Meledaknya defisit juga masih akan berlanjut hingga tahun depan. Secara total, akan ada tambahan utang pemerintah sekitar Rp 3.000 triliun selama 2020-2022. Meroketnya tambahan utang jelas menambah faktor risiko bagi investor asing yang menanamkan dana di obligasi pemerintah RI.

Baca: Berdisiplin Menjaga Pasar Obligasi

Kesimpulannya, meski tak lepas dari gejolak, pasar finansial Indonesia sepertinya masih mampu memikul risiko taper tantrum yang bakal tiba. Namun badai yang lebih besar masih akan datang ketika The Fed menaikkan bunga. Bagaimana pemerintah Indonesia merawat sentimen pasar terhadap obligasi yang diterbitkannya sangat turut menentukan nasib pasar. Jika pemerintah mampu berdisiplin mengekang nafsu berutang, itu akan sangat membantu memperbaiki kredibilitasnya di mata pasar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Pemimpin redaksi tabloid ekonomi Kontan sejak November 2001 hingga menjadi juru bicara Wakil Presiden Boediono pada 2009-2014. Sebelum mendirikan Kontan, selama 1985-1994, ia bekerja di majalah mingguan Tempo. Lulus kuliah dari Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1989, Yopie melanjutkan pendidikan dalam program Master of Public Policy di Lee Kuan Yeuw School of Public Policy Singapura. Pada 1994, ia mendapat Chevenning Award dari The British Council. Kini, Yopie menjadi anggota tim evaluator editorial Tempo

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus