Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Pelajaran Pahit atau Keberhasilan Manis

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

11 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: tempo/imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSPEK ekonomi dunia kian muram. Proyeksi terakhir Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan pada akhir tahun ini pendapatan per kapita 170 negara menurun dibanding akhir tahun lalu. Secara rata-rata, 90 persen penduduk dunia menjadi lebih miskin. Para analis di pasar bahkan memperkirakan merosotnya pendapatan ini berlangsung sampai akhir 2021.

Indonesia pun sedang bergulat mengatasi persoalan ini. Wabah masih menanjak di tengah ekonomi yang kian merana. Menurut proyeksi resmi pemerintah, pada akhir kuartal II 2020 ekonomi Indonesia menyusut menjadi minus 3,8 persen. Pemerintah sudah merancang berbagai upaya penyelamatan ekonomi untuk menahan kemerosotan itu.

Akibatnya, defisit anggaran melambung hingga Rp 1.039 triliun. Bank Indonesia ikut menanggung sebagian dengan langsung membeli obligasi pemerintah di pasar perdana senilai Rp 397 triliun. BI juga akan menjadi pembeli siaga untuk obligasi senilai Rp 177 triliun, yang bakal menjadi stimulus bisnis kecil hingga korporasi. Dengan kata lain, BI menutup sebagian defisit pemerintah dengan menciptakan likuiditas rupiah.

Ini sebetulnya sebuah eksperimen kebijakan yang berisiko tinggi. Pemerintah dan Bank Indonesia memasuki area yang selama ini masih tabu dalam kebijakan fiskal dan moneter negara-negara berkembang: utang pemerintah langsung ditanggung bank sentral tanpa lewat pasar. Kebijakan ini juga berarti hilangnya independensi bank sentral, salah satu faktor penting pertimbangan investor asing untuk menanam uang di sini.

Indonesia pun menjadi pusat perhatian dunia. Jika sukses dan selamat mengatasi risiko-risikonya, Indonesia bakal menjadi model bagi banyak negara berkembang lain. Jika kelak berhasil, atau bahkan terbukti gagal pun, kebijakan ini akan menjadi studi kasus penting dalam buku teks makroekonomi dan moneter. Sejarah yang akan mencatat apakah itu pelajaran pahit atau keberhasilan yang manis.

Kemungkinan hengkangnya investor asing dari Indonesia adalah salah satu risiko terbesar kebijakan itu. Jika jadi terlaksana, menurut perhitungan analis Bloomberg, suntikan likuiditas rupiah dari BI itu akan menurunkan rasio cadangan devisa terhadap jumlah uang beredar (M2) menjadi 27 persen dari saat ini sekitar 30 persen. Untuk negara berkembang, rasio sebesar 30 persen adalah batas aman. Di bawah itu, cadangan devisa dianggap kurang memadai untuk mengantisipasi guncangan pasar.

Kendati demikian, ada faktor lain yang memungkinkan investor masih dapat menerima risiko itu. Pertama, bunga obligasi pemerintah Indonesia masih sangat tinggi. Sedangkan di mana-mana suku bunga sudah nol persen. Ini situasi ideal untuk melakukan carry trade, investor meminjam dolar berbunga nol dari luar negeri untuk berinvestasi di obligasi pemerintah dalam rupiah yang memberi imbalan besar. Kedua, laju inflasi di Indonesia yang selama ini sangat stabil membuat risiko carry trade mengecil.

Negatifnya, situasi ini akan membuat Indonesia kian tersandera rezim bunga tinggi. Untuk menjaga dana asing bertahan, bunga rupiah harus tetap tinggi. Sedangkan bunga tinggi juga berfungsi seperti rem untuk pertumbuhan dan pemulihan ekonomi. Situasi ini menegasikan upaya pemerintah mendorong ekonomi dengan guyuran pengeluaran. Jika bunga tinggi, biaya modal berusaha lebih mahal, kegiatan bisnis tak akan bergulir cepat.

Persoalan lain yang juga belum meyakinkan pasar adalah sejauh mana efektivitas suntikan BI ini akan menolong ekonomi Indonesia. Harus dicatat, dana itu tidak langsung masuk ke ekonomi, melainkan mengalir melalui pelaksanaan program-program pemerintah. Padahal sejauh ini efektivitas birokrasi dalam melaksanakan ataupun merancang program belum optimal. Presiden Joko Widodo sendiri harus berkali-kali unjuk kemarahan ke publik karena mesin pemerintahan yang bergerak lamban.

Skenario terburuknya: pemerintah telah menerbitkan obligasi, BI sudah menciptakan likuiditas, tapi uangnya mandek di kas negara. Sungguh mencemaskan jika hal inilah yang benar-benar terjadi dalam implementasinya kelak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus