Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Akhir drama skema berbagi beban pemerintah dan Bank Indonesia.
Berisi tiga skema untuk tiga kelompok kebutuhan pembiayaan.
Berbagai potensi masalah bisa terjadi.
ADA satu pertanyaan yang belum terjawab ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dua kali bertandang ke kompleks Dewan Perwakilan Rakyat sepekan terakhir. Dalam rapat lima jam dengan Komisi Keuangan DPR, Senin, 6 Juli lalu, keduanya belum bisa memastikan berapa jangka waktu Surat Berharga Negara (SBN) yang akan diterbitkan lewat skema berbagi beban antara pemerintah dan bank sentral. Begitu pula ketika mereka bertemu dengan Badan Anggaran tiga hari kemudian.
Perry mengatakan masalah tenor SBN dalam skema burden sharing masih dibahas oleh lembaganya bersama pemerintah. “Kami tahan untuk bisa restrain 5-10 tahun,” katanya, menjawab pertanyaan anggota Badan Anggaran, Kamis, 9 Juli lalu.
Skema burden sharing merupakan konsep yang diusung pemerintah untuk menghadapi membengkaknya belanja penanganan dampak Covid-19. Beban kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi nasional dibagi kepada BI, yang akan memborong obligasi pemerintah di pasar perdana.
Transaksi di pasar perdana yang sebelumnya terlarang bagi bank sentral belakangan bisa dilakukan setelah terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Maret lalu, peraturan ini telah disahkan DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
BI dan Kementerian Keuangan—sebagai wakil pemerintah—sebenarnya telah menyepakati mekanismenya dalam surat keputusan bersama jilid I pada 16 April lalu. Isinya memberikan dua opsi peran BI ketika pemerintah menerbitkan SBN: berlaku sebagai penawar nonkompetitif dalam lelang reguler dan lelang tambahan atau jika diperlukan membeli SBN lewat private placement alias penjualan bilateral.
Namun kesepakatan itu ternyata dianggap tak cukup. Skema penjualan bilateral tak kunjung terlaksana. BI memang mulai membeli obligasi pemerintah di pasar perdana, tapi lewat lelang reguler, mengikuti bunga pasar. Sedangkan pemerintah menginginkan rencana penerbitan SBN, yang terus meningkat seiring dengan membengkaknya defisit, bisa tetap murah.
Dibahas panjang sejak awal Mei lalu, skema burden sharing jilid II akhirnya disepakati pemerintah dan BI. Dengan pola ini, bank sentral tak hanya akan memborong sebagian obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran, tapi juga ikut menanggung beban bunganya.
Rapat tertutup dengan Komisi Keuangan, Senin siang pekan lalu, digelar sebelum Menteri Sri Mulyani dan Perry Warjiyo mengumumkan kesepakatan tersebut kepada publik lewat videoconference. Dalam persamuhan selama lima jam itu, terungkap masih ada sejumlah opsi soal lamanya jangka waktu SBN yang akan diterbitkan dalam skema burden sharing. Kementerian Keuangan mengajukan dua opsi, yaitu lima tahun dan sepuluh tahun. Adapun BI berharap bisa mendapat kepastian untuk lima tahun. Komisi Keuangan DPR, dalam rapat tersebut, meminta masalah jangka waktu SBN dibahas di tingkat tim teknis Kementerian Keuangan dan BI. “Kami memberi kesempatan Kemenkeu dan BI untuk membicarakannya, dengan memperhatikan profil utang jatuh tempo,” kata Kamrussamad, anggota Dewan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya.
Tak hanya itu, menurut anggota Komisi Keuangan DPR, Mukhamad Misbakhun, Perry memaparkan detail perhitungan yang disusun bank sentral. “Komplet,” ujar Misbakhun. Salah satu paparan itu adalah simulasi risiko fiskal dan moneter atas kebijakan berbagi beban ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBAGIAN beban dalam kesepakatan lanjutan antara pemerintah dan BI dipilah dalam sejumlah kategori. Pertama, kebutuhan pembiayaan anggaran yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (public goods). Masuk dalam kelompok ini kebutuhan biaya di bidang kesehatan sebesar Rp 87,5 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, serta dukungan program padat karya sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.
Pembiayaan belanja kategori tersebut akan dipenuhi dengan menerbitkan SBN senilai Rp 397,56 triliun yang langsung dibeli BI lewat private placement dengan acuan bunga Reverse Repo Rate. Seluruh beban bunganya akan ditanggung BI. Dengan begitu, obligasi khusus yang dapat diperdagangkan ini tetap marketable. Bagi bank sentral, instrumen ini dianggap masih bisa dipakai sebagai jaminan (underlying) aset dalam operasi moneter. "Pertimbangannya, ini kan kondisi extraordinary. Jadi BI membantu sehingga pemerintah bisa berfokus menangani masalah kesehatan, menambah bantuan sosial (bansos), atau menambah pelayanan umum," tutur Perry Warjiyo, Senin, 6 Juli lalu.
Pada kategori kedua, disiapkan utang baru senilai Rp 170,3 triliun untuk mendukung pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta korporasi non-UMKM. Pemerintah dan BI akan berbagi beban bunga pada kelompok ini. Mekanisme akan dimulai dari penerbitan SBN oleh Kementerian Keuangan sesuai dengan bunga pasar. Namun pemerintah hanya menanggung bunganya sebesar Reverse Repo Rate minus 1 persen. Adapun sisanya disokong bank sentral.
Perry memberikan ilustrasi, BI Reverse Repo Rate 3 bulan saat ini sebesar 4,3 persen. Artinya, pemerintah hanya akan menanggung beban SBN pada kategori kedua sebesar 3,3 persen. Jika SBN tersebut dilepas dengan tingkat bunga 7,36 persen, misalnya, BI akan menanggung sisa dari beban pemerintah, yakni sebesar 4,06 persen.
Sisa kebutuhan biaya pemulihan ekonomi, misalnya untuk insentif perpajakan, seperti pengurangan pajak penghasilan; penetapan pajak ditanggung pemerintah untuk UMKM; serta belanja lain yang menyangkut insentif usaha yang totalnya mencapai Rp 328,87 triliun akan ditopang dengan penerbitan SBN lewat mekanisme pasar. Pemerintah akan menanggung seluruh beban bunga ini. "Tidak ada burden sharing untuk kategori ketiga," tutur Sri Mulyani.
•••
DALAM paparan BI kepada Komisi Keuangan DPR, Senin, 6 Juli lalu, terungkap sederet kekhawatiran atas kebijakan berbagi beban ini. Salah satunya persepsi tentang turunnya independensi bank sentral yang bisa memicu pelemahan nilai tukar rupiah. BI juga khawatir terhadap potensi makin derasnya aliran modal keluar. Data transaksi menunjukkan, sejak 29 Juni hingga 3 Juli, terjadi aliran modal asing keluar sebesar Rp 8,39 triliun.
Ketika pembahasan skema burden sharing ini memasuki tahap final, rupiah memang sempat melemah. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate BI mencatat, pada Jumat, 3 Juli lalu, atau pekan terakhir sebelum skema berbagi beban diumumkan, nilai tukar rupiah terus ambles hingga melampaui 14.500 per dolar Amerika Serikat. Hingga Jumat, 10 Juli lalu, kurs rupiah masih bertengger di level 14.501 per dolar.
Dalam analisis BI, pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara oleh bank sentral pada 2020 dikhawatirkan bisa mengerek inflasi hingga 2022. Bahkan, dalam simulasi, jika pembiayaan APBN oleh BI ini berlanjut pada 2021-2022, inflasi bisa tidak terkendali. Karena itu, BI meminta kepastian bahwa kebijakan ini bersifat one-off policy. Artinya, burden sharing khusus untuk tahun ini saja.
Kekhawatiran tak hanya menggelayuti bank sentral, tapi juga kalangan ekonom dan pelaku usaha. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, melihat kebijakan berbagi beban itu sebagai simalakama. Sisi positifnya, pemerintah mendapat bantuan likuiditas dari BI sehingga beban pembiayaan berkurang. Tapi sisi negatifnya juga tak sedikit.
Skema ini, kata dia, tak hanya bisa menggerus kepercayaan pasar terhadap independensi bank sentral sebagai otoritas moneter, tapi juga berpotensi mengganggu neraca BI. Jika itu terjadi, bank sentral bakal sulit menjalan kebijakan moneter lebih ekspansif.
Menurut Bhima, lelang SBN yang bakal agresif pada semester kedua ini berpotensi menyedot dana investor dan memicu risiko crowding out dengan rencana penerbitan obligasi swasta. Dia mengingatkan, sejumlah korporasi yang memiliki utang jatuh tempo juga berencana menerbitkan obligasi baru tahun ini. Akibatnya, duit yang mengalir ke perbankan dan pasar uang bakal menipis. “Ini bisa berefek ke bunga kredit yang tetap mahal karena bank berusaha mempertahankan bunga agar dana deposan tidak kabur,” ujarnya.
Anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menepis kekhawatiran bahwa burden sharing akan memicu crowding out karena banyaknya penawaran instrumen investasi. Menurut dia, likuiditas di perbankan justru berlebih karena penyaluran kredit terhambat pandemi.
Adapun Menteri Sri Mulyani mengatakan kebijakan ini dilaksanakan bersama, secara akuntabel, untuk membangun kepercayaan pasar bahwa kondisi yang dihadapi luar biasa. Makanya, ia menegaskan, pelaksanaannya harus sangat hati-hati. “Dan tidak ugal-ugalan,” ucapnya. Senada, Perry memastikan modal BI cukup untuk ikut menanggung beban keuangan negara. Tahun lalu, bank sentral menangguk surplus Rp 216 triliun.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo