Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Rabu, 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal atau tarif Trump yang mengejutkan dunia. Dia menyebut tarif impor terbaru sebagai bagian dari Liberation Day (Hari Pembebasan) untuk meningkatkan ekonomi negaranya dan terlepas dari ketergantungan pada negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kebijakan Amerika Serikat adalah menyeimbangkan kembali arus perdagangan global dengan menetapkan bea masuk tambahan pada impor dari semua mitra dagang, kecuali sebagaimana ditentukan lain di sini,” kata Trump melalui Perintah Eksekutif (Executive Order), Rabu, 2 April 2025, seperti dilansir dari laman Gedung Putih. Lantas, apa itu tarif Trump?
Apa itu Tarif Trump?
Tarif resiprokal yang ditetapkan Trump mengacu pada kebijakan perdagangan, di mana Amerika Serikat menerapkan tarif impor atau bea masuk yang serupa maupun sebanding dengan tarif yang dibebankan oleh negara lain terhadap barang-barang ekspor mereka. Semua barang impor dari seluruh mitra dagang AS dikenakan tarif universal sebesar 10 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selain itu, terdapat tarif tambahan yang disebut Trump sebagai tarif resiprokal tersebut. Tarif tambahan ditujukan kepada negara yang mempunyai defisit perdagangan besar dengan AS, di mana Indonesia terdampak tarif hingga mencapai 32 persen.
Gedung Putih mendeskripsikan tarif Trump sebagai upaya untuk menyeimbangkan kembali arus perdagangan internasional melalui pengenaan bea masuk dari seluruh mitra dagang. Menurut pemerintah AS, besaran tarif ditetapkan sekitar setengah dari tarif yang dikenakan oleh negara lain terhadap produk ekspor AS.
Dasar Perhitungan Tarif Trump
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan kebijakan tarif Trump tidak mempunyai basis ekonomi yang jelas. Dia pun mengkritisi cara Presiden AS dalam menentukan tarif impor kepada seluruh mitra dagangnya.
“Penghitungannya itu tidak memiliki satu basis ekonomi yang jelas,” ucap Fadhil dalam diskusi Indef secara daring (online), Jumat, 4 April 2025.
Dia menduga, angka-angka itu muncul karena AS memperkirakan negara seperti Indonesia mengenakan tarif 64 persen terhadap produk AS. Namun, menurut dia, apabila diamati dari tingkat tarif yang betul-betul diberlakukan Indonesia terhadap produk Amerika, maka nilainya jauh lebih rendah dari angka (di bawah 64 persen) tersebut.
Berdasarkan perhitungan Fadhil, tarif yang dikenakan Indonesia kemungkinan berkisar antara 8 hingga 9 persen. Dia menilai angka 64 persen yang dirilis Amerika Serikat mungkin berasal dari kalkulasi besarnya defisit perdagangan yang dialami negara tersebut dengan negara mitra dagangnya.
Sebagai contoh, dalam hubungan dagang antara Indonesia dan AS, Tanah Air mencatat surplus sebesar US$ 16,8 miliar. Angka tersebut selanjutnya dibagi dengan jumlah nilai impor AS dari Indonesia yang berada di angka US$ 28,3 miliar, sehingga menghasilkan persentase sekitar 64 persen.
Persentase tersebut berikutnya dianggap oleh pihak Amerika Serikat sebagai tarif yang dikenakan Indonesia terhadap produk-produk dari negaranya. Berdasarkan asumsi itu, Fadhil mengungkapkan bahwa pemerintah AS menetapkan tarif sebesar 32 persen, atau separuh dari angka yang mereka perkirakan sebagai tarif yang dibebankan oleh Indonesia.
Rachel Caroline L Toruan, Vindry Florentin, dan Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Daftar Lengkap Tarif Trump ke Semua Negara