PADA triwulan pertama 1990 ini, likuiditas perekonomian tampaknya agak lain. Tahun-tahun lalu, likuiditas yang ditakar sebagai M2 (uang kartal yang beredar ditambah uang giral perbankan) biasanya sangat seret pada periode Januari-Maret. Maklum, pada masa itu cucuran dana pemerintah dari proyek-proyek APBN sudah hampir habis. Kali ini belum tampak tanda-tanda likuiditas perekonomian menyusut. Hal itu tercermin pada suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman antarbank yang terus menurun. Pinjaman antarbank, misalnya, pekan lalu hanya berbunga 9-10%. Bunga deposito jangka pendek (1-3 bulan) dari bank-bank pemerintah juga bertahan 15-15,5%. Tak mengherankan jika Gubernur Bank Sentral, Dr. Adrianus Mooy, mengimbau agar para bankir terus berupaya menurunkan suku bunga ke "tingkat yang wajar". Tapi tak disebutkan, berapa tingkat yang wajar itu. Menurut juru bicara BI, Dahlan Sutalaksana, untuk sementara selama 3 bulan ini bunga diturunkan 0,75-1%. BNI, yang menjadi indikator perbankan, memang sudah berupaya menurunkan suku bunga jangka panjang. Suku bunga deposito berjangka 12 bulan, Maret tahun lalu, masih 19,5%, dan kini tinggal 16,5%. Tapi di pihak lain, hal itu juga berarti masih ada dana di BNI yang berbunga relatif tinggi. Dirut BNI Kukuh Basuki mengungkapkan, deposito di BNI pada akhir 1989 berjumlah Rp 2,4 trilyun. "Yang berbunga di atas 17% masih sekitar 13%," kata Kukuh. Ini berarti sekitar Rp 312 milyar, dan untuk itu BNI harus membayar bunga sekitar Rp 4,4 milyar per bulan. Untunglah, ada Taplus (Tabungan Plus), yang baru 3 bulan diluncurkan BNI tapi sudah menyedot Rp 300 milyar. Tapi bunga Taplus dan tabungan-tabungan lain di perbankan tampaknya belum akan diturunkan dari 15%, minimal sampai April mendatang. Menurut Kukuh Basuki, bunga yang diberikan kepada para penabung di Indonesia memang masih lebih menarik ketimbang di luar negeri. Secara absolut, bunga deposito dewasa ini rata-rata 16%, jika dipotong inflasi sekitar 6%, masih ada keuntungan riil sekitar 10%. Sedangkan deposito dalam dolar hanya berkisar 8%, setelah dikurangi inflasi 4,5%, cuma memberikan keuntungan riil 3,5%. Karena itu, katanya, suku bunga deposito mestinya masih bisa diturunkan. Di BRI (Bank Rakyat Indonesia) deposito yang berbunga lebih dari 17%, menurut Dirut Kamardy Arief, juga cukup banyak. Namun, BRI siap menurunkan suku bunga pinjaman pekan ini. "Harus diingat, BRI lebih banyak bergerak di sektor program kredit pedesaan. BRI tidak terlalu berharap laba dari sektor kredit, karena marginnya sangat tipis," kata Dirut BRI ini, yang ditemui TEMPO di Yogyakarta pekan silam. BRI, tambah Kamardy, lebih banyak mengharapkan keuntungan dari pelayanan jasa bank lainnya. Jika bank-bank pemerintah belum berani menurunkan bunga deposito, apalagi bank-bank swasta. Bank Perkembangan Asia dan Bank Industri milik Prof. Sumitro Djojohadikusumo, misalnya, sampai pekan lalu masih memasang bunga deposito 17-18% per tahun. Bahkan Bank Nasional, SEAB, dan Bank Perniagaan Umum masih berani memberikan bunga sampai 20%. "Gerakan penurunan itu harus dijalankan bank-bank secara serempak," kata Direktur Utama Bank Industri, Widjokongko Puspoyo. "Tapi itu pun sulit, karena kebutuhan dana tiap-tiap bank berbeda," tambahnya. Menurut Gubernur Bank Sentral, dewasa ini pangsa deposito jangka panjang di bank-bank sudah lebih besar dibandingkan suku bunga jangka pendek. Di satu pihak, itu mungkin peluang bagi bank-bank untuk memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan. Dan para debitur BNI, menurut Kukuh Basuki, rata-rata masih mempunyai laba bersih 10-15%. Dalam situasi ekonomi yang kini sedang boom, tentu terbuka peluang bagi pengusaha untuk untung lebih besar. Apalagi jika suku bunga pinjaman diturunkan. Sungguh amat dipujikan, jika mereka memanfaatkan keuntungan itu untuk ekspansi seraya menciptakan kesempatan kerja. Max Wangkar, Bambang Aji (Jakarta), dan I Made Suarjana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini