CENGKEH, si bumbu penyedap kretek, kembali dipergunjingkan. Bukan karena harganya ambruk. Harga yang berlaku saat ini -- Rp 9 ribu per kilo -- jelas membikin plong para petani. Lantas, mengapa ramai? Tak lain tak bukan, karena penampilan PT Bina Reksa Perdana (BRP) -- perusahaan milik Hutomo Mandala Putra -- yang akan mendampingi BUMN, PT Kerta Niaga, bertindak sebagai buffer stock (stok penyangga) cengkeh. Artinya, BRP juga akan membeli cengkeh dengan tujuan menstabilkan harga. Hanya bedanya, Kerta Niaga tak kuat modal, sedang BRP mantap sekali. Tahun lalu, dana Kerta Niaga yang disediakan pemerintah hanya Rp 62 milyar, sedang BRP menyiapkan lebih banyak. "Kami siap membeli, berapa pun banyaknya," kata Tonny Hardianto, Presdir BRP. Kesediaan BRP disambut baik oleh pemerintah. "Pemerintah tak perlu repot-repot menyediakan dana," kata Kumhal Djamil, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri. Yang penting, perusahaan penyangga jangan sampai merugikan petani, "Swata mana pun, asal punya SIUP, silakan ikut," ujar Kumhal. Inikah kabar baik buat petani? Tentu saja. Tapi, mungkin, BRP merupakan berita buruk bagi pabrik rokok. "Kami khawatir, BRP akan menjadi pemasok tunggal," kata seorang pengusaha rokok di Kudus. Dan kalau itu sampai terjadi, maka pabrik rokok akan belepotan. "Tapi, selama kami masih diperbolehkan membeli dari KUD dan petani, kehadiran BRP bukan masalah," ujarnya. Kekhawatiran yang sama juga dikemukakan oleh pedagang antarpulau, yang biasa memasok pabrik rokok. Menurut mereka, bukan mustahil BRP melakukan stok dalam jumlah besar. Kalau sudah begitu, para pedagang merasa waswas. "Mereka pasti berani membeli dengan harga yang tinggi. Dan akhirnya akan menjurus pada monopoli," ujar seorang pedagang. BK dan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini