TAMPAKNYA, program pemerataan mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Hal itu tercermin dari beleid moneter yang diumumkan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, Senin pekan ini. Menurut kedua tokoh Ekuin tersebut, kebijaksanaan itu berpangkal dari usaha Pemerintah, yang mencoba meningkatkan kesehatan perbankan. Namun, ternyata, sasarannya adalah pemerataan. Kalau biasanya bank-bank hanya mengucurkan kredit buat perusahaan-perusahaan besar, mulai tahun ini, mereka malah diharuskan melayani koperasi dan pengusaha kecil. Serentak dengan itu, mereka juga didorong untuk bergerak lebih banyak di wilayah Indonesia Bagian Timur. Program yang diambil Pemerintah ialah jalur kredit likuiditas. Hasil evaluasi otoritas moneter menunjukkan bahwa kredit likuiditas, ternyata, telah melemahkan potensi perbankan. Bunganya relatif rendah karena disubsidi Pemerintah, yakni Bank Indonesia. Dan bunga rendah itu menimbulkan distorsi. Mengapa? Pertama, penerima kredit bisa mendepositokan kembali uangnya dengan bunga lebih tinggi. Kedua, peminatnya cukup besar, sehingga alokasinya tidak cukup selektif. Maka, pengembaliannya sering macet. Ketiga, jenisnya bermacam ragam, sehingga menimbulkan biaya bank. Keempat, kredit likuiditas telah menyebabkan bank-bank kurang terdorong untuk mengerahkan dana masyarakat. Untuk mengikis berbagai kelemahan itu, Pemerintah akan mengurangi kredit likuiditas. Menurut Adrianus Mooy, jenis kredit likuiditas yang dulu ada puluhan jenisnya (KIK, KMKP, kredit profesi, kredit mahasiswa, KPR BTN, dan sebagainya), kini disederhanakan menjadi lima jenis. Pertama, kredit usaha tani (KUT). KUT akan disalurkan BRI atau bank lain kepada KUD, untuk diteruskan kepada petani padi dan palawija. Seluruh dananya berasal dari Bank Indonesia. BI akan "menjual" KUT kepada bank dengan bunga 3%. Bank penyalur (antara lain BRI) kemudian menjual KUT kepada KUD dengan bunga 9%. Ternyata, pihak KUD dibolehkan mengambil untung 7%. "Fee ini semata-mata untuk pengembangan KUD, bukan untuk pengurus KUD, induk koperasi, camat, atau lurah," ujar Mooy. Ujung-ujungnya, beban bunga yang harus ditanggung petani penerima kredit mencapai 16%. Artinya, biaya penghubung dari BI hingga ke petani mencapai 13%. Apa yang dimaksudkan dengan pengembangan KUD, belum dijelaskan secara rinci. Orang pun lalu menduga bahwa fee 7% itu mungkin bisa dipakai KUD untuk membeli saham perusahaan konglomerat. Jenis kredit likuiditas (KL) kedua adalah kredit untuk koperasi. Yang membedakan dengan KUT, terutama sumber pendanaannya. Dana kredit koperasi hanya 75% yang diberikan BI, tentu, dengan bunga 3%. Yang 25% lagi harus disediakan oleh bank yang menyalurkan kredit tersebut. Jadi, jika bank mengambilnya dari dana deposito berbunga 18%, maka biaya dananya menjadi 4,5% (25% x 18). Biaya dana BI tadi hanya 2,25% (75% x 3). Dengan demikian, biaya dana kredit koperasi hanya sekitar 6,75%. Tapi, ternyata, koperasi atau KUD yang menerima kredit harus mengembalikannya dengan bunga 16% per tahun. Pihak bank, jelas, dapat memetik laba sekitar 10%. Agaknya, perangsang ini perlu, supaya bank-bank keranjingan berurusan dengan koperasi dan KUD. KL ketiga adalah kredit pengadaan pangan dan gula. Penerimanya, Bulog (Badan Urusan Logistik), sedangkan selama ini penyalurnya adalah BRI. Dananya 100% berasal dari Bank Indonesia, sehingga biaya untuk BRI hanya sekitar 3%. Tapi, ternyata, Bulog harus mengembalikan dengan bunga 16%. KL keempat adalah kredit investasi berjangka relatif panjang. Dalam KLKI (kredit likuiditas kredit investasi) ini, tampak upaya Pemerintah untuk melancarkan pemerataan pengembangan dunia usaha ke wilayah Indonesia Bagian Timur. Menurut Gubernur Bank Sentral, untuk KLKI yang disalurkan di Indonesia Bagian Timur, pihak BI akan menanggung 50% pembiayaannya. Jika disalurkan di Indonesia Barat, BI hanya akan memberikan subsidi 40%. Proyek yang menerima KLKI, jika di Indonesia Barat juga harus berjangka panjang, minimal lima tahun, sedangkan syarat KLKI untuk Indonesia Timur cukup longgar, boleh berjangka dua tahun saja. KLKI ada tiga jenis. Pertama, kredit pembiayaan seperti sudah biasa diberikan oleh bank-bank pembangunan (Bapindo dan BPD-BPD) dan lembaga keuangan pembiayaan pembangunan (antara lain PT Uppindo). Kedua adalah kredit investasi untuk pembiayaan sektor perkebunan, seperti PIR-Trans (perkebunan inti rakyat di daerah transmigrasi), PIR-Bun (perusahaan inti rakyat, yang dibangun perusahaan perkebunan Pemerintah maupun swasta), atau kredit untuk proyek rehabilitasi dan penanaman kembali tanaman ekspor. Kredit ini sudah biasa disalurkan Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII). Ketiga, yakni KPR (kredit pemilikan rumah) dengan batas maksimum Rp 50 juta. KPR yang disubsidi BI, selama ini biasa disalurkan Bank Tabungan Nasional (BTN) dan PT Papan Sejahtera. Bunganya akan disesuaikan dengan suku bunga pasar uang, yakni SBI (sertifikat Bank Indonesia) yang, pekan lalu, berbunga sekitar 10-11%. Jelas, kredit ini sangat murah. Tapi, sekarang, BI hanya menanggung pendanaan 12% yang berbunga 9%. Jika BI menanggung 100%, maka KPR itu akan sangat murah. Dan pihak BTN, yang rencananya pada April nanti akan menaikkan suku bunga KPR-nya menjadi 21%, tentu, harus meninjau kembali. Apalagi, beberapa bank swasta, seperti Lippo Bank, sudah menawarkan KPR berbunga 19%. Selain keempat jenis kredit likuiditas tersebut, masih ada kredit likuiditas umum (KLU). "Semua bank, termasuk bank perkreditan rakyat, harus memberikan KLU, minimal 20% dari total kredit yang disalurkan setiap bank. Tapi, bank-bank asing tak terkena kewajiban itu, karena mereka sudah diharuskan memberikan kredit ekspor 50%," kata Gubernur Bank Sentral. Menurut Mooy, KLU ini diberikan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah (pegel). Yang dimaksud pegel ialah usaha yang total asetnya di bawah Rp 600 juta. Dengan demikian, kini, semua bank harus melayani para pegel. Dengan demikian pula, tudingan bahwa selama ini bank hanya mau melayani konglomerat mungkin akan lenyap. Mudah-mudahan. Max Wangkar dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini