BBM boleh diibaratkan darah yang mengaliri urat nadi ekonomi Indonesia. Setiap kali muncul isu naiknya harga BBM, dengan cepat harga-harga menggeliat naik, dan orang jadi mudah bergumam. Untung saja, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, di depan para anggota DPR Kamis pekan silam, menjamin bahwa pemerintah tak bermaksud menaikkan harga BBM sampai akhir Maret mendatang. Namun, lewat Maret 1990, kata Sumarlin, tak tertutup kemungkinan pemerintah menyesuaikan harga BBM. Dan inilah yang kembali membuat dag-dig-dug banyak orang. Lantas timbul penafsiran bahwa kenaikan harga BBM itu sebenarnya sekadar soal waktu. Kalau memang pemerintah bermaksud mengerem meroketnya harga barang-barang konsumsi, tidaklah bijak menaikkan BBM menjelang Lebaran 26 April mendatang. Tapi, kalaupun pemerintah mau mengulur waktu, paling banter menunggu sampai setelah sidang tahunan IGGI, Juni tahun ini, di Negeri Belanda. Selain bicara mengenai komitmen utang baru, pemerintah biasanya juga meminta negara-negara donor memberi pinjaman yang bisa dirupiahkan alias bantuan program. Perjuangan memperoleh bantuan program ini sangat menentukan. Kalau bantuan program dalam RAPBN 1990-91 sebesar Rp 2,8 trilyun bisa diperoleh semuanya, maka pos yang paling mudah dipangkas, yakni subsidi BBM, tak perlu terlalu dirisaukan. Namun, kalau tidak, tak usah kaget bila pemerintah mencabut subsidi BBM yang dianggarkan Rp 626,5 milyar. Ini dengan asumsi harga rata-rata ekspor minyak Indonesia US$ 16,50 sebarel. Nah, kalau harga minyak di atas harga patokan RAPBN, tentu pemerintah merogoh kantung lebih dalam untuk menyubsidi BBM. "Bertambahnya subsidi tersebut mengakibatkan berkurangnya tabungan pemerintah, yang berarti mengurangi dana pembangunan," tutur Sumarlin. Kalau harga minyak Indonesia rata-rata US$ 17,50 sebarel dalam tahun anggaran 1990-91, maka total subsidi BBM membengkak menjadi Rp 948 milyar. Berarti, setiap ada kenaikan US$ 1, pemerintah harus menyediakan tambahan subsidi Rp 321,5 milyar. Padahal, pekan lalu harga spot minyak Indonesia mencapai US$ 21 sebarel di Tokyo. Sumarlin dengan jelas menyatakan bahwa komponen minyak mentah menyita 70% harga pokok BBM. Pengaruh biaya operasional (pengolahan, penampungan, transportasi, dan pemasaran) tak terlalu besar pengaruhnya terhadap harga BBM. "Upaya efisiensi yang terus dilaksanakan oleh Pertamina hanya sedikit pengaruhnya jika dibandingkan dengan biaya pokok BBM secara keseluruhan," tambah Sumarlin. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita juga memberikan data yang memperkuat pernyataan Sumarlin. Harga pokok rata-rata untuk 8 BBM (avtur, afgas, super 98, premium, minyak tanah, minyak diesel mobil alias solar, minyak diesel mesin, dan minyak bakar) adalah RP 227 per liter. Solar yang dijual Rp 200 seliter mengandung subsidi Rp 50,33. Minyak tanah yang dijual Rp 165 seliter menikmati subsidi Rp 77,6. Padahal, solar dan minyak tanah merebut pangsa terbesar (masing-masing 36% dan 25%) dari total konsumsi BBM yang mencapai 27,6 juta kiloliter pada 1988-89. Menteri Keuangan Sumarlin memperkirakan konsumsi BBM tahun 1990-91 akan meningkat menjadi 30,47 kiloliter. Sedangkan premium (18% dari total konsumsi) dan super (1% total konsumsi) sudah menghasilkan laba Rp 113,4 dan Rp 161,4 setiap liter. Yang menarik, justru subsidi yang diberikan pemerintah atas BBM lebih banyak dinikmati oleh golongan pengeluaran tinggi (pengeluaran per kapita per bulan Rp 60 ribu ke atas). Ginandjar menyodorkan data, bahwa golongan berpengeluaran rendah (di bawah Rp 15 ribu per kapita sebulan) mengkonsumsi 1,54 liter minyak tanah dan solar per bulan. Sedangkan golongan menengah (pengeluaran antara Rp 15 ribu dan 60 ribu per kapita sebulan) menghirup 2,96 liter minyak tanah dan solar per bulan. Malahan kelompok berpengeluaran tinggi menyedot 11,50 liter minyak tanah dan solar sebulan. Pada data lainnya, Ginandjar mengkonfirmasikan bahwa pengeluaran BBM bagi kalangan berpendatan tinggi merupakan 32% dari keseluruhan pengeluarannya sebulan. Sedangkan mereka yang masuk dalam kategori berpenghasilan menengah cuma menempatkan konsumsi BBM 24% dari total pengeluarannya. Dan yang berpendapatan rendah hanya butuh 17% dari dana yang dikeluarkan untuk BBM. Konsumsi BBM sangat bergantung pada tingkat harganya. Sejak harga BBM dinaikkan 4 kali berturut-turut mulai 1982, sampai sedikit turun pada 1986, konsumsi BBM cenderung tak banyak bergerak di sekitar 26 dan 27 juta kiloliter setahun. Tapi, begitu ada penurunan harga minyak, dan kebetulan perekonomian Indonesia mulai menggeliat lagi pada 1987, konsumsi meningkat lagi. Bahkan, dengan perekonomian yang kini sedang naik daun, konsumsi BBM melampaui 30 juta kiloliter. "Kalau sudah demikian, wah..., ini patut direm," kata Ginandjar ketika ditemui TEMPO di lapangan tenis Wisma Rajawali, Jakarta Pusat, Senin malam pekan ini. Ginandjar tak setuju kalau naiknya konsumsi BBM sepenuhnya dipengaruhi oleh bergairahnya perekonomian Indonesia. Ia membuka data yang menyibak bahwa transportasi lebih banyak menyedot BBM dibandingkan dengan industri dan kebutuhan rumah tangga. Sebagian besar bensin (42%) dipakai untuk mengisi tangki mobil-mobil pribadi. Dan setengah dari minyak solar dituangkan ke tangki-tangki mobil. Menteri Sumarlin, dalam wawancara dengan TEMPO awal Januari lalu, telah mensinyalir bahwa rendahnya harga minyak solar menyebabkan makin banyaknya mobil pribadi yang bermesin diesel. Itu sebabnya, Menteri Ginandjar mengungkapkan, penetapan harga BBM perlu memenuhi 4 sasaran yang ingin dicapai pemerintah secara berimbang. "Tapi yang paling utama adalah demi efisiensi penggunaan sumber daya alam. Kalau konsumsi BBM naik terus, ya perlu dikendalikan," katanya. Alat pengendali yang paling ampuh untuk mengerem konsumsi BBM apalagi kalau bukan sang harga. Itulah siasat ekonomi yang sejak dulu ditempuh para teknokrat, bukan? Cara berpikir seperti itu sungguh masuk akal. Namun, seperti juga keseluruhan wajah bujet negara untuk tahun 1990-91 yang cukup berhati-hati, harga patokan ekspor minyak yang US$ 16,50 memang belum terlepas dari trauma jatuhnya harga minyak pada 1986. Barangkali pos subsidi BBM tak akan terasa memberatkan, kalau saja pemerintah menetapkan harga patokan ekspor minyak dengan melihat pada perkiraan realisasi harga rata-rata ekspor minyak Indonesia yang mencapai US$ 17,50 per barel untuk tahun anggaran 1989-90. Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini