SKANDAL ekspor minyak atsiri yang berisi air oleh CV Farmaport
di Jakarta, ternyata menimbulkan reaksi yang tak sebentar di
kalangan importir AS dan Inggeris. Setelah Wallace C. Dempsey,
Ketua Komite Asosiasi Importir Minyak Atsiri di New York
mengirim surat protes yang bernada keras ke alamat Dubes RI di
Washington 23 Agustus lalu (lihat TEMPO 18 September) beberapa
importir dari New York dan London langsung terbang ke Jakarta.
Ernest Lawson, direktur Fuerst Day Lawson Ltd di London, bahkan
sejak 13 Agustus lalu tinggal di Hotel Borobudur Jakarta.
Selama lebih satu setengah bulan di sini, Lawson bersama dua
rekannya dari London menghubungi Departemen Perdagangan,
Citibank (FNCB), Balai Penelitian Kimia di Bogor, fihak
Bea-Cukai dan Kedubes lnggeris serta melakukan penelitian di
pelabuhan Tanjung Priok. Dia juga beberapa kali berunding dengan
direktur Farmaport Nico Waworuntu, yang telah menunjuk Albert
Hasibuan SH sebagai pengacaranya.
Berbeda dengan importir AS yang bersuara keras, Lawson importir
terbesar di Eropa dan relasi Farmaport sejak 1964 -- setuju
untuk memberi keringanan sebanyak 50% dari seluruh klaim
perusahaannya terhadap Farmaport. Dalam suratnya 3 September
lalu, Ernest Lawson mengatakan jumlah klaim itu mencapai $AS 500
ribu lebih, belum termasuk biaya ekstra. Tapi flhak Farmaport
yang dihubungi TEMPO, beranggapan bahwa klaim Lawson sebenarnya
berjumlah $AS 450 ribu.
Kena Tipu
Mana yang benar, entahlah. Direktur Fuerst Day Lawson -- yang
menurut harian New York Times 23 September lalu adalah pembeli
yang paling dirugikan itu -- dalam suratnya kepada direktur
Farmaport juga menyatakan "sudah mengirim seorang utusan dari
London untuk membujuk para pembeli di Amerika agar menempuh cara
kami". Tapi David Cookson, wakil presiden dari kelompok ICB di
New York, menurut harian terkemuka itu, mengancam "akan
mengalihkan ekspor minyak atsiri dari Indonesia itu ke RRT dan
Madagaskar". Malah Cookson yang naik pitam itu juga berkata:
"Berurusan dengan RRT, anda berurusan dengan para pedagang yang
100% bisa dipercaya, yang tak akan menimbulkan macam kepusingan
seperti itu". Adapun 14 ton minyak atsiri paisu yang berisi air
dan lumpur itu telah membawa kerugian $AS 650 ribu terhadap 10
importir di New York dan $AS 700 ribu bagi sejumlah importir
Eropa, terutama London.
Fihak Farmaport sendiri, yang mengaku kena tipu seorang
pensuplainya bernama Wijaya, sudah pula diperingati Departemen
Perdagangan agar segera bertanggungjawab terhadap skandal yang
oleh berbagai fihak dipandang-terbesar dalam sejarah ekspor
minyak atsiri. Peringatan yang akan mencapai batas waktu 8
Oktober ini, menurut Dirjen Perdagangan LN Dr. Suhadi
Mangkusuwondo kepada TEMPO, mendesak Farmaport agar bisa mencari
penyelesaian secara bersahabat. "Kalau ini tak mungkin, maka
terpaksa akan ditempuh cara pengadilan mengingat sistim
arbitrase belum berlaku di Indonesia" kata Suhadi Tapi agaknya
Suhadi optimis bahwa jalan keluar sebagaimana ditempuh Farmaport
dengan perusahaan Lawson itu akan diikuti oleh para importir di
AS. "Sebab kalau masuk pengadilan soalnya akan jadi panjang,
selain klaim para pembeli itu bisa tak terbayar", katanya.
Tampaknya cara Lawson-lah yang menjadi pegangan Farmaport untuk
memeruhi kewajiban kepada sejumlah pembelinya yang kena tipu
itu. Selain diberi korting hingga separoh, importir minyak
atsiri terbesar di Eropa itu juga membolehkan Farmaport
mencicil, yang akan dipotong dari sebagian hasil ekspornya di
kemudian hari. Adakah sikap dingin perusahaan Lawson akan
diikuti para importir lainya, terutama dari New York, itu
tergantung dari berhasil tidaknya utusan Lavvson mencapai
"moratorium" dengan para rekannya di AS.
Tapi menurut fihak Farmaport -- yang ditopang Dr Zainul Yasni,
kepala pusat Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian BPEN dan drs Rudy
Lengkong, sekretaris BPEN -- banyak dari klaim yang diajukan itu
tak disertai dengan laporan survei yang menunjukkan analisa
secara terperinci tentang kiriman barang yang mereka terima.
Maka itu dr Rosita M Noor, eksportir minyak atsiri di Jakarta,
menduga adanya usaha fihak importir di AS menggunakan skandal
tersebut untuk menekan para eksportir di Indonesia. "Ini
merupakan akal politik" kata Rosita. Dan Yasni menambahkan
beberapa hari lalu datang tilgram dari perusahaan Adriana SA Di
Marseille, Perancis, yang mengajukan klaim yang tak lengkap itu.
Sekalipun begitu, seorang pejabat Departemen Perdagangan masih
bertanya-tanya apa sebabnya "Nico bisa begitu mudah dikibuli
Wijaya?" Adapun Wijaya yang kini jadi buronan itu dikenal
sebagai pengumpul dan pensuplai minyak atsiri untuk Farmaport.
Terakhir ia berhasil menggunakan Angka Pengenal Ekspor (APE)
Farmaport seizin Waworuntu. Malah dengan begitu kabarnya Wijaya
yang terakhir beralamat di jalan Sukasari no.3, Bogor itu
berhasil menggunakan rekening bank Farmaport di Citibank.
Menurut sumber TEMPO, ada perjanjian antara Farmaport dengan
firma Wijaya bahwa "soal kwantitas dan kwalitas ekspor menjadi
tanggungjawab Wijaya" luga segel yang dipakai ketika mengirim
ribuan drum minyak atsiri itu adalah segel Fa. Wijaya.
"Cara penipuan itu berjalan rapi sekali", kata sebuah sumber di
Departemen Perdagangan. "Barang-barang contoh yang diperlihatkan
Wijaya cocok sekali dengan yang dikeluarkan BPK di Bogor". Dan
ekspor minyak Palsu itu terjadi ketika sang direktur Farmaport
sedang berada di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini