RAKYAT Indonesia, 83% tinggal di desa. Sumber hidup kebanyakan
orang desa ialah dari bertani dan beberapa persen menangkap
ikan. Diakui juga, terutama penduduk desa di Jawa miskin, dan
selalu miskin hampir sepanjang zaman.
Sesuai dengan taksiran ir. Sayogyo, sekitar 3,8 juta keluarga
petani Jawa menguasai 78% tanah pertanian yang rata-rata
luasnya 1,2 Ha. Golongan ini disebut orang berkecukupan serta
diladeni oleh BIMAS. Tetapi puluhan juta petani miskin hanya
memiliki 22% tanah pertanian yang terkadang luasnya kurang dari
0,2 Ha, alias petani miskin. Lima juta buruh tani tidak punya
tanah sama sekli. Bahkan ada ahli menaksir 60% petani Jawa
tanpa tanah. Golongan terakhir inilah golongan penduduk dengan
kemiskinan permanen.
Potret kemiskinan permanen desa tergambar jelas dalam buku
Penduduk & Kemiskinan: kasus Snhao di pedesaan Jawa, tulisan
Masri Singarimbun & David Penny. Anehnya, walau desa Indonesia
umumnya dikategorikan miskin, tetapi desa merupakan lambang
ketenangan dan damai. Bahkan dalam perang kemerdekaan desa
merupakan sumber inspirasi serta tulang punggung perjuangan.
Desa merupakan kenangan antara kedamaian dan kemiskinan bagi
orang kota yang berasal dari desa.
Sejarah telah membuktikan bahwa landreform merupakan jawaban
bagi beberapa negara dalm mengatasi ketidak adilan pemilikan
tanah atau dalam hal memperbaiki nasib petani. Namun ada
beberapa bentuk landreform dengan penafsiran serta praktek yang
berbeda-beda.
Bagi Indonesia cakupan landreform bermakna dua atau jamak.
Landreform ala Undang-Undang No.5, 1960: Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria memang ideal, tetapi tidak memberi jawaban
konkrit dalam menyelesaikan masalah kemiskinan petani. Lagi pula
dianggap agak berbau kiri. Dalam UU no.56 Prp 1960:
Undang-Undang Landreform, disebutkan luas tanah maksimum
berdasarkan kepadatan penduduk pada daerah tingkat II yang
bersangkutan. Ditentukan bagi daerah padat penduduk seperti di
Jawa: luas tanah sawah maksimum yang dapat dimiliki ialah 5 Ha,
di daerah tidak padat 7,5 sampai 15 Ha. Dalam undang-undang
tersebut tidak disebut batas luas minimum. Realisasi
undang-undang agraria di atas dalam prakteknya agak melempem.
Menurut banyak buku, masalah petani miskin di Jawa telah rnulai
gawat sejak tahun 1920-an, sehingga Pemerintah Belanda memulai
arus transmigrasi penduduk Jawa ke luar Jawa. Usaha transmigrasi
selama 50 tahun hanya berhasil memindah sekitar 2 juta manusia
sementara itu penduduk pulau Jawa telah meledak menjadi 3 x,
serta penduduk luar Jawa yang masuk Jawa hampir sebanyak
transmigrasi ini. Pelita I dan II total jenderal hanya akan
mampu mentransmigrasikan sebanyak lebih kurang 350.000 kepala
keluarga.
Di sinilah dilemanya. Transmigrasi ternyata belum mampu
mengatasi masalah kepadatan penduduk atau kemiskinan permanen.
Banyak konsep yang telah tampil. Semua konsep baik, tetapi
belum berhasil. Semua menghendaki "reformasi", atau perubahan
total atau menyeluruh. Namun di mana harus dimulai? Tidak
berlebihan kalau disebut masalah petani miskin permanen ini
merupakan masalah nasional yang akut dan merupakan bom waktu
yang kalau tidak dijinakkan dan ditangani secara sistematis dan
integral setiap saat dapat meledak. Penanganan sektoral atau
partiil hanya mengurangi rasa sakit tanpa mengobati penyakitnya.
Untuk menambah gagasan dan teori yang telah banyak itu,
kombinasi beberapa alternatif perlu difikirkan:
þ Pembangunan industri besar di luar Jawa. Bagaikan pepatah: di
mana ada gula, kesitu akan datang semut. Contoh: Di Jerman Barat
terdapat 2 juta pekerja tamu. Bahkan di Swiss jumlah pekerja
tamu melebihi 1/2 jumlah penduduknya. Apabila lapangan kerja
cukup tersedia dan menarik di luar Jawa, maka penduduk Jawa akan
pergi ke sana, keadaan mana dapat menstimulasi transmigrasi.
þ Membangun industri menengah yang padat karya di perbatasan kota
dan desa. Hal ini menolong melonggarkan desa dan tidak membebani
kota.
þ Memperkenalkan pertanian industri. Hanya mereka yang
mengusahakan tanah pertanian secara industriil dengan luas tanah
2 ha minimum dan maksimum 5 ha berhak mendapat kredit atau
bantuan jangka panjang. Petani dengan luas tanah di bawah 2 Ha
tetapi di atas 1 Ha diberi bantuan pupuk dan disarankan
mengadakan penggabungan usaha lewat koperasi. Petani-petani yang
memiliki tanah kurang 1 Ha, tanahnya dibeli pemerintah dan
pengusahaannya diberikan kepada masyarakat dengan syarat yang
masuk akal. Sudah tentu program ini harus diteliti dan ditangani
secara profesionil dan bukan lewat ambtenaar atau
pamong-pamongan.
Kombinasi ketiga alternatif itu merupakan satu kesatuan
gerak yang saling menunjang dan mengisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini