Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Desa, Kemiskinan Permanen Dan ...

Enam puluh persen petani di jawa tak memiliki tanah. itulah golongan penduduk dengan kemiskinan permanen. land reform merupakan jawaban bagi beberapa negara untuk mengatasi nasib petani.

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKYAT Indonesia, 83% tinggal di desa. Sumber hidup kebanyakan orang desa ialah dari bertani dan beberapa persen menangkap ikan. Diakui juga, terutama penduduk desa di Jawa miskin, dan selalu miskin hampir sepanjang zaman. Sesuai dengan taksiran ir. Sayogyo, sekitar 3,8 juta keluarga petani Jawa menguasai 78% tanah pertanian yang rata-rata luasnya 1,2 Ha. Golongan ini disebut orang berkecukupan serta diladeni oleh BIMAS. Tetapi puluhan juta petani miskin hanya memiliki 22% tanah pertanian yang terkadang luasnya kurang dari 0,2 Ha, alias petani miskin. Lima juta buruh tani tidak punya tanah sama sekli. Bahkan ada ahli menaksir 60% petani Jawa tanpa tanah. Golongan terakhir inilah golongan penduduk dengan kemiskinan permanen. Potret kemiskinan permanen desa tergambar jelas dalam buku Penduduk & Kemiskinan: kasus Snhao di pedesaan Jawa, tulisan Masri Singarimbun & David Penny. Anehnya, walau desa Indonesia umumnya dikategorikan miskin, tetapi desa merupakan lambang ketenangan dan damai. Bahkan dalam perang kemerdekaan desa merupakan sumber inspirasi serta tulang punggung perjuangan. Desa merupakan kenangan antara kedamaian dan kemiskinan bagi orang kota yang berasal dari desa. Sejarah telah membuktikan bahwa landreform merupakan jawaban bagi beberapa negara dalm mengatasi ketidak adilan pemilikan tanah atau dalam hal memperbaiki nasib petani. Namun ada beberapa bentuk landreform dengan penafsiran serta praktek yang berbeda-beda. Bagi Indonesia cakupan landreform bermakna dua atau jamak. Landreform ala Undang-Undang No.5, 1960: Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memang ideal, tetapi tidak memberi jawaban konkrit dalam menyelesaikan masalah kemiskinan petani. Lagi pula dianggap agak berbau kiri. Dalam UU no.56 Prp 1960: Undang-Undang Landreform, disebutkan luas tanah maksimum berdasarkan kepadatan penduduk pada daerah tingkat II yang bersangkutan. Ditentukan bagi daerah padat penduduk seperti di Jawa: luas tanah sawah maksimum yang dapat dimiliki ialah 5 Ha, di daerah tidak padat 7,5 sampai 15 Ha. Dalam undang-undang tersebut tidak disebut batas luas minimum. Realisasi undang-undang agraria di atas dalam prakteknya agak melempem. Menurut banyak buku, masalah petani miskin di Jawa telah rnulai gawat sejak tahun 1920-an, sehingga Pemerintah Belanda memulai arus transmigrasi penduduk Jawa ke luar Jawa. Usaha transmigrasi selama 50 tahun hanya berhasil memindah sekitar 2 juta manusia sementara itu penduduk pulau Jawa telah meledak menjadi 3 x, serta penduduk luar Jawa yang masuk Jawa hampir sebanyak transmigrasi ini. Pelita I dan II total jenderal hanya akan mampu mentransmigrasikan sebanyak lebih kurang 350.000 kepala keluarga. Di sinilah dilemanya. Transmigrasi ternyata belum mampu mengatasi masalah kepadatan penduduk atau kemiskinan permanen. Banyak konsep yang telah tampil. Semua konsep baik, tetapi belum berhasil. Semua menghendaki "reformasi", atau perubahan total atau menyeluruh. Namun di mana harus dimulai? Tidak berlebihan kalau disebut masalah petani miskin permanen ini merupakan masalah nasional yang akut dan merupakan bom waktu yang kalau tidak dijinakkan dan ditangani secara sistematis dan integral setiap saat dapat meledak. Penanganan sektoral atau partiil hanya mengurangi rasa sakit tanpa mengobati penyakitnya. Untuk menambah gagasan dan teori yang telah banyak itu, kombinasi beberapa alternatif perlu difikirkan: þ Pembangunan industri besar di luar Jawa. Bagaikan pepatah: di mana ada gula, kesitu akan datang semut. Contoh: Di Jerman Barat terdapat 2 juta pekerja tamu. Bahkan di Swiss jumlah pekerja tamu melebihi 1/2 jumlah penduduknya. Apabila lapangan kerja cukup tersedia dan menarik di luar Jawa, maka penduduk Jawa akan pergi ke sana, keadaan mana dapat menstimulasi transmigrasi. þ Membangun industri menengah yang padat karya di perbatasan kota dan desa. Hal ini menolong melonggarkan desa dan tidak membebani kota. þ Memperkenalkan pertanian industri. Hanya mereka yang mengusahakan tanah pertanian secara industriil dengan luas tanah 2 ha minimum dan maksimum 5 ha berhak mendapat kredit atau bantuan jangka panjang. Petani dengan luas tanah di bawah 2 Ha tetapi di atas 1 Ha diberi bantuan pupuk dan disarankan mengadakan penggabungan usaha lewat koperasi. Petani-petani yang memiliki tanah kurang 1 Ha, tanahnya dibeli pemerintah dan pengusahaannya diberikan kepada masyarakat dengan syarat yang masuk akal. Sudah tentu program ini harus diteliti dan ditangani secara profesionil dan bukan lewat ambtenaar atau pamong-pamongan. Kombinasi ketiga alternatif itu merupakan satu kesatuan gerak yang saling menunjang dan mengisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus