Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Artiman dan Kapal Serat Kaca

Dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, ia membuat kapal-kapal indah dari serat kaca di sebuah galangan di Marunda.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hamparan tambak ikan di tepi Jalan Bidara, kawasan Marunda, Jakarta Utara, itu meruapkan bau amis ke udara. Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Suasana khas pesisir pantai sungguh terasa. Di salah satu sisinya, sepetak jalan membelah tambak tersebut. Pengemudi yang lewat di sana mesti waspada. Sedikit lengah, mobil bisa tergelincir ke dalam tambak. Jalan sempit berkelok itu berujung di sebuah galangan kapal seluas 3.500 meter persegi. Kendati lebih menyerupai bengkel, galangan itu tak bisa dilewatkan begitu saja. Dari sana telah meluncur ratusan kapal indah berbahan serat kaca dari berbagai jenis dan ukuran. Ketika TEMPO bertandang ke sana, terlihat aneka kapal sedang ditempa. Kapal-kapal setengah jadi dan hampir jadi bertengger di dok-dok sederhana yang terbuat dari batang kayu dan bambu. Di tempat pencetakan, beberapa pekerja sedang memoles bahan serat kaca untuk kapal baru berukuran kecil. "Itu kapal patroli pesanan polisi," kata Artiman, pemilik galangan tersebut. Selain kapal patroli, bapak lima anak itu juga membuat kapal pesiar pribadi, feri, kapal berlambung kaca untuk melihat panorama bawah laut, puskesmas terapung, dan kapal pesiar berlambung kembar (catamaran). Yang belum pernah dibuatnya adalah kapal layar dan jet-ski. "Sebetulnya bikin jet-ski itu mudah. Sayang, mesin jet-ski tidak ada di pasaran," ujarnya. Total ada sekitar 400 kapal serat kaca yang dibuat Artiman bersama para pekerjanya. Kualitas kapalnya cukup teruji. Beberapa kapal terbukti masih dipakai setelah berumur 15 tahun. Harganya? Bervariasi dari Rp 400 juta hingga Rp 1,5 miliar. "Tergantung ukuran dan fasilitas interior, seperti penggunaan AC," ujar pria asal Kuningan, Jawa Barat, itu. Untuk setiap pembuatan kapal, Artiman meraup keuntungan 20 persen dari harga kapal. Para pembeli biasanya memesan kapal dengan patokan gambar, ukuran, dan harga. Bila telah sepakat, mereka mesti menyerahkan uang muka 10-25 persen dari harga kapal. Selanjutnya, kapal akan segera dibuat dan selesai dalam tiga pekan untuk jenis boat dan tiga bulan untuk kapal besar berkapasitas 30 hingga 150 penumpang. Dengan uang muka yang relatif kecil, tidak berarti Artiman memiliki modal besar. "Semua bahan, dari serat kaca sampai mesin, tinggal mengambil di toko. Baru dibayar kalau kapal sudah jadi dan pemesan sudah melunasi," ia menjelaskan lebih rinci. Rancangan kapal biasanya dibuat sendiri oleh Artiman. Tapi, untuk gambar dan ketebalan serat kaca, ia belum bisa menghitung sendiri. Urusan itu diserahkannya kepada konsultan dari sebuah sekolah perkapalan atau biro klasifikasi perkapalan. Agar tak terus bergantung pada orang luar, seorang anaknya kini disekolahkan di Sekolah Perkapalan Koja. "Anak saya sekarang sudah mulai bisa menghitung ketebalan fiberglass dan kestabilan kapal," katanya, bangga. Perjuangan Artiman sebagai pengusaha pembuat kapal terbilang panjang. Hanya bermodalkan ijazah sekolah dasar (SD), Artiman kecil merantau ke Jakarta untuk bekerja di galangan kapal milik kakaknya sekitar tahun 1970-an. "Saat itu kakak saya hanya membuat kapal dari kayu," tuturnya. Galangan milik kakaknya itu baru mulai memproduksi kapal serat kaca setelah ada pesanan dari pengusaha Ponco Sutowo. Tapi Artiman tak lama bekerja di sana. Ia pindah ke galangan kapal lain yang mempekerjakan seorang tenaga ahli dari Belanda. Dari dialah Artiman belajar seluk-beluk pembuatan kapal yang berbahan serat kaca. Namun, gaji dan posisi enak yang diperolehnya tak membuat Artiman betah di sana. Jiwa kewiraswastaannya bergolak. Artiman pindah ke sebuah perusahaan agen mesin kapal yang sekaligus pembuat kapal. Di sana ia belajar cara memasang mesin ke badan kapal. Setelah merasa pengetahuannya cukup memadai, ia pun membuka usaha sendiri. "Tahun 1987, saya membuka bengkel kapal di Cijantung, Jakarta Timur," ujarnya. Namun, lokasi bengkel yang terlalu jauh dari laut menyulitkannya. Setelah pesanan bertambah banyak, ia memindahkan galangannya ke pinggir laut. Marunda jadi pilihan karena lahan di sana masih luas dan ada sungai yang mengalir langsung ke laut. Sayang, badai krisis datang menerjang. Selama dua tahun ia cuma menerima satu pesanan. Itu pun upahnya harian. "Lumayan, daripada anak-anak tidak ada kerjaan," katanya mengenang. Paceklik akhirnya lewat dan pesanan kapal kembali berdatangan. Tapi Artiman yang sederhana tak pernah mempromosikan usahanya. "Takut enggak kepegang. Enggak pakai promosi saja, pekerjaan menumpuk," tuturnya. Cita-citanya kini adalah membangun showroom kapal. Ia berniat membuat berbagai model kapal untuk diproduksi secara massal. Sayang, modalnya masih tipis. Dan ia tak bisa meminjam uang ke bank karena tak dapat menyediakan agunan. Nugroho Dewanto, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus