Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebelum Mereka Angkat Koper...

Pemerintah menggodok beleid baru di sektor tambang. Adakah ini jalan tengah untuk meredam kekecewaan investor?

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk urusan bongkar pasang kebijakan, kabinet Megawati mungkin tak ada tandingannya. Setelah berjanji merevisi kenaikan harga BBM, listrik, dan telepon, pemerintah juga menggodok peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) di sektor pertambangan. Pada mulanya peraturan ini dirancang sebagai jalan tengah untuk mengatasi kemelut yang terjadi antara sektor pertambangan dan kehutanan. Masalahnya berawal dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 38. Pada salah satu ayatnya disebutkan bahwa dilarang melakukan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Akibatnya, sekitar 150 kontrak karya yang telanjur disetujui oleh pemerintah terpaksa ditangguhkan, tanpa kompensasi yang menjanjikan. Lebih buruk lagi, gara-gara Undang-Undang No. 41 itu, pemegang kontrak karya tak punya pilihan lain kecuali menunggu. Mujur bagi mereka, penantian selama empat tahun akhirnya membuahkan harapan baru. Perangkat peraturan yang memberi angin segar ke sektor pertambangan hampir mencapai garis final. Sekretaris Jenderal Departemen Energi, Djoko Darmono, menginginkan agar kontrak karya pertambangan yang sudah disetujui "bisa segera dijalankan". Intinya, lewat peraturan tersebut pemerintah akan mengubah status peruntukan lahan yang semula merupakan kawasan hutan lindung menjadi lokasi pertambangan, persis dengan yang tercantum dalam kontrak. Pernyataan Djoko diperkuat oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Wimpie S. Tjetjep. Lewat peraturan ini beberapa lokasi yang semula bukan kawasan hutan lindung dikembalikan ke status aslinya. Kegiatan pertambangan pun tidak lagi diharamkan di lokasi tersebut. Yang juga menarik, peraturan ini tidak berlaku bagi kontrak karya yang baru. Ini berarti, peraturan itu hanya berpihak pada perusahaan yang telah mendapatkan izin sebelum peraturan tersebut diundangkan. Toh, ada saja pengecualian, karena tidak semua perusahaan pertambangan diizinkan melanjutkan kegiatannya. Berdasarkan nilai investasinya, hanya 22 dari 150 kontrak karya yang diprioritaskan. Pemerintah memang harus bergerak cepat. Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Paul L. Coutrier, mengatakan jika aturan baru tak juga muncul, bukan mustahil para kontraktor akan mencabut investasinya dari Indonesia. Dalam catatan IMA, jika tiga perusahaan seperti Weda Bay Nickel, Citra Palu Mineral, dan Gag Mineral angkat koper dari Indonesia, ada sekitar US$ 3,5 miliar investasi yang juga ikut melayang. "Mereka kan tidak bisa menunggu terlalu lama. Jika tidak juga ada kepastian, bukan tidak mungkin mereka akhirnya benar-benar pergi dari Indonesia," katanya. Padahal, menurut Coutrier, jumlah pendapatan pemerintah yang dibukukan dari sektor ini lumayan besar. Pada tahun 2001, misalnya, pertambangan berhasil menyumbangkan sekitar Rp 8,3 triliun ke kas negara. Lambannya sikap pemerintah memang amat berpengaruh terhadap perusahaan tambang. Menurut Nurdin Sulaiman, Manajer Hubungan Pemerintah Weda Bay Nickel, keputusan untuk benar-benar hengkang memang belum ditelurkan. Ia mengatakan, perusahaannya hingga saat ini masih menunggu kabar baik dari pemerintah. Namun, sejak perkara ini terungkap tiga tahun lalu, perusahaannya tak lagi mengucurkan dana investasi. Padahal ada sekitar US$ 900 juta yang dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur di kawasan Halmahera, lokasi tambang milik Weda Bay. Akibatnya, perusahaan yang sahamnya sebagian besar dimiliki Weda Bay Mineral Inc., Kanada, ini terpaksa merumahkan sebagian besar karyawannya. Begitu pula dengan Gag Nikel Mineral. Menurut juru bicaranya, Bayu Wicaksono, Gag Nikel belum mengambil ancang-ancang untuk keluar dari perjanjian kontrak karya. Tapi, saat Undang-Undang tentang Kehutanan diberlakukan, praktis sejak itu pula kegiatan investasi di Pulau Gag, Papua, terhenti. Sedangkan Rio Tinto, pemilik Citra Palu Mineral, akhirnya melego perusahaan ini kepada pihak lain setelah didera aneka persoalan. Tampaknya langkah pemerintah bakal tak semulus rencana yang sudah disusun. Menurut Awal Kusumah, Ketua Komisi III DPR, yang membawahkan sektor kehutanan, pemerintah sebenarnya tak perlu menempuh jalan pintas dengan menerbitkan perpu. Kasus yang terjadi sebetulnya bisa diselesaikan tanpa harus berumit-rumit. Maksudnya? Pemerintah dan DPR cukup duduk bersama untuk merumuskan kembali status hutan tersebut, apakah termasuk kawasan hutan lindung atau tidak. Benarkah semudah itu? Ternyata saran anggota DPR ini gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Buktinya, sudah dilakukan sejumlah pembicaraan antara pemerintah dan DPR, tapi hasilnya nihil belaka. Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus