GILA bola, itu ungkapan klise. Tapi gila stadion? Ini jelas ungkapan baru, yang ternyata ramai dibicarakan oleh banyak kalangan. Mulai dari DPRD Tingkat I dan II, wali kota, gubernur, dirjen, hingga menteri. Pasalnya, beberapa stadion utama di Indonesia, dalam waktu yang hampir bersamaan, sudah dipindahtangankan kepada swasta. Gelombang gila stadion bermula di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Pemerintah sudah menyetujui 20 hektare di antaranya -- dari luas total areal stadion yang 274 hektare -- untuk dijadikan pusat-pusat kegiatan komersial. Tak lama lagi, di sana akan berdiri dua hotel berbintang, lengkap dengan pusat perbelanjaan yang canggih. Swasta yang beruntung menggarapnya adalah PMA, patungan antara Kajima Corporation dan PT Aditya Wira Bakti. Tanah seluas itu tidak diserahkan Pemda melalui sistem jual-beli yang biasa. "Kami menggunakan sistem built operation transfer (BOT) plus," kata Suprapto, Sekretaris Badan Pengelola Gelora Senayan. Ini berarti, kelak Pemda DKI akan memperoleh bagian pendapatan dari usaha-usaha komersial swasta tersebut. Baru setelah 30 tahun, sesuai dengan perjanjian, seluruh bangunan menjadi milik pemerintah. Selain sistem "bagi hasil", pihak swasta juga diharuskan "menyumbang" dua gedung untuk menunjang kegiatan Senayan -- berupa gedung perkantoran untuk pengelola Gelora setinggi sembilan lantai, dan sebuah wisma atlet yang setara dengan hotel berbintang tiga, yang mampu menampung 2.500 olahragawan. Dengan demikian, isu yang mengatakan bahwa Senayan akan menjadi pusat bisnis, "Sama sekali tidak benar," Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto menegaskan. "Kami akan tetap mempertahankannya sebagai pusat olahraga." Gubernur Wiyogo Atmodarminto melanjutkan. Suara senada dikemukakan oleh Mensesneg Moerdiono. Kata dia, Gelora yang berusia 30 tahun itu tidak akan berubah fungsi. Bahkan, Senayan akan segera direnovasi karena dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kebutuhan masa kini. Persoalannya, dari mana biaya perbaikan bisa diperoleh. Kalau dari Badan Pengelola Senayan, jelas, tak mungkin. Dalam lima tahun terakhir saja (hingga anggaran 1988/1989), badan ini mengalami defisit total Rp 2,58 milyar. Itulah sebabnya, Pemda menggaet swasta. "Dengan cara seperti ini, Senayan tak perlu lagi membebani APBN," kata Tb. M. Rais, Ketua Bappeda DKI. Cara serupa juga ditempuh oleh Pemda Jawa Tengah. "Untuk memiliki sarana olahraga yang lengkap, tak mungkin lagi kami mengandalkan APBD," kata Wahjudi, Asisten IV Gubernur Ja-Teng. GOR Ja-Teng, yang terletak di daerah Simpang Lima Semarang ini, kini seluruhnya diserahkan kepada PT Karya Ardela. Di atas tanah seluas 20.000 m2 itu akan dibangun gedung berlantai 14, yang akan digunakan sebagai hotel, pertokoan, dan perkantoran. "Kami akan mulai melakukan pembongkaran September nanti," kata Yuwono Kolopaking, eks Dirut PT Jasa Marga yang menjadi Dirut Karya Ardela. Sebagai gantinya, Pemda Ja-Teng akan memperoleh stadion lengkap dengan asrama atletnya. Selain itu, Karya Ardela juga diwajibkan membangun prasarana jalan menuju stadion yang baru, membangun dua buah gedung untuk Itwilpro Ja-Teng plus memugar Masjid Baiturrahman. Kalau ditotal, Stadion di Simpang Lima itu bernilai tak kurang dari Rp 11,8 milyar. Di Jawa Barat, yang jadi "korban" adalah Stadion Persib Bandung. Akhir bulan lalu, stadion ini telah berpindah tangan kepada PT Anugrah. Alasannya, "Lapangan di tengah kota sudah tidak sesuai lagi dengan Rencana Induk Kota," kata Arrys Sudradjat, Kahumas Kodya Bandung. Kalau begitu, apakah Stadion Siliwangi dan beberapa lapangan sepak bola lainnya -- yang juga berlokasi di tengah kota -- akan digusur? Entahlah. Yang pasti, Stadion Persib akan berubah menjadi pusat kegiatan komersial. Sebagai penggantinya, Pemda Kodya Bandung akan memperoleh lapangan sepak bola utama yang dilengkapi dengan tribun terbuka dan tribun tertutup, lapangan latihan, dua lapangan tenis, 35 unit rumah tinggal tipe 54, plus uang tunai Rp 319,5 juta. Pokoknya, sesuai dengan nilai Stadion Persib yang dihargai Rp 5,25 milyar. Sebegitu jauh, pengalihan stadion di Jakarta, Semarang, dan Bandung berlangsung lancar-lancar saja. Tapi, lain halnya stadion Tambaksari, Surabaya. Sudah lama Pemda Ja-Tim berniat menjualnya, tapi hingga kini masih tersendat-sendat. Bahkan Gubernur Ja-Tim Soelarso tak segan-segan menyebutkan bahwa rencana itu masih berupa gagasan, yang mungkin saja digagalkan. "Habis, belum apa-apa sudah ribut-ribut, sih," katanya dengan kesal. Ternyata, banyak kalangan yang menentang penjualan tersebut. Sebagai stadion tempat peyelenggaraan PON VII, Tambaksari memiliki nilai historis tersendiri. Jika Gubernur Ja-Tim berniat memindahkan Tambaksari, bukanlah semata-mata karena lokasinya berada di tengah kota. Tapi juga lantaran kondisi stadion itu, yang sudah tidak lagi layak untuk menampung banyak peristiwa olahraga yang besar. Pemda Ja-Tim berencana memindahkan Stadion Tambaksari -- yang luasnya hanya 1,5 hektare -- ke Kecamatan Sukolilo. Di sana, kata Soelarso, sudah tersedia tanah seluas 60 hektare, yang dicadangkan khusus untuk membangun sport centre. Biaya yang dibutuhkan tak kurang dari Rp 150 milyar. "Tapi, Pemda tak punya dana sebesar itu," katanya. Konon, untuk membangun stadion baru itu, pihak Pemda akan menjual tanahnya yang kini menjadi perumahan dan pertokoan -- di daerah Pucang seluas 400 hektare. Pihak swasta yang sudah menyanggupi pembangunannya adalah PT Unicomindo. Mungkinkah rencana itu terwujud? "Belum pasti. Kami akan meminta pertimbangan DPRD," kata Soelarso. Kasus serupa dialami oleh Pemda Bali, yang bermaksud memindahkan Lapangan Olahraga Pekambingan di Kabupaten Badung. Di sini pun, rencana menjual lapangan dengan harga Rp 2,175 milyar ditentang oleh wakil rakyat setempat. Alasannya, selain harga itu terlalu murah, saat ini Bali kekurangan sarana olahraga. Terlepas dari pro dan kontra pemindahan stadion, tampaknya, pemerintah cenderung ingin meningkatkan daya guna tanah negara seoptimal mungkin. Lihatlah Penjara Banceuy di Bandung -- yang juga punya nilai sejarah karena Bung Karno pernah mendekam di sana -- kini jadi pusat penjualan elektronik. Lalu Gedung Julius Usman, yang bersejarah bagi Angkatan '66, kini diperebutkan oleh grup Kodel dan seorang pengusaha dari Bandung. Apa pun yang terjadi, Jakarta tetap menjadi kiblat. Dulu, ketika Jakarta menyelenggarakan trade fair, banyak kota menirunya -- dalam skala lebih kecil. Jakarta membangun pusat pertokoan mewah, kota-kota lain tak mau ketinggalan. Dan sekarang, Jakarta baru mau membenahi stadion olahraganya, kota-kota lain malah menggusur stadion ke pinggiran. Masalahnya kini, apakah model penataan kota -- yang cocok buat Jakarta -- akan cocok juga untuk kota-kota lain. Sulit menjawabnya. Yang pasti adalah, karakter kota tentu berbeda, kebutuhannya juga tidak persis sama. Sementara itu, kaum pemilik modal hanya memanfaatkan momen yang ada. Jadi, kalau sekarang ada gejala gila stadion di Jakarta, gejala serupa dalam sekejap lantas meruyak di banyak kota lainnya. Dampaknya yang nyata terlihat pada harga tanah yang semakin melonjak. Di Jakarta, tanah strategis dihargai Rp 1-2 juta per meter persegi, di Yogya harga itu berkisar antara Rp 500.000 dan Rp 1 juta, di Semarang sekitar Rp 700.000, di Surabaya dan Denpasar sekitar Rp 1 juta. Diperkirakan, harga-harga itu tidak akan bergerak turun, hingga mereka yang cinta olahraga pun akhirnya akan "tergoda' menyingkirkan stadion ke pinggir kota. "Coba kalau digunakan untuk kegiatan komersial, kan bermanfaat," kata M. Sarengat, bekas pelari tercepat Asia, yang rupa-rupanya tidak keberatan bila stadion dipindahkan saja. Ketua KONI Pusat itu malah risau jika event olahraga yang berlangsung di stadion justru menambah kemacetan lalu lintas di tengah kota. Dan barangkali masih banyak pencinta olahraga yang bersikap realistis seperti dia. Budi Kusumah, Linda Jalil, Zed Abidien, Bandelan Amarudin, dan Joko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini